Tawa Pak Bob meledak, aku makin cemberut. Ya, walau sebenarnya kami ini bos dan karyawan, tapi karena kami dulu adalah teman lama, aku bisa bebas mau bercanda atau marah padanya saat berada diluar kantor.
"Aku juga belum makan nih," kata Bob.
"Habis makan kita ke butik Mbak Ines ya," katanya. Aku hanya mengangguk, semua dia yang mengatur.
Aku mencoba beberapa gaun pesta untuk kupakai nanti malam. Sebisa mungkin aku memilih gaun yang sopan tapi elegan. Aku bukanlah gadis metropolitan asli, aku berasal dari daerah. Setelah mendapat gaun yang kuinginkan, aku memilih sepatu hak tinggi, dan clutch bag untuk dipadukan dengan gaun yang akan kupakai nanti.
Aku melirik Pak Bob, yang ternyata sedari tadi terus memperhatikanku.
"Kapan nih mau nikahnya?" tanya Mbak Ines sambil tersenyum manis.
Pertanyaan Mbak Ines tak jelas ditujukan pada aku atau Pak Bob. Yang jelas, aku memilih diam.
"Ya, entar juga nyampe undangannya ke Mbak," jawab Pak Bob sambil mengedipkan matanya.
 "Berapa semua Mbak?" tanya Pak Bob.
Ini bukanlah kali pertama ia membelikanku gaun karya disainer terkenal, atau tas dan sepatu branded, tapi tetap aja aku belum terbiasa dengan harganya yang sama dengan biaya hidupku berbulan-bulan.
"Bob mahal sekali gaunnya," kataku setelah di mobil menuju ke kantor.