Mohon tunggu...
septiambar
septiambar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penggiat Parenting dan Pekerja Sosial

Penulis, Penggiat Parenting dan Pekerja sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Kebiri" untuk Pelaku Kejahatan Seksual

11 Mei 2016   11:19 Diperbarui: 11 Mei 2016   11:43 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tampak asyik sekumpulan bapak-bapak sedang bercengkrama, dari kejauhan saya perhatikan tampak bapak-bapak itu mengenakan pakaian batik dan rapi. Saya menduga kumpulan bapak-bapak itu adalah pegawai sebuah lembaga. Saat saya mendekati dan melewatinya tampak antusias seorang bapak mengungkapkan cerita yang paling baru tentang kejahatan seksual yang dialami oleh seorang perempuan di daerah jawa barat. Cerita miris itu diperparah dengan kenyataan bahwa suaminya pun ikut menjadi korban penyekapan. Seperti mendengar cerita film saja, sambil mengerutkan dahi saya berlalu dari sekumpulan bapak itu dengan perasaan marah dan prihatin.

Kejahatan seksual sudah menjadi teror baru ditengah masyarakat kita, rentetan kejadian dari seluruh wilayah Indonesia seolah-olah tidak ada habisnya. Itu baru yang terblow up, belum peristiwa yang tak terungkap. Banyak korban kejahatan malu untuk melapor ataupun menceritakan kepada orang lain, karena dianggap aib dan memalukan. Pun kemudian tindak lanjut dari laporan korban kadang terhambat dengan peraturan yang berlaku di negara ini. Kita semua tahu bahwa sejauh ini hukuman untuk pelaku kejahatan seksual masih belum pantas.

Undang-undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 mengatur tentang ancaman hukuman untuk pelaku kejahatan seksual yaitu pada pasal 81 dan 82. Pasal 81 berbunyi  “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300. 000. 000, 00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”, sedangkan pada Pasal 82 berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300. 000. 000, 00 ( tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60. 000. 000, 00 (enam puluh juta rupiah)”.

Kedua pasal tersebut jelas menyebutkan bahwa hukuman untuk para pelaku kejahatan seksual terhadap anak paling lama 15 tahun penjara dan paling singkat 3 tahun penjara. Angka yang sangat sedikit dan tidak pantas untuk membuat JERA para pelaku kejahatan seksual ini. Jika kita bandingkan dengan kerugian yang dialami oleh para korban kejahatan. Banyak korban kejahatan seksual mengalami trauma berkepanjangan dan jelas membutuhkan waktu lama untuk sembuh dari trauma. Belum lagi bagi para korban yang harus kehilangan nyawa karena kebiadaban para pelaku ini. Tengok saja rentetan kasus beberapa bulan ini, hampir semua pelaku yang berhasil tertangkap hanya dikenai ancaman hukuman paling lama 15 tahun, meski untuk sebagaian yang lain ada yang terancam hukuman berlapis.

UU tentang perlindungan anak dan kejahatan seksual ini sangat urgent untuk diperbaharui dan diubah. Ancaman hukuman untuk para pelaku kejahatan dirasa tidak pas dan tidak memberikan efek jera. Sangat mungkin terjadi pelaku yang sudah menjalani hukuman penjara nantinya keluar dan melakukan hal serupa. Akan berapa banyak lagi korban-korban berjatuhan?

Ada banyak wacana yang pernah diungkapkan dimedia tentang hukuman para pelaku kejahatan, salah satunya adalah hukum KEBIRI untuk para pelaku. Wacana ini menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia berencana mengatur hukuman bagi pelaku kejahatan seksual melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kebiri berarti, kebiri/ke·bi·ri/ a sudah dihilangkan (dikeluarkan) kelenjar testisnya (pada hewan jantan) atau dipotong ovariumnya (pada hewan betina); sudah dimandulkan. Tindakan pengkebirian bertujuan untuk mematikan fungsi testis dan ovarium melalui tindakan bedah. Jadi bisa dipastikan fungsi seksual dari orang yang sudah dikebiri akan berakhir.

Wacana tersebut dianggap pas diterapkan sebagai bentuk punisment untuk para pelaku kejahatan seksual, agar mereka tidak mengulangi perbuatan serupa. Atau paling tidak juga memberikan dampak untuk seluruh masyarakat sehingga apabila ada orang yang berniat untuk melakukan kejahatan seksual berfikir ulang untuk melakukannya karena efek hukuman yang diterapkan.

Semoga kabar baik yang saya baca hari ini melalui koran nasional benar adanya, bahwa Presiden kita mulai bergerak dan memperhatikan dengan serius tentang rentetan kasus seksual yang terjadi. Harapannya tidak berhenti pada tahap wacana saja, tetapi implementasi segera. Perwujudan nyata melalui langkah-langkah besar untuk merealisasikan perubahan UU yang mengatur tentang Kejahatan Seksual di  Indonesia. Akan ada hukuman yang memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan, akan ada harapan bagi korban dan keluarga korban mendapatkan keadilan.

“Kebiri” Pelaku kejahatan seksual semoga terwujud sehingga masa depan anak-anak kita bisa terselamatkan.

Mari khusuk berdoa..

Salam hangat

Septi Ambar

Masyarakat Indonesia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun