Seperti yang sudah kita ketahui sebelumnya, Pada tanggal 7 Oktober 2021, ternyata. Pimpinan DPR secara resmi mengesahakan RUU HPP menjadi Undang-Undang yang memuat UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Karbon, Program Pengungkapan Sukarela (PPS), dan Cukai.
Sebelum kita membahas lebih lanjut dari dampak Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini, mari kita bahas. "Apa sih UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Karbon, Program Pengungkapan Sukarela (PPS), dan Cukai." :
Pajak Pertambahan Nilai (ppn) adalah pemungutan pajak terhadap tiap transaksi/perdagangan jual beli produk/jasa dalam negeri kepada wajib pajak orang pribadi, badan usaha maupun pemerintah.
Pajak Penghasilan (PPh), Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Pajak (DJP), PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak.
Pajak Karbon Merujuk IBFD International Tax Glossary (2015), pajak karbon (carbon tax/energy tax/CO2 tax) secara umum adalah pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil. Pajak ini dikenakan dengan tujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya.
Sebagian besar pajak karbon berbentuk cukai, baik sebagai sumber penerimaan umum maupun dialokasikan untuk tujuan tertentu. Misalnya, cukai atas minyak mentah dan produk minyak untuk mengatasi kerusakan dari tumpahan minyak bumi.
Dikutip dari laman Kemenkeu PPS adalah program yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak dengan cara pengungkapan harta yang belum dilaporkan. Di dalam PPS, pemerintah memberikan kesempatan atas harta yang diungkapkan untuk dinvestasikan di dalam negeri.
Cukai adalah pungutan pajak yang dikelola oleh negara dan dikenakan atas barang-barang tertentu dengan sifat dan karakteristik yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai. Perbedaan bea dan cukai adalah barang yang menjadi objek pungutan.
Langsung saja, kita Kembali ke materi inti. Sebenarnya apa saja dampak dari Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bagi masyarakat sendiri. Beriku beberapa dampak tersebut :
1. Dipakainya NIK sebagai NPWP
Dalam hal ini, untuk melaporkan dan membayar pajak, harus mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Identitas itu harus di buat sendiri di Kantor Pelayanan Pajak. Ini berbeda dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Nomor identitas tersebut langsung di miliki saat sudah punya Akta Kelahiran. Maka dari itu, melaui Undang-undang HPP, NIK akan langsung difungsikan sebagai NPWP. Hal ini tertuang dalam UU HPP Pasal 2. Langkah tersebut diambil untuk menyederhanakan administrasi perpajakan. Walau begitu, para pemilik NIK tidak langsung diwajibkan membayar pajak. Pemilik NIK baru wajib dikenakan pajak ketika penghasilannya lebih dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
2. Perubahan Tarif PPh
Di tinjau dari beberapa sumber, memberikan poin-poin penting dalam perubahan UU PPh, antara lain: perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan, perubahan bracket tarif pajak untuk wajib pajak orang pribadi, pengenaan tarif pajak sebesar 35% untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar, tarif PPh Badan untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya sebesar 22%, dan adanya batas peredaran bruto tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi dengan omset sampai dengan 500 Juta tidak dikenai pajak. RUU HPP juga menetapkan tarif PPh Badan sebesar 22 persen untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya, sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai menaikkan penerimaan dari PPh dengan tetap dapat menjaga iklim investasi. Tarif ini lebih rendah dibandingkan dengan tarif PPh Badan rata-rata negara ASEAN (22,17%), negara-negara OECD (22,81%), negara-negara Amerika (27,16%), dan negara-negara G20 (24,17%).
3. Terjadinya Tax Amnesty jilid II
Mengutip Direktorat Jendral Pajak, tax amnesty atau pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang harusnya dibayar langsung oleh pihak yang besangkutan. Dengan begitu, meski tidak membayar pajak, yang bersangkutan tidak akan dikenakan sanksi administrasi denda, apalagi hukuman pidana. Pihak tersebut hanya diminta mengungkap harta yang seharusnya dikenai pajak. Setelah itu, yang bersangkutan wajib membayar uang tebusan sesuai dengan ketentuan. Program tax amnesty biasanya berjalan selama periode tertentu. Indonesia pernah menjalankannya pada 2016-2017 lalu. Dengan berlakunya UU HPP, pemerintah akan mengadakan pengampunan pajak jilid II. Program tersebut akan diadakan pada 1 Januari 2022 sampai akhir Juni 2022 dan rencananya, amnesty jilid II dijalankan secara online.
Dari pemaparan yang ada di atas, sebenarnya pemerintah kita ini ingin melakukan revolusi baru, dari Nomor Induk Penduduk (NIK) yang menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi (NPWP OP) dengan ketentuan yang bisa dibilang sangat baik. Jika memang dijalankan sesuai dengan pemaran yang telah disebutkan di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H