Mohon tunggu...
Cepik Jandung
Cepik Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar Kajian Budaya

Lulusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ibu Memasak di Dapur dan Ayah Membaca Koran: Kajian Poststrukturalisme

18 Januari 2025   06:46 Diperbarui: 23 Januari 2025   10:59 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu Memasak di Dapur, Ayah Membaca Koran: Menelisik Asumsi Keliru yang Dinormalkan

Pengantar

Dalam keasyikan dan manisnya masa sekolah dasar, suatu paradigma keliru mengisi nadi tanpa sempat disaring. Seolah fungsi hati hilang karena otak yang dikepala telah menganggap apa yang sedang masuk ke tubuh memang sudah lumrah. Tidak jarang contoh kehidupan yang biasa ditampilkan di buku bahkan bapak dan ibu guru terus mengulanginya bahwa ketika ibu sedang memasak di dapur ayah pun sedang membaca korannya. Adakah yang janggal pada kegiatan ibu dan ayah dari contoh yang terus diulang dan ditanamkan ke hati dan kepala ketika sekolah dasar ini? Barangkali sulit untuk mengatakan iya karena memang tanpa disadari telah tertanam kuat sebuah pola pemikiran besar, lazim dan dinormalkan begitu saja bahwa perempuan tempatnya selalu untuk melayani laki-laki. 

Perempuan lebih rendah dan laki-laki lebih superior. Asumsi seperti ini kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari walaupun secara praktis hampir sulit untuk memperhatikannya. Ketika bertamu misalnya, secara spontan adik perempuan, kakak perempuan, ibu atau siapa saja yang dianggap perempuan memiliki tugas untuk menyiapkan minuman. Alasannya mungkin sangat sederhana, mereka yang lebih paham tentang hal semacam itu. Akan tetapi sejak kapan mereka menjadi lebih paham dan mengapa mereka bisa lebih paham atau mengapa mereka harus lebih paham jarang dipertanyakan.

Asumsi bahwa dapur menjadi tempatnya perempuan dan laki-laki sama sekali tidak perlu membantu bahkan dilarang ke dapur masih menjadi rujukan dalam kehidupan sehari-hari. Asumsi semacam ini sejatinya tumbuh subur dalam realitas atau dinamika yang sejak awal didominasi oleh orang yang berpikir secara patriarki. Dalam bedahan poststrukturalisme, hal semacam ini mencerminkan norma-norma patriarkal yang mengakar dalam masyarakat, di mana memasak dan mengurus rumah tangga dianggap sebagai tanggung jawab perempuan semata. Apakah patriarki bernilai buruk, diskusinya tidak akan sampai menilai secara moral tetapi bisa sangat mendekati. Hanya akan digali dan dilihat secara berbeda sembari menemukan inspirasi yang berbeda. 

Penormalan Asumsi

Secara umum asumsi bahwa ibu tempatnya di dapur dan ayah bersantai di ruang tamu ini diterima begitu saja oleh orang yang sejak awal hidup dengan pola pikir bahwa perempuan memang tempatnya di dapur untuk melayani suaminya. Di banyak keluarga, perempuan bahkan kerap dianggap sebagai 'ratu dapur' yang diharapkan untuk menguasai keterampilan memasak dan mengurus rumah tangga. Asumsi semacam ini tentu tidak hanya membatasi peran perempuan tetapi juga menciptakan anggapan lain bagi laki-laki yang ingin terlibat dalam aktivitas yang dilakukan oleh perempuan. Laki-laki yang membantu ibunya, adik dan kakak perempuannya serta istrinya memasak atau tindakan semacamnya kerap dianggap lemah atau tidak maskulin. Menurut data dari The Global Gender Gap Index yang diambil oleh Jihaan (2021), kesadaran akan kesetaraan gender di Indonesia masih rendah, terutama dalam hal pembagian tugas domestik. 

Apabila ditelisik lebih jauh bagaimana pemikiran dan praktik tidak elok ini tetap bertahan hingga saat ini, ternyata pendidikan pun memberikan dampak yang sangat signifikan. Pendidikan tentang kesetaraan gender yang minim dan dogmatisme yang tidak tepat sejak dini berkontribusi pada penguatan stereotip bahwa laki-laki tidak boleh ke dapur atau tidak boleh melakukan tugas yang dianggap hanya tugas perempuan semata. Kembali ke bahan yang dipakai di sekolah misalnya terselip asumsi patriarki yang sangat kuat. Salah satu contoh lain yang memuat asumsi patriarki dan melanggengkan ketidaksetaraan gender yakni ajaran bahwa "Wati mencuci piring dan Budi bermain layang-layang". Dogmatisme sederhana ini memberikan dampak yang sangat besar dalam menempatkan posisi perempuan dan laki-laki dalam hidup sehari-hari. Dalam contoh yang terus diulang oleh bapak-ibu guru ini, pertama-tama harus diperjelas bahwa Wati dalam asumsi ini menunjuk ke anak perempuan dan Budi menunjuk ke anak laki-laki. Asumsi dan klaimnya jelas bahwa anak-anak perempuan wajib hukumnya untuk mencuci piring sementara anak laki-laki bebas untuk bermain. 

Terang bahwa asumsi semacam ini kerap diterima begitu saja selama ini, terlebih dalam budaya patriarki dan bahkan tertanam kuat pada semua orang yang dikatakan terdidik sejak kecil. Parahnya lagi, apabila diperhatikan perbandingan yang ditunjukkan, apa yang dilakukan anak perempuan merupakan sebuah pekerjaan dan dalam konteks membantu keluarga. Sebaliknya, apa yang dilakukan anak laki-laki hanya demi hobinya sendiri bahkan bisa dikatakan hanya demi kesenangannya. Demikian pun dengan perbandingan antara ibu yang memasak di dapur dan ayah yang membaca koran. Secara kuantitas terkait diperlukannya kekuatan fisik saja sudah sangat berbeda dalam aktivitas ibu yang memasak dan ayah yang hanya membaca koran. Selain itu, kegiatan menyiapkan makanan merupakan kegiatan untuk keluarga, tidak ada alasan yang begitu meyakinkan untuk menjelaskan bahwa mesti ibu yang menyiapkan makanan dan adik perempuan yang mencuci piring untuk keluarga sementara ayah bersantai saja dan anak laki-laki pun hanya bermain saja.

Sayangnya, oposisi biner dalam kasus ibu harus di dapur dan ayah tidak perlu membantu bahkan diperparah dengan asumsi bahwa ayah memang tugasnya membaca koran. Sebuah pembedaan dan perbandingan antara dua hal yang sangat tidak proporsional tetapi oposisi biner membenarkannya. Harus diakui bahwa ada kesenjangan gender bahkan dalam rumah tangga, semua ini dapat dimulai dari ketidakseimbangan dalam pembagian tugas dan tanggung jawab. Lebih jauh misalnya, laki-laki sering kali didorong untuk mengejar karir, sementara perempuan lebih banyak terikat pada pekerjaan domestik. 

Realitas semacam ini apabila digali bagaimana pelanggengannya dapat ditemukan dalam banyak aspek termasuk dalam pendidikan. Anggapan bahwa sekolah dapat menjadi wadah memperjuangkan kesetaraan gender justru dapat menjadi sarana pelanggengan penderitaan perempuan. Sistem pendidikan yang kurang memperhatikan paradigma berpikir kritis dapat membuat posisi wanita lebih rendah dan bahkan ditanamkan secara masif di sekolah-sekolah sejak awal. Semua ini sesungguhnya dapat menyebabkan stres dan konflik dalam hubungan keluarga, dimana anggota keluarga, khususnya perempuan merasa tertekan dengan beban yang tidak seimbang. Hal ini pun berimplikasi lebih jauh pada perempuan yang kemudian merasa diremehkan dan kehilangan kontrol atas kehidupan mereka sendiri.

Evaluasi oleh Poststrukturalisme

Ajaran di sekolah dasar bahwa ibu memasak di dapur dan Ayah membaca koran tidak bisa dipungkiri berkontribusi pada banyaknya subordinasi pada perempuan. Bahkan asumsi ini menormalkan ketidaksetaraan gender dan melemahkan daya kritis akan ketidaksetaraan gender. Buruknya lagi, kurangnya kesadaran akan kesetaraan gender memiliki implikasi yang signifikan dan luas, mencakup aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan. Kurangnya pemahaman tentang kesetaraan gender misalnya mengarah pada diskriminasi terhadap perempuan yang meliputi kekerasan fisik dan seksual, serta pelecehan yang meningkat, yang sering kali berasal dari norma sosial yang patriarkal (Jihaan, 2021). Data menunjukkan bahwa banyak perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual, yang sebagian besar disebabkan oleh minimnya kesadaran orang mengenai keadilan gender.

Stereotip gender yang kuat pun hingga saat ini menyebabkan perempuan sering kali tidak mendapatkan akses yang sama dalam pendidikan dan kesempatan kerja. Dalam dunia pendidikan dan asumsi umum masyarakat, masih ada peraturan sekolah yang masih bias gender serta pandangan bahwa pendidikan tinggi tidak perlu untuk perempuan. Hal yang sama kemudian berdampak pada rendahnya angka partisipasi perempuan dalam dunia kerja dan posisi kepemimpinan. Lebih jauh lagi ketidakadilan gender yang terus berlanjut dapat memperkuat sikap seksisme di kalangan generasi muda (Pertiwi, 2022). Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan ketidaksetaraan gender pun cenderung menginternalisasi asumsi yang dinormalkan sejak kecil, sehingga memperkuat stereotip dan diskriminasi di masa depan. Apabila tidak ada kesadaran dan tindakan untuk memperbaikinya, semua ini akan menciptakan siklus dimana perempuan dianggap hanya untuk melayani laki-laki serta terus berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Poststrukturalisme melihat bahwa gagasan mengenai sistem universal yang ditopang oleh oposisi biner seringkali menjadi tindakan kekerasan (Anom: 2024, 123) untuk yang disubordinasikan dalam oposisi, termasuk dalam pembagian antara ibu memasak di dapur dan ayah membaca koran. Poststrukturalisme menyoroti bagaimana gagasan mengenai sistem universal yang didasarkan pada oposisi biner sering kali berujung pada tindakan kekerasan terhadap mereka yang terpinggirkan dalam struktur tersebut. Dalam konteks ini, pembagian peran antara ibu yang memasak dan ayah yang membaca koran mencerminkan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang, di mana perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat.

Secara poststrukturalisme asumsi ini dipertanyakan, bagaimana bisa kegiatan ibu yang menyiapkan makanan seimbang dengan kegiatan ayah yang hanya santai menikmati bacaannya pada koran. Lensa poststrukturalisme melihat kekeliruan pemberian makna bahkan nilai yang diberikan kepada kedua kegiatan tersebut. Menyiapkan makanan bukan hanya sekadar tugas domestik melainkan juga sebuah bentuk pengabdian, kreativitas, dan keterampilan yang memerlukan waktu dan usaha. Sementara itu, membaca koran dapat dipandang sebagai cara untuk mendapatkan informasi dan memperluas wawasan. Akan tetapi, apabila dianggap bahwa satu aktivitas lebih bernilai daripada yang lain bahkan hanya berdasarkan gender maka hal itu mengabaikan kompleksitas dan kontribusi masing-masing peran.

Dalam perspektif poststrukturalisme juga, bahwa berangkat dari oposisi biner, asumsi dan praktik ibu tempatnya di dapur dan langsung kontras bahkan tidak sebanding dengan ayah membaca koran sudah selalu ada pembagian yang jelas antara mana yang lebih unggul dan mana yang lebih subordinat. Dalam sistem patriarki, oposisi biner ini menyepelekan perempuan, termasuk bahwa Wati bertugas mencuci piring dan Budi hanya bermain layang-layang. Kerangka berpikir oposisi biner dan sistem patriarki melihatnya sah-sah saja tetapi orang yang berpikir secara poststrukturalisme justru mempertanyakan klaim ini bahkan cenderung menolak. Tidak ada alasan rasional yang dapat membenarkan klaim bahwa anak-anak perempuan harus bekerja sementara anak-anak laki bermain. Apabila melihat konteks perbandingan pun akan sangat kontras menunjukkan ketidakadilan, apa yang dilakukan anak-anak perempuan merupakan tugas dalam rumah tangga yang bertujuan untuk kepentingan keluarga. Sebaliknya, anak laki-laki melakukan kegiatan yang merupakan kesenangan pribadi yang seharusnya juga dinikmati oleh seorang anak perempuan.

Secara poststrukturalisme, asumsi bahwa anak-anak perempuan mencuci piring dan anak-anak laki bermain merupakan sebuah model struktur tertentu. Oleh karena itu dapat dikritisi karena sesungguhnya struktur itu bersifat sementara dan semua makna bersifat terbuka (Anom: 2024, 123). Akan berbeda apabila kegiatan mencuci piring dilakukan bersama oleh Wati dan Budi karena itu merupakan tugas untuk kepentingan bersama sehingga dapat meringankan beban tugas. Tidak harus langsung menggunakan pembagian tegas bahwa Wati (anak perempuan) saja yang mencuci piring dan Budi (anak laki-laki) tidak boleh bahkan hanya bermain saja.

Di era kontemporer, dalam kerangka berpikir yang memuat poststrukturalisme setidak telah terjadi kemajuan dan perubahan oleh kelompok yang menyebut diri feminisme. Perjuangan akan kesetaraan gender digaungkan di ruang publik termasuk di bidang politik dan pemerintahan. Meskipun ada kemajuan, tantangan besar tetap ada. Banyak orang masih berpegang pada pandangan tradisional bahwa memasak adalah tugas perempuan. Oleh karena itu, penting untuk terus mendiskusikan dan mendidik masyarakat tentang kesetaraan gender dan pentingnya berbagi tanggung jawab dalam keluarga. Kampanye-kampanye seperti #SuamiIstriMasak yang dipromosikan oleh beberapa pasangan selebritis juga menjadi langkah positif untuk mengubah pandangan ini. Dengan melibatkan laki-laki dalam kegiatan memasak secara terbuka diharapkan stigma negatif terhadap laki-laki yang memasak dapat berkurang (Jihan, 20211).

Dalam poststrukturalisme, oposisi biner seperti perempuan versus laki-laki atau domestik versus publik tidak hanya menciptakan kategori yang kaku tetapi juga memperkuat hierarki sosial. Misalnya, dalam pembagian peran tradisional, ibu dianggap sebagai pengurus rumah tangga dan pelaksana tugas domestik, sementara ayah dilihat sebagai pencari nafkah dan pengambil keputusan. Hal ini mengakibatkan perempuan sering kali kehilangan suara dan kontrol atas kehidupan mereka sendiri, yang dapat berujung pada berbagai bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikologis.

Pembagian peran yang tidak seimbang tidak hanya menciptakan ketidakadilan gender tetapi juga mengakar dalam budaya masyarakat. Saat pelajaran di sekolah bahkan dalam buku yang beredar di masyarakat, dogmatisme ibu memasak di dapur dan ayah membaca koran; Wati mencuci piring dan Budi bermain layang-layang bukanlah hal sepele dan tidak boleh dinormalkan. Normal yang dinormalkan harus dikritisi. Ketika perempuan dipaksa untuk mematuhi norma-norma ini, mereka sering kali mengalami tekanan untuk memenuhi ekspektasi yang ditetapkan oleh masyarakat. Akibatnya, perempuan yang melanggar norma ini dapat mengalami stigma sosial atau bahkan kekerasan dari lingkungan sekitar mereka. 

Poststrukturalisme menawarkan pendekatan dekonstruktif terhadap pemahaman tradisional tentang gender. Dengan membongkar oposisi biner ini, setiap orang dapat mulai melihat bahwa peran gender tidak bersifat tetap dan dapat direkonstruksi. Rekonstruksi pertama dapat dimulai dari asumsi "ibu memasak di dapur dan ayah membaca koran" direkonstruksi menjadi  "ibu dan ayah sedang memasak di dapur" atau "ayah dan ibu sedang membaca". Rekonstruksi sederhana ini sekiranya memberi salah satu gambaran pilihan tindakan yang setidaknya lebih seimbang dan membuat posisi  perempuan sebanding dengan laki-laki.

Selain itu, laki-laki harus berani mulai terlibat dalam tugas domestik termasuk memasak sehingga perlahan membantu mengubah persepsi masyarakat tentang peran gender. Salah satu hal yang membantu mendobrak asumsi ibu memasak di dapur dan ayah membaca koran misalnya lomba memasak yang melibatkan kaum laki-laki. Lomba memasak yang tujuan utamanya untuk mendapat juara menyisipkan gambaran bahwa laki-laki sesungguhnya tidak ada alasan untuk tidak dapat membantu para perempuan memasak bahkan melakukan tugas domestik lainnya dalam rumah tangga. Tidak ada alasan bagi Budi untuk tidak bersama-sama dengan Wati mencuci piring sebelum Budi bermain layang-layang dan Wati juga bermain sesuai hobinya.

Patut dibanggakan, meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender dan contoh-contoh positif dari keluarga-keluarga modern memberi harapan bahwa pandangan yang lebih sesuai tentang perempuan akan terus berubah. Dalam hal ini, mengedukasi masyarakat tentang pentingnya berbagi peran yang seimbang bahkan bekerja sama dalam rumah tangga adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang lebih setara bagi semua anggota keluarga. Mestinya semua ini memang diajarkan dalam keluarga tetapi berangkat dari keresahan yang terjadi, bahkan di sekolah pun harus diajarkan. Tidak hanya itu, pengajaran di sekolah pun harus memperhatikan dengan cermat bahan pengajarannya supaya tidak justru menjadi pelanggengan subordinasi terhadap perempuan. Buku dan bahan pengajaran harus sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan semua pihak dan menciptakan kerangka berpikir yang setara, adil dan sesuai proporsi.

Penutup

Dalam realitas Indonesia saat ini, dapur masih sering dipandang sebagai ruang eksklusif bagi perempuan. Realitas ini pun mendapat kelanggengannya dalam banyak aspek termasuk dalam pendidikan yang dianggap wadah kritis. Dogmatisme sederhana "ibu memasak di dapur dan ayah membaca koran" yang sering digunakan di sekolah memberi dampak yang besar. Sayangnya, subordinasi terhadap perempuan seperti ini tidak mudah untuk dikenali dalam sistem matang seperti patriarki. Oposisi biner yang digunakan dalam patriarki membuat penderitaan perempuan dinormalkan begitu saja bahkan membuat penderitaan perempuan bertubi-tubi dengan perbandingannya yang tidak setara. 

Oleh karena itu, pemahaman poststrukturalisme tentang oposisi biner memberikan wawasan penting mengenai bagaimana struktur sosial dapat menghasilkan kekerasan terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Mengubah cara kita melihat peran gender dan mendekonstruksi norma-norma tradisional serta mengambil langkah penting menuju kesetaraan dan keadilan sosial. Melalui proses ini, diharapkan akan tercipta masyarakat yang lebih inklusif di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi tanpa terikat pada stereotip gender.

Hingga saat ini, dampak dari kurangnya kesadaran akan kesetaraan gender di Indonesia sangat luas dan kompleks bahkan menjadi akar tindakan kekerasan terhadap perempuan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya edukasi yang lebih intensif mengenai kesetaraan gender, baik di sekolah maupun dalam masyarakat luas. Asumsi sebaliknya "ibu dan ayah sedang memasak di dapur" harus diperjuangkan dan diajarkan sejak dini. Program-program sosialisasi dan edukasi harus ditingkatkan untuk membangun pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya kesetaraan gender demi menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Daftar Pustaka

Khoirunnissa, Jihaan, 2021. Mengubah Stigma Peran Perempuan di Dapur Dimulai dari Keluarga, Wolipop. 1 September 2021. Diakses dari https://wolipop.detik.com/love/d-5704552/mengubah-stigma-peran-perempuan-di-dapur-dimulai-dari-keluarga, pada Sabtu 11 Januari 2025, pukul 09.13 WITA.

Kumbara, AA Ngurah Anom. 2024. Teori Sosial-Budaya Kontemporer: Cultural Studies, Teori Kritis, Pascastrukturalisme, Pascamodernisme, Feminisme dan Pascakolonial. Denpasar: Sari Kahyangan Indonesia.

Pertiwi, Sabila Fitra. 2022. Indonesia Darurat Kesetaraan Gender, Sudah Saatnya Dikenalkan Sedari Dini. KKN Universitas Diponegoro. Diakses dari https://kkn.undip.ac.id/?p=354313, pada Senin 13 Januari 2025, pukul 05.45 WITA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun