Pengantar
Kita masing-masing barangkali pernah menjadi subyek yang mendominasi dalam sebuah percakapan atau sebaliknya kita yang didominasi oleh teman yang bercakap dengan kita. Pengalaman mendominasi dan didominasi tentu saja bisa terjadi bukan hanya pada satu momen dan satu konteks saja. Lebih jauh lagi mendominasi dan didominasi pun terjadi pada level yang yang lebih luas yakni level kehidupan bermasyarakat bahkan bernegara. Semua ini tentu menjadi keseharian kita dan barangkali tidak perlu dibahas lagi semua orang toh sudah tahu tentang ini. Meski demikian, sebagai bahan belajar kita perlu terus bertanya dan merangsang otak kita untuk menjadi lebih baik, entah itu dalam mendominasi ataupun didominasi. Salah satu pemikir yang serius memperhatikan persoalan ini dan pemikirannya menjadi bahan rujukan dalam tulisan ini, khususnya pemikirannya tentang dominasi di arena sosial adalah Pierre Bourdieu.
Dominasi di arena sosial merupakan salah bahasan penting dalam pemikiran Pierre Bourdieu yang menjelaskan hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Mengikuti Bourdieu, hubungan kekuasaan ini terjadi di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, di mana satu kelompok (kelas dominan) memiliki kontrol dan pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok lain (kelas terdominasi). Harapannya, dengan memahami dinamika dominasi, kita dapat lebih baik memahami struktur sosial, reproduksi kekuasaan, serta potensi untuk perubahan sosial. Konsep ini sekiranya relevan dalam berbagai konteks, termasuk analisis kebijakan publik, studi sosiologis, dan gerakan sosial yang berusaha untuk mengatasi ketidakadilan.
Dengan asumsi bahwa dominasi di arena sosial memiliki peran penting dalam memahami struktur sosial dan hubungan kekuasaan, lantas keberhasilan strategi dominasi di arena sosial menurut Bourdieu juga menjadi bahasan yang sangat mendasar. Ia pertama-tama melihat bahwa dominasi ditentukan oleh interaksi antara modal, habitus, dan medan (arena). Pemahaman terhadap unsur-unsur ini memungkinkan individu atau kelompok untuk lebih efektif dalam menerapkan strategi bernegosiasi dan berkompetisi dalam struktur sosial yang kompleks. Dengan demikian, analisis ini berpretensi memberikan wawasan tentang bagaimana kekuasaan beroperasi dalam masyarakat dan bagaimana individu dapat memanfaatkan sumber daya mereka untuk mencapai tujuan sosial tertentu.Â
Unsur-Unsur Penentu Keberhasilan Strategi DominasiÂ
Pierre Bourdieu dalam pemikirannya ini mulai dengan mengambil pendekatan yang disebut strukturalisme genetik. Bourdieu menganalisa struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari struktur mental dalam individu-individu biologis dan asal usul struktur-struktur sosial (Haryatmoko; 2022, 2). Strukturalisme genetik berusaha menyatukan dimensi dualitas antara agen (perorangan) dan struktur sosial. Bourdieu menekankan bahwa relasi antara keduanya bukanlah saling menafikan, tetapi saling mempengaruhi dan memperantarai dalam sebuah praktik sosial. Dengan integrasi konsep habitus, arena, modal kapital, dan praktik sosial, teori ini memberikan gambaran yang lengkap tentang bagaimana kekuasaan beroperasi dalam masyarakat. Strukturalisme ini akan berhasil apabila didukung oleh ketiga unsur ini.
Menurut Bourdieu, tiga unsur yang menentukan keberhasilan strategi dominasi  yakni habitus, kepemilikan kapital (modal) dan arena sosial. Bourdieu pertama-tama melihat sisi individu dan menilai bahwa, habitus menjadi dasar kepribadian individu. Habitus merupakan sistem disposisi yang dikondisikan secara terus-menerus dan dapat diwariskan (Bourdieu; 1992, 55). Habitus menjadi prinsip yang menggerakkan tindakan dan pemikiran individu, serta membentuk  kepribadian mereka. Pembentukan habitus ini pun memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku. Dalam modalitas praktiknya habitus ini mengandalkan pada improvisasi, bukan kepatuhan pada aturan-aturan. Dalam hal ini, ada gerakan timbal balik, yaitu pertama: peran struktur objek yang dibatinkan; kedua: adanya peran subjektif yang diperoleh dari persepsi, pengelompokan dan evaluasi di mana ia menyingkapkan hasil pembatinan tersebut berupa nilai-nilai. Tampak bahwa sifat habitus itu bertahan lama atau tidak mudah berubah, bisa diwariskan dan mendorong tumbuhnya praksis sosial baru.
Habitus dengan demikian dapat diasumsikan sebagai bentuk epistemologi sejarah dalam arti mengungkap relevansi praktis suatu wacana (Haryatmoko; 2022, 3.) Habitus dalam hal ini sebagai bentuk struktur yang dibentuk oleh lingkungannya. Lingkungan ini dikaitkan dengan kelas sosial yang terdapat dalam masyarakat. Kelas ini tidak hanya dikaitkan dengan kapital ekonomi, tapi juga dengan kapital budaya. Menariknya, konsep habitus ini mengatasi dikotomi dalam arena sosial. Sebagai contoh adanya dikotomi antara individu dengan masyarakat, agensi dengan struktur sosial, dan kebebasan dengan determinisme. Konsep habitus tidak menganggap semua itu terpisah-pisah, melainkan saling membentuk satu sama lain. Habitus bisa jadi terbentuk karena dikondisikan pada awalnya, namun karena terus menerus dikondisikan, habitus menjadi terbentuk dan bekerja secara bawah sadar.
Habitus yang menjadi keterampilan akan memberikan warisan. Seperti ketika menguasai suatu bahasa, kita akan memiliki gagasan baru. Gagasan ini bisa diwariskan dan menjadi habitus baru bagi yang diwariskan. Ketika habitus membentuk dasar kepribadian, maka akan menciptakan etos, yaitu sikap bawah sadar yang terbentuk secara alamiah melalui kondisi tertentu, kemudian membentuk juga kerangka penafsiran tertentu terhadap suatu masalah. Dasar kepribadian ini membentuk kesadaran praktis yang membuat kita melakukan sesuatu secara spontan, juga kesadaran reflektif yang membuat kita memikirkan motivasi kita melakukan sesuatu. Terakhir, ketika habitus berada menjadi logika sosial, maka akan berdampak pada berfungsinya masyarakat, gaya hidup, dan opini dalam masyarakat.
Unsur berikutnya adalah mekanisme dan strategi dominasi yaitu dominasi yang berdampak pada akibat yang dibatinkan. Konsep ini disebut sebagai kapital. Bourdieu mengategorikan kapital menjadi empat jenis: modal ekonomi, modal kultural, modal sosial, dan modal simbolik (bdk. Ritzer; 2019, 581-562). Modal ini digunakan untuk memperoleh posisi kekuasaan dalam medan sosial. Untuk dapat berhasil mendominasi arena sosial, pelaku tidak cukup memiliki keempat kapital tersebut. Sekilas kapital ini sama dengan pendapat Marx, akan tetapi yang unik dari Bourdieu adalah ia juga memasukan kapital budaya. Kapital budaya di sini termasuk di dalamnya bahasa, agama, dan lain-lain. Â Pelaku juga harus mengatur strategi yang tepat dalam penempatan kapital-kapital tersebut di arena sosial.
Kapital ekonomi menjadi sumber daya produksi dan sarana finansial. Kapital ini paling mudah dikonversikan ke dalam kapital-kapital lain. Sebagai contoh, orang yang punya uang dan terus memberikan uangnya pada teman-temannya bisa membuat teman-temannya terus bergantung padanya. Kapital budaya merupakan segala kekayaan simbolik, dalam hal ini segala kekayaan simbolis yang mengacu pada pengetahuan/keterampilan/kompetensi yang diperoleh, lalu menjadi disposisi. Kapital ini dianggap yang paling sulit didapat sebab perlu waktu dan usaha besar untuk meraihnya. Sementara itu, kapital sosial merupakan  segala sumber daya yang dikembangkan melalui jaringan hubungan. Segala bentuk relasi yang terstruktur dalam masyarakat, memiliki tujuan dan koneksi yang sama, termasuk dalam kapital sosial. Kapital yang terakhir, yaitu kapital simbolik, sebuah pengakuan sosial, baik terlembagakan atau tidak. Pengakuan terlembagakan seperti gelar-gelar akademik, anak dari tokoh tertentu, termasuk ke dalam kapital simbolik. Kapital simbolik dalam hal ini dapat dikonversikan ke kapital ekonomi dan sosial. Kapital simbolik sering kali menjadi kapital yang paling dicari dan diusahakan. Orang yang memiliki kapital simbolik cenderung lebih unggul dari orang lain memiliki ketiga kapital lainnya. Di sisi lain, biasanya orang yang sudah memiliki ketiga kapital lainnya berusaha memiliki kapital simbolik sebagai pencapaian akhir.