Mohon tunggu...
septiambar
septiambar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penggiat Parenting dan Pekerja Sosial

Penulis, Penggiat Parenting dan Pekerja sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gajah pun Jengah dan Marah

13 Mei 2016   12:02 Diperbarui: 14 Mei 2016   14:49 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak gajah dan induknya yang mati. timesIndonesia.co.id

Manusia mati meninggalkan nama, Harimau mati meninggalkan belang dan Gajah mati meninggalkan gading. Sepertinya pepatah yang sering kita dengar itu tak pas jika menggambarkan berita di media. Gajah mati meninggalkan duka mendalam bagi korban dan keluarga korban karena amukan Gajah di Wonogiri. 

Seorang dokter hewan cantik yang bertugas dikebun binatang objek wisata Gajah Mungkur Kabupaten wonogiri harus kehilangan nyawa di usia yang masih belia. Menurut sumber berita korban berusia 25 tahun. Naas hari itu gajah yang biasa menjadi pasiennya tetiba mengamuk membabi buta. Menurut berita hal itu disebabkan karena kilatan lampu blitz kamera sang dokter yang ingin berfoto dengan Gajah itu.

Lain lagi kasus Gajah terjadi di Bandung, seekor gajah harus mati dengan kondisi mengenaskan karena kurang perawatan. Gajah yang ceritanya bernama Yani itu sempat seminggu mengalami kelumpuhan hingga harus mati sebelum tim medis yang dikirim untuk memeriksanya selesai menjalankan tugas untuk mendiagnosis penyakitnya. 

Yani mati dengan cara mengenaskan, ia harus terbaring lama karena sakit, bahkan kulitnya sebagian sudah mengelupas karena lama terbaring di atas tumpukan terpal. Menyeruak kabar bahwa Yani yang sudah lama berada di kebun binatang itu, dan sudah sejak lama ia pun sakit. Menurut kabar berita pihak kebun binatang tidak memiliki dokter hewan di sistem kelola kebun binatangnya. 

Kehadiran dokter hewan di sebuah kebun binatang menurut saya adalah sebuah keharusan, karena banyaknya koleksi hewan tentu membutuhkan perawatan yang tidak main-main.

Kedua kasus diatas seolah ada benang merahnya, meskipun secara langsung tidak ada hubungan sama sekali. Dua tempat berbeda, dua peristiwa berbeda, dua korban berbeda. Tapi coba kita urai satu per satu benang merah yang saya maksudkan.

Gajah adalah makhluk hidup seperti halnya manusia, ia makan, minum, buang air, bergerak, beranak pinak, tumbuh dan berkembang biak. Bedanya dengan manusia hewan hanya memiliki insting tetapi tidak memiliki keinginan dan kehendak seperti halnya manusia. Meski begitu terkadang hewan memiliki sifat asih dan penyayang. 

Lihat saja segarang-garangnya hewan seperti harimau dan singa jika memperlakukan anaknya begitu sayang dan perhatian. Sejak lahir anaknya di rawat dengan baik, dicarikan makan, di peluk jika kedinginan, dan diajarkan bagaimana menjadi harimau atau singa dewasa nantinya. Agar bisa menjaga diri dan bertahan dalam kehidupan. 

Gajah pun demikian makhluk besar ini adalah salah satu hewan cerdas yang memiliki keistimewaan. Disamping ciri khas fisik yang besar, gajah juga memiliki otak yang cerdas dan pintar. Keberadaan Gajah di beberapa kebun binatang di seluruh Indonesia menjadi hal yang menarik. Tetapi pernahkah kita tahu bahwa Populasi gajah di negeri ini terancam?

Menurut data dari WWF Indonesia keberadaan gajah terutama gajah Sumatra mendekati titik kritis, dalam kurun waktu satu dekade kurang lebih ada 129 gajah mati karena diburu. Beragam cara dilakukan para pemburu untuk membunuh gajah-gajah ini, menurut sumber data yang sama ada sebagian gajah mati karena dibunuh, di racun dan ditembak menggunakan senjata. 

Populasi gajah yang sejak tahun 1985 sudah mengalami penurunan drastis terancam keberadaannya. Bukannya semakin membaik tetapi sejak saat itu hingga sekarang populasi gajah ini semakin turun dan mengenaskan. Konon menurut sumber berita gajah-gajah mati ini diburu demi mendapatkan Gading yang ceritanya bernilai tinggi dan mahal. Untuk sebagian pemburu tentu saja hal ini menggiurkan karena mendatangkan rupiah yang tidak sedikit.

Melihat kondisi itu sewajarnya kita merasa kuatir dengan nasib gajah-gajah itu. Karena ambisi dan keserakahan manusia hewan yang seharusnya hidup berdampingan harus mati dan terancam punah. Kemudian sebenarnya apa yang salah dengan kita?

Dari dua kasus tersebut diatas jika boleh saya tarik garis lurus memiliki pesan moral untuk kita semua. Gajah dan manusia adalah makhluk ciptaan yang maha kuasa. Makhluk hidup yang memiliki hak hidup dengan kodrat dan jatah masing-masing. Seharusnya keduanya bisa hidup saling berdampingan dan mutualisme. 

Memberikan pembelajaran yang luas kepada sesama makhluk hidup yang lain. Tidak saling menyakiti dan mengambil keuntungan dari salah satunya. Seharusnya kita sebagai manusia yang diberi kelebihan pikir, hati dan kehendak lebih bisa bijak dalam berperilaku. Memperlakukan makhluk hidup lain dengan layak dan baik. Menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan dan welas asih, tanpa terkecuali kepada makhluk selain manusia (hewan dan tumbuhan).

Kasus di Bandung dengan korban Gajah Sumatra Yani menggambarkan bagaimana manusia yang seharusnya memiliki kewajiban merawat yani dengan baik tidak dilakukan. Banyak hak yani yang dilanggar, ia harus rela kehilangan nyawa dengan cara mengenaskan sakit berminggu-minggu tanpa perawatan maksimal. 

Mungkin saja dalam sakitnya Yani kelaparan dan menangis menyadari nasibnya. Belum lagi nasib gajah-gajah lain di alam liar sana, bagaimana manusia dengan ganasnya memburu demi mengejar rupiah, karena Gading gajah menawarkan nilai fantastis untuk diperdagangkan. Generasi penerus gajah sedang terancam, bisa jadi teman senasib Yani ini merasakan kezaliman yang diterimanya.

Di beda wilayah, dalam waktu yang hampir berdekatan Gajah Sumatra mengamuk dan memakan korban manusia. Bukan salah gajahnya karena gajah hanya punya insting saja, tetapi keserakahan manusia membuat hewan jengah dan marah. Mungkin saja ia marah karena merasakan hal serupa yang dirasakan Yani di Bandung sama. 

Hanya saja Kebetulan dokter cantik yang juga sebenarnya sedang bertugas menjadi korbannya, padahal ia adalah pencinta binatang, bukan pelaku pemburu yang serakah.

Dua peristiwa ini semoga menjadi cerminan kita semua, manusia dimanapun berkewajiban menjaga perilaku. Menjunjung tinggi rasa Perikemanusiaan sekaligus Perikehewanan, agar tidak lagi terjadi hal seperti cerita yani dan gajah di Wonogiri. S

ebagai seorang awam saya hanya ingin mengajak semua pembaca untuk sadar dan mulailah sayangi lingkungan sekitar kita, termasuk hewan, tumbuhan dan seisinya. Agar keberlangsungan hidup kita pun terjaga dan aman dari segala bentuk bahaya.

Karena Alampun punya rasa, hewanpun punya hati dan tumbuhan pun punya cerita...

Salam hangat

Septi Ambar

Warga Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun