Mohon tunggu...
Cepik Jandung
Cepik Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar Kajian Budaya

Lulusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ajaran Aristoteles tentang Pendidikan

21 November 2024   07:30 Diperbarui: 21 November 2024   07:40 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pengantar

Pendidikan merupakan salah satu tema sentral dalam pemikiran filsafat Aristoteles  (367-345 SM). Sebagai salah satu filsuf besar dalam sejarah, Aristoteles memberikan kontribusi yang signifikan terhadap konsep pendidikan. Dalam pandangannya, pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mentransfer pengetahuan tetapi juga untuk membentuk karakter dan moral individu. Aristoteles menekankan pentingnya pendidikan dalam mencapai kebahagiaan dan kehidupan yang baik, sebagai individu dan warga negara.

Lazim kita mendengar bahwa pendidikan merupakan proses pembelajaran seumur hidup yang melibatkan perolehan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Pendidikan diibaratkan sebuah perjalanan yang terus-menerus untuk mengembangkan diri, baik secara intelektual, emosional, maupun sosial. Pendidikan tidak hanya terjadi di dalam ruang kelas, tetapi juga di lingkungan keluarga, masyarakat, dan melalui pengalaman hidup sehari-hari. Meski demikian, Aristoteles melihat krusialnya pendidikan tersistem (sekolah formal), artinya pendidikan dalam sebuah komunitas atau instansi tertentu sangat penting dilakukan untuk mengembangkan potensi individu. 

Pendidikan dalam konteks formal sesungguhnya membantu setiap individu mencapai potensi maksimal mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Pendidikan menyiapkan individu untuk masa depan dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan (dunia kerja dan kehidupan modern serta birokrasi negara) hidup. Dengan adanya pendidikan tersistem juga diharapkan akan menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai nilai moral, etika, dan sosial yang penting untuk kehidupan bermasyarakat. Dalam pandangan Aristoteles, selain membentuk karakter personal, pendidikan dalam konteks tersistem diperuntukkan untuk membentuk warga negara yang baik. Dengan pendidikan, negara mendidik individu menjadi warga negara yang bertanggung jawab, demokratis, dan peduli terhadap lingkungan. Tentu saja poin Aristoteles tidak tanpa argumentasi dan langkah praktisnya terkait pandangannya ini.

Pandangan Aristoteles tentang Pendidikan

Aristoteles lahir pada tahun 394 SM di Stagira, sebuah kota kecil di semenanjung Chalcidies di sebelah barat laut Egea. Ayahnya Nichomachus adalah seorang dokter yang merawat Amyntas II, salah satu raja Macedonia. Ayahnyalah yang mengatur Aristoteles menerima pendidikan lengkap dari masa kanak-kanak dan mengajarinya ilmu kedokteran dan teknik pembedahan. Ayah dan ibunya, Phaesta, mempunyai nenek moyang terkemuka. Di usianya yang ke 17 tahun, Aristoteles  belajar di Athena di sebuah Akademi yang didirikan oleh Plato. Aristoteles menjadi diketahui menjadi murid terbaik Plato dan menunjukkan bakatnya yang luar biasa dalam berpikir dan menerapkan logika (A. Setyo Wibowo, 2006, 15-18)

Aristoteles mendirikan sekolahnya sendiri yang bernama Lyceum. Aristoteles mengajar para muridnya dalam berbagai disiplin ilmu, mencakup politik, etika, fisika, biologi, dan metafisika. Aristoteles menulis banyak karya dalam hidupnya yang mencakup berbagai ranah pemikiran. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain Metaphysics, Nicomachean Ethics, Politics, Physics, dan Poetics (Irawan; 2023, 3). Karya-karyanya ini kerap menjadi rujukan filsafat barat dan ilmu-ilmu yang berkembang saat ini.

Pandangan Aristoteles tentang pendidikan  terutama  ditemukan  dalam  buku Ethica Nicomachea dan Politica. Dalam dan dengan pendidikan, pendidik berusaha untuk menghasilkan dengan pelbagai latihan, orang-orang (baik laki-laki maupun perempuan) yang akhirnya memiliki rasio serta keutamaan. Walaupun dalam konteks pendidikan sebagai warga negara, perempuan pada masa Aristoteles masih belum dianggap sebagai warga negara. Uraian  tentang  pendidikan  dalam Politica pun lebih dipusatkan  pada  tindakan-tindakan  yang  harus  diambil  oleh  negara  untuk  memungkinkan  terwujudnya  hidup yang  baik untuk  para  warga. Dalam Politica itu Aristoteles menunjukkan kepercayaannya bahwa pendidikan harus dikontrol dan dikendalikan oleh negara dan tidak boleh diserahkan ke dalam tangan swasta.

Poin Aristoteles yang menekankan pendidikan harus diambil alih oleh negara tentu problematik, khususnya dengan mempertimbangkan fenomena belakangan yang menunjukkan bahwa justru pendidikan swasta (maraknya video anak SD, SMP, dan SMA yang tampak tidak  mengetahui ilmu-ilmu dasar) lebih terlihat kompeten. Akan tetapi Aristoteles mempunyai argumentasi yang menarik. Asumsi umumnya adalah orang baik sebagai individu pastinya warga negara yang baik kalau tidak hal ini akan kontradiktif. Asumsi Aristoteles berbeda dengan asumsi umum ini karena menurutnya seorang individu yang baik belum tentu warga negara yang baik, demikian sebaliknya warga negara yang baik belum tentu seorang individu yang baik.

Dalam pandangan Aristoteles, orang baik tetaplah sama tidak tidak tergantung pada aturan atau konstitusi negara. Karakter orang yang baik berangkat dari moralitas yang dipegangnya sebagai pedoman hidup sehari-hari. Sebaliknya, warga negara yang baik mengikuti aturan dan konstitusi negara. Apabila ada aturan berbeda dari negara atau konstitusi negaranya diganti, warga negara yang baik harus mengikuti. Karakter warga negara yang baik berdasarkan kesetiaannya pada konsep kewarganegaraan yang dimilikinya, apa peran dan tugasnya sebagai warga negara (Narmoatmojo; 2012, 27).

Asumsi di atas tentu saja ada unsur pengecualian atau dapat terjadi bahwa dua karakter yang baik terjadi bersama-sama dan semestinya itulah yang berlaku. Akan tetapi hal ini bisa sangat jarang terjadi, oleh karena itu dalam konteks hidup bernegara orang harus selalu siap untuk memerintah dan diperintah. Terkait hal inilah Aristoteles mengatakan pentingnya pendidikan khususnya pendidikan yang tersistematis dari negara. Aristoteles menegaskan supaya pendidikan di sebuah negara mestinya dibuat dengan sistem yang sama. Warga negara tidak hanya berkaitan dengan status dirinya sebagai individu tetapi juga sebagai warga negara ia harus merasa memiliki negaranya.

Model Pendidikan Menurut Aristoteles

Menurut Aristoteles, agar orang dapat hidup maka ia harus mendapatkan pendidikan. Pendidikan bukanlah soal akal semata-mata, melainkan soal memberikan bimbingan pada perasaan-perasaan yang lebih tinggi yaitu akal, guna mengatur nafsu-nafsu. Akal sendiri tidak berdaya, sehingga ia memerlukan dukungan-dukungan yang lebih tinggi agar diarahkan secara benar. Aristoteles mengemukakan bahwa pendidikan yang baik itu mempunyai tujuan untuk kebahagiaan (Barnadib; 1994, 72). Manusia pada hakikatnya selalu mencari sesuatu yang baik bagi dirinya. Meski demikian, bagi Aristoteles, ada satu tujuan yang tertinggi dan yang terakhir dalam pencarian manusia. Tujuan itu dikejar demi dirinya sendiri, bukan demi suatu tujuan yang lain lagi. Semua tujuan-bawahan terarah kepada tujuan yang terakhir itu dan tujuan yang terakhir itu adalah kebahagiaan, eudaimonia.

Oleh karena itu, menurut Aristoteles, pendidikan yang baik sebaiknya diberikan kepada semua anak. Pendidikan sebagai proses pembentukan karakter yang melibatkan semua anak sebagai warga negara. Dengan memberikan pendidikan, negara tidak hanya membangun generasi yang cerdas secara intelektual tetapi juga bermoral dan beretika. Bagi Aristoteles, pendidikan yang baik akan mempersiapkan individu untuk menjalani kehidupan yang baik dan bermakna serta mencapai yang merupakan tujuan tertinggi dalam hidup manusia.

Dalam hubungan dengan apa yang harus dipelajari, filsuf ini memiliki tawarannya sendiri dan menurutnya pendidikan itu memang harus bertahap dan sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Putra-putri, semua warga negara, sebaiknya diajar sesuai kemampuan mereka. Pada tahun-tahun pertama, ia menekankan pentingnya kesehatan fisik dengan pelbagai latihan olahraga dan meluhurkan budi dengan literatur, kesenian dan musik (Lanur; 2022, 34). Dengan memberikan penekanan pada kesehatan fisik melalui olahraga, individu tidak hanya akan memiliki tubuh yang sehat tetapi juga mental yang kuat. Kesehatan fisik dianggap sebagai fondasi yang penting untuk mencapai kebajikan dan kebahagiaan. 

Artinya, sampai berusia lima tahun, tidak ada perangkat  pelajaran-pelajaran  untuk  anak-anak, tetapi  mereka  tetap  berlatih  dalam  permainan-permainan  yang  membawa  Kesehatan. Olahraga dalam konteks pendidikan berfungsi sebagai sarana untuk mengajarkan disiplin, kerja sama, dan ketahanan. Aristoteles beranggapan bahwa latihan fisik dapat membantu membangun karakter yang baik dan mempersiapkan individu untuk menghadapi tantangan hidup dan berkontribusi pada pengembangan kebiasaan positif yang akan terbawa hingga dewasa.

Kemudian ketika seorang anak telah mencapai usia tujuh tahun,  mereka  mulai  diberi  pelajaran  yang  berguna  untuk  masa depan;  pada  waktu  ini  mereka  tidak  boleh  bergaul  dengan  para budak  dan  pelayan (konteks Yunani kuno). Sebab, anak-anak itu tidak dapat tidak meniru kebiasaan-kebiasaan dan perilaku tidak baik para budak dan pelayan itu; selain itu para "guru" juga harus menjaga agar anak-anak tidak melihat  dan  mendengar  hal-hal  yang  tidak  baik dan  tidak  pantas;  para  guru  itu  juga harus menyeleksi cerita-cerita yang boleh didengar oleh anak-anak tersebut. 

Pelajaran seorang pemuda mencakup membaca-menulis, olahraga, musik dan melukis (Lanur; 2022, 34). Aristoteles menerangkan bahwa kemampuan membaca dan menulis adalah dasar penting dalam pendidikan. Dengan membaca dan menulis seorang individu dibantu untuk mengakses pengetahuan dan memproses informasi secara efektif. Dengan membaca dan menulis memungkinkan individu berkomunikasi secara efektif dan dapat memperluas wawasan dan memahami berbagai ide serta konsep yang ada di masyarakat.

Aristoteles menekankan pentingnya musik dan melukis dalam pendidikan. Melalui musik dan melukis, individu diajarkan untuk menghargai keindahan dan nilai-nilai estetika, yang berkontribusi pada pengembangan rasa moral dan etika. Musik merupakan sarana utama untuk memanfaatkan waktu luang untuk mewujudkan kesenangan dan membangun keselarasan jiwa (Barnadib; 1994, 28). Musik dapat memperkaya pengalaman estetika individu dan berperan dalam pengembangan rasa moral dan etika. Demikian pun dengan seni visual seperti menggambar dianggap penting karena aktivitas ini membantu individu mengembangkan kreativitas dan memahami nilai-nilai estetik.

Dengan mengintegrasikan olahraga, kemampuan membaca dan menulis serta seni dalam pendidikan, Aristoteles mengusulkan pendekatan yang seimbang dalam pengembangan individu. Pendidikan tidak hanya terfokus pada akademis tetapi juga pada pembentukan karakter yang utuh. Hal ini penting untuk menciptakan warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Ini sejalan dengan pandangan Aristoteles bahwa kebajikan moral adalah hasil dari pembiasaan dan pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik ini mungkin dilakukan dan niscaya pada  sistem dan model tertentu. 

 Aristoteles percaya bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dan observasi. Ia menekankan pentingnya proses pengumpulan fakta dan penelitian sebagai dasar dari pembelajaran. Argumennya ini secara tidak langsung menjadi pedoman metode ilmiah modern. Dengan pendekatan ini, siswa diajak untuk memahami konsep-konsep melalui pengalaman langsung daripada sekadar menerima informasi secara pasif.  Aristoteles tidak hanya berargumen melainkan juga menerapkannya. Selain menjadi pengajar, ia juga menjadi peneliti dan penyelidik yang giat. Aristoteles diketahui melakukan banyak observasi dan eksperimen pada hewan dan tumbuhan. Dari observasi dan penelitiannya ini, Aristoteles menyumbangkan banyak pengetahuan baru ke dalam ilmu alam (Irawan; 2023, 3). 

Aristoteles pun menegaskan bahwa disiplin merupakan hal yang esensial dalam mengajarkan para pemuda untuk mematuhi perintah-perintah dan mengendalikan gerakan hati mereka. Sebagaimana ditekankan Aristoteles, pendidikan memiliki tujuan moral yang penting, bahwa pendidikan harus membentuk individu yang beretika dan berakhlak baik. Pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mengajarkan keterampilan atau pengetahuan, tetapi juga untuk membangun karakter moral yang kuat. Pembentukan kebiasaan baik sejak dini adalah aspek penting dalam pendidikan. Jelas bagi Aristoteles, tujuan akhir dari pendidikan adalah mencapai kebahagiaan (eudaimonia), pendidikan yang baik harus mempersiapkan individu untuk hidup dengan baik, yang mencakup pengembangan intelektual dan moral. Terkait hal inilah Ia sungguh menekankan bahwa disiplin merupakan elemen esensial dalam mendidik generasi muda agar mereka dapat mengendalikan nafsu dan emosi mereka. 

Dengan demikian, merujuk ke pemikiran pendidikan Aristoteles, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan individu dan masyarakat. Pendidikan dapat meningkatkan kualitas hidup dan dalam konteks kontemporer, melalui pendidikan seseorang dapat membuka peluang kerja yang lebih baik, meningkatkan pendapatan, dan memperbaiki kesehatan (semua hal yang didamba manusia kontemporer). Pendidikan juga dapat mendorong kemajuan sosial. Pendidikan dapat mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesetaraan gender, dan memperkuat demokrasi. Pendidikan pun sangat berpengaruh pada kebudayaan dan dapat melestarikan budaya. Pendidikan dapat membantu melestarikan warisan budaya dan bahasa yang dianggap sebuah bangsa sebagai bahasa Nasional ataupun bahasa persatuan. Pendidikan pun dapat menyelesaikan masalah sosial. Pendidikan yang baik dan tepat dapat menjadi alat untuk mengatasi berbagai masalah sosial, seperti kekerasan, diskriminasi, dan kerusakan lingkungan. 

Dengan penjelasan lebih sederhana, pendidikan adalah investasi terbaik untuk masa depan, masa depan pribadi dan masa depan bangsa. Dengan pendidikan, seseorang dapat menjadi pribadi yang berkarakter moral yang baik dan melalui pendidikan negara dapat membangun masyarakat yang lebih baik dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan. Semua ini dalam pandangan Aristoteles merupakan bagian dari langkah-langkah menuju kepada apa yang dinamakannya kebahagiaan.

Kesimpulan

Pemikiran Aristoteles tentang pendidikan memberikan wawasan mendalam mengenai peran pendidikan dalam membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki karakter moral yang baik. Dengan pendekatan yang komprehensif mencakup etika dan pembentukan kebiasaan baik serta tujuan akhir kebahagiaan, Aristoteles menawarkan kerangka kerja pendidikan sebagai proses yang holistik dan transformatif. Melalui pendidikan, individu diharapkan dapat mencapai potensi penuh mereka dan berkontribusi positif terhadap masyarakat dan hidup bahagia.

Poin relevan dan urgensinya terkait sistem dan model pendidikan yang sebaiknya diambil alih oleh pihak pemerintah. Bukan hanya tentang pengelolaan administrasinya melainkan menyentuh dinamika  praktis pendidikan itu sendiri yang bertujuan untuk menciptakan pribadi yang baik dan warga negara yang baik. Sistem pendidikan formal bertahap dan model pendekatan yang menyesuaikan kemampuan subjek pembelajar harus menjadi perhatian pemerintah.

Daftar Pustaka

Barnadib, Iman. 1994. Filsafat pendidikan: sistem dan metode. Yogyakarta: Andi Ofset. 

Irawan, Mohamad Ari dan Muhamad Rizky Pratama. 2023. Tinjauan Biografi Tokoh Filsafat: Aristoteles, dalam Jurnal Nusantara: Jurnal Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humaniora (2023) 1:2, 1-25 ISSN 1111-1111 | DOI: 10.11111/nusantara.xxxxxxx. Diterbitkan oleh FORIKAMI (Forum Riset Ilmiah Kajian Masyarakat Indonesia). Tersedia online Pada Bulan Januari 2024.

Lanur, Alex. 2022. Filsafat Pendidikan. Bahan Kuliah Filsafat Pendidikan. Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Narmoatmojo, Winarno. 2012. Pemikiran Aristoteles Tentang Kewarganegaraan dan Konstitusi, dalam Jurnal Ketahanan Nasional by Study Program of National Resilience, Graduate School Universitas Gadjah Mada  in co-operation with Lemhannas RI (National Resilience Institute of Indonesia).

Wibowo, A. Setyo. 2006. Pengantar Filsafat Yunani : Aristoteles, dalam Serambi Salihara. Bahan ini pernah dipublikasikan dan dapat diakses melalui Youtube https://www.youtube.com/watch?v=6BFNIvLpNEw&t=5s pada tanggal 20 November 2018 pukul 20.10 WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun