Mencius hadir seperti seorang revolusioner yang memperhatikan kebutuhan masyarakat China. Selain menjadi seorang penasihat raja, ia pun membela hak-hak rakyat. Buku yang ditulisnya merupakan sebuah sarana untuk menjawab permasalahan masyarakat pada masa itu. Bagaimanapun kondisi sosial China pada saat itu menunjukkan ketidakteraturan, terjadi degradasi moral dan anarki intelektual. Dalam situasi demikian, Mencius menulis beberapa tulisan sebagai bentuk tanggapan atas permasalahan sosial yang dihadapi negaranya.
    Dalam tulisannya, ia mengangkat tentang berbagai masalah yang terjadi dalam negaranya, termasuk memberi nasihat kepada raja yang berkuasa pada saat itu. Dalam pemikirannya, Mencius lebih menekankan tentang kesamaan antara pribadi-pribadi dalam negara. Seperti banyak pengikut Konfusius lainnya, ia lebih merupakan guru dan penggerak daripada ahli teori. Mencius lebih bertendensi untuk menggerakkan orang menuju cita-cita tertentu daripada menyusun dan menyajikan argumen yang benar dan cermat. Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa Mencius tidak menyajikan argumen yang menarik dan meskipun kadang-kadang menarik juga, hanya saja ini bukan tujuannya atau idealnya.
Menjadi Manusia Menurut Mencius
    Mencius ingin orang-orang pada zamannya mampu memperbaiki dan mengubah diri mereka dari keadaan yang bobrok menjadi lebih baik, sesuai dengan moral dan etika yang berlaku pada zamannya. Inti dari teori Mencius adalah keyakinan akan kualitas moral bawaan dan peningkatan sifat alami manusia. Pemikiran Mencius yang terkenal adalah teorinya tentang sifat manusia pada dasarnya baik. Menurut Mencius, manusia memiliki sumber daya aktif dan teramati untuk menjadi baik. Artinya, manusia secara alami memiliki potensi untuk berbuat baik dan berbelas kasih. Perhatian etis utama Mencius, baik teoritis maupun praktis adalah bagian dari praktik pengembangan diri dan moral serta cara berelasi.Â
    Mencius berpendapat bahwa jika manusia menjalankan aspek yang paling penting dan khas dari sifatnya, misalnya kepekaan moral bawaan dan kemampuan untuk berefleksi serta berpikir yang sesuai dan bermanfaat, semua ini dapat membantu mengembangkan moralnya. Kunci dari proses perubahan sikap dan mental setiap orang adalah bagaimana seharusnya menggunakan pikiran dengan baik, tepat dan benar. Menurut Mencius, pada dasarnya pikiran mengandung unsur-unsur afektif, kognitif, dan kehendak.
    Pada hakikatnya yang membuat manusia menjadi manusia adalah esensi kemanusiaan. Esensi yang membedakan ini adalah pikiran manusia (Yulan, 1952, 122). Dengan berpikir, ia menguasai pandangan yang benar tentang sesuatu. Kemampuan pikiran adalah berpikir. Apa yang disukai pikiran, bagaimanapun adalah alasan dan kebenaran. Oleh karena itu, manusia harus bertindak sesuai dengan akal dan kebenaran sehingga dia dapat mengikuti bagian dirinya yang agung. Dengan demikian, dia mempertahankan apa yang menjadikannya manusia dan sesuai dengan definisi esensial dari kata manusia. Jika tidak dia akan kehilangan apa yang dia miliki sebagai manusia dan menjadi sama dengan binatang buas.
    Apabila seseorang kehilangan kebaikan pikirannya, sejatinya ada pemulihan kehidupan atau pikiran setiap malam. Pengaruh pemulihan malam ini berarti hati manusia dan kebenaran yang belum sepenuhnya dihancurkan. Apabila manusia tidak melestarikan pikiran, dia kehilangan kemanusiaannya, dengan demikian menjadi tidak lebih dari seekor binatang. Alasan mengapa Mencius menekankan perlunya mencari pikiran yang hilang, dan tidak kehilangan pikiran adalah karena ini diperlukan sebelum seseorang benar-benar menjadi seorang manusia (Yulan, 1952; 124 ).
    Pandangan Mencius mengimplisitkan bahwa manusia adalah makhluk alami yang merefleksikan diri, bertindak, dan mencari jawaban dengan pikirannya. Sejatinya fungsi alami dari pikiran adalah untuk berpikir atau mencerminkan dan membantu manusia mengatur hidupnya. Ketika seseorang tidak mampu menggunakan pikirannya, ia adalah binatang yang hanya mengandalkan instingnya. Mencius mengatakan bahwa perbedaan antara manusia dengan binatang ialah seorang manusia itu mempunyai asas kebaikan, seperti kemampuan membuat penaklukan yang membedakan antara perbuatan baik dengan perbuatan buruk.Â
    Dalam pandangan Mencius, seseorang yang berpikir, moralitas dan kehendaknya berjalan seimbang, lebih khususnya lagi ia mampu memanusiakan manusia. Mencius menegaskan bahwa ketika seseorang dalam hidup bernegara mengembangkan moralitasnya dengan baik tentunya akan sangat berkontribusi dalam menghasilkan masyarakat yang stabil dan harmonis. Yulan menuliskan (1952; 120) jika seseorang tidak memperluas kebaikan, dirinya tidak akan cukup untuk melindungi istri dan anak-anak sendiri.
    Ajaran etika Mencius menegaskan bahwa orang yang berhati manusia tidak memiliki musuh di bawah langit (Yulan, 1952; 109) Perlakukanlah sebagaimana layaknya usia tua terhadap orang-orang yang lebih tua dalam keluargamu sendiri, agar dapat meluaskan perlakuan ini kepada orang-orang yang lebih tua dari yang lain. Perlakukanlah sebagaimana layaknya kaum muda terhadap kaum muda dalam keluargamu sendiri, agar dapat meluaskan perlakuan ini kepada kaum muda dari orang lain, lakukan ini dan kerajaan dapat dibuat berputar di telapak tangan Anda (Yulan, 1952; 120).
    Menurut Mencius, semua orang memiliki pikiran yang tidak dapat menanggung melihat penderitaan orang lain (Yulan, 1966; 75). Oleh karena itu, manusia yang tidak memiliki rasa simpati bukanlah seorang manusia. Dia yang tidak memiliki rasa malu dan tidak suka bukanlah seorang manusia. Dia yang tidak memiliki perasaan rendah hati dan kepasrahan bukanlah seorang manusia. Dia yang tidak memiliki rasa benar dan salah bukan manusia. Perasaan iba adalah awal dari hati manusia. Perasaan malu dan tidak suka adalah awal dari kebenaran. Perasaan rendah hati dan mengalah adalah awal dari kepatutan. Perasaan benar dan salah adalah awal dari kebijaksanaan.