Pengantar
Mungkin Anda pernah bertanya-tanya bagaimana kita sebenarnya menyadari segala hal di sekitar kita. Apakah kamar tidur yang saya tempati memang seperti yang saya sadari sekarang atau itu merupakan hanya hasil dari konsepsi yang saya lakukan dalam pikiran saya? Â Lantas, apa itu menyadari? Fenomenologi, sebuah aliran filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti ini. Dimulai dari upaya para filsuf untuk membersihkan filsafat dari prasangka, aliran filsafat ini mengajak kita untuk kembali ke sumber pengalaman kita yang paling dasar. Dengan menggali lebih dalam tentang kesadaran dan pengalaman manusia, fenomenologi telah memberikan sumbangsih yang besar pada berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Fenomenologi, yang secara harfiah berarti ilmu tentang gejala, akan tetapi tentu saja tidak dalam pengertian ini yang dimaksudkan oleh filsafat. Fenomenologi merupakan sebuah metode filosofis. Kok bisa? Fenomenologi dalam filsafat memiliki akar sejarah yang dalam pada perkembangan pemikiran filsafat. Secara umum Edmund Husserl, memang sering dianggap sebagai bapak fenomenologi, memperkenalkan metode ini pada akhir abad ke-20 sebagai cara untuk mengakses realitas secara lebih langsung (Hardiman; 2003, 21). Melalui "epoche" atau "pengurungan fenomenologis," Husserl mengajak kita untuk membraketkan semua asumsi dan kembali pada pengalaman murni. Sejak saat itu, fenomenologi terus berkembang dan melahirkan berbagai aliran, dengan tokoh-tokoh seperti Heidegger, Sartre, dan Merleau-Ponty yang memberikan kontribusi yang signifikan pada perkembangannya.
Sekilas pandang, fenomenologi muncul begitu singkat tetapi faktanya, penyangkalan demi penyangkalanlah yang memunculkannya. Tulisan ini hanya akan berfokus pada lintasan sejarah fenomenologi. Mengenai bagaimana fenomenologi pada setiap filsuf tentu memiliki penekanan kekhasannya masing-masing dan belum dibahas dalam tulisan ini. Akan tetapi meski hanya lintasan, dinamikanya memberikan penggugahan paradigma berpikir yang kritis dan mendalam karena secara khusus terkait bagaimana berkembangnya salah satu model berpikir filosofis yang bukan hanya pada penyangkalan demi penyangkalan melainkan juga isi dari penyangkalan yang substantif dan memiliki rasionalitasnya yang unik.
Konteks Kemunculan Fenomenologi
Fenomenologi harus saya sampaikan bukan sekadar teori atau konsep melainkan bahkan sebaiknya dianggap dan dipakai sebagai sebuah metode. Bagaimana bisa fenomenologi yang memuat kata logi dari logos (bahasa yunani) bukanlah sebuah konsep? Walaupun kita akan membahas bagaimana secara etimologinya (fenomenologi), namun logos pada satu pengertiannya yang lain berarti 'membuat kelihatan'. Singkatnya, fenomenologi berpretensi untuk membuat terlihat. Apa yang dibuat terlihat? Yah fenomena. Lantas apa itu fenomena? Yah, 'penampakan' atau 'yang kelihatan'. Fenomena dari dari kata phainomenon yang diterjemahkan sebagai "penampakan". Fenomenologi dengan demikian 'membuat terlihat yang kelihatan'. Fenomenologi yang dalam lingkungan filsafat disangkutpautkan dengan Husserl, memiliki sejarah yang kompleks (Gallagher; 2012, 6).
Munculnya metode fenomenologi merupakan hasil dari ketidakpuasan para filsuf dalam memahami realitas. Pemikiran menjadi mentok karena cara melihat realitas yang ditawarkan pada masanya tidak menjawab anomali yang muncul dari pergulatan konseptual dan cara memahami realitas. Dalam penggambaran perlintasan sejarah fenomenologi, metode atau pendekatan fenomenologis berkembang dari Hegel, Brentano, Husserl, Heidegger, termasuk filsuf eksistensialis seperti Sartre, hingga Merleau-Ponty. Setiap filsuf memiliki penekanannya masing-masing. Â
Secara etimologis istilah 'fenomenologi' merupakan perpaduan dari dua kata Yunani 'phainomenon' dan 'logos'. Phainomenon (fenomena) secara umum dan cenderung diterjemahkan sebagai 'penampakan' (appearance). Kata phainomenon berakar pada kata phaino yang berarti 'menunjukkan/menampilkan' dalam bahasa Inggris to show, 'menerangkan' (to bring to light), atau 'membuat tampak' (to make appear). Sementara itu 'logos' artinya bervariasi sesuai konteks. 'Logos' bisa berarti ilmu, pembicaraan (word), argumen (argument), atau akal budi/rasionalitas (reason) (Sambera; 2008, 1). Dengan demikian fenomenologi secara harfiah berarti ilmu mengenai fenomena. Sebagaimana yang saya jelaskan di awal, fenomenologi dalam konteks ini sama sekali berbeda.
Apabila istilah "fenomenologi" sebagai satu paduan kata digali latar kemunculannya, menurut (Richard Sambera; 2008) fenomenologi tidak muncul dari perbendaharaan istilah Yunani kuno. Istilah fenomenologi muncul dalam lingkungan filsafat Jerman pada abad ke 18, jauh sebelum Husserl memperkenalkannya. Heidegger yang merupakan salah satu filsuf Jerman pun beranggapan bahwa istilah fenomenologi berasal dari Christian Wolff (1679-1754), orang yang pertama kali mensistematisasi karya G. W. Leibniz (1646-1716). Â Heidegger sendiri juga kemudian menunjukkan konvergensi arti logos dan phainomenon. Logos adalah membiarkan sesuatu, yaitu phainomenon terlihat (Hardiman; 2003, 21), dengan demikian fenomenologi diartikan sebagai sebuah cara menunjukan apa adanya realitas.Â
Dalam lintasan sejarah fenomenologi, salah satu dari antara karya-karya filsafat yang pertama kali dikenal mengkarakterisasi diri sebagai karya fenomenologis ialah Phenomenology of Spirit (Fenomenologi Roh) dari W. F. Hegel (1770-1831). Fenomenologi dalam konteks ini oleh Hegel dipakai untuk membedakan filsafat pengetahuan tentang pengalaman kesadaran (science of the experience of consciousness) dari idealisme transendental Kant (1724-1804). Oleh karena itu, sebagai pegangan, bisa dikatakan bahwa fenomenologi muncul sebagai respon terhadap Kant. Lantas kita perlu mempersoalkannya pada pemikiran yang ditawarkan Kant dan sejenak melirik konteksnya.Â
Immanuel Kant seorang filsuf Jerman yang sangat berpengaruh dan dianggap sebagai salah satu tokoh utama Abad Pencerahan. Karya-karyanya yang mendalam dan sistematis dalam bidang epistemologi, metafisika, etika, dan estetika telah membentuk landasan bagi banyak pemikiran filsafat modern. Salah satu karya representatif Kant ialah Critique of Pure Reason (1781) yang merupakan bentuk awal dari apa yang sekarang kita sebut filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of science) atau epistemologi. Perhatian utama Kant ialah membela gagasan Newtonian terhadap skeptisisme kritis dari David Hume (1711-1776), yang menolak bahwa penilaian yang sepenuhnya pasti dan andal tentang pengalaman adalah mungkin. Kant, beranggapan bahwa disiplin ilmu Matematika, Geometri, dan Fisika teoretis bisa mengantar kita pada kebenaran yang niscaya mengenai dunia meskipun hanya berdasar pada rasionalitas atau akal budi semata, dan bukan pada pengalaman atau eksperimen. Ambil contoh ketika saya mengatakan 3 + 4 = 7, hal tersebut merupakan kebenaran yang langsung jelas dengan sendirinya melalui akal budi semata, dan hal ini juga benar dalam dunia pengalaman. Bisa dipastikan bahwa apabila saya benar-benar menggabung tiga benda dan empat  benda maka akan benar-benar terkumpul 12 benda.Â
Dengan mengikuti apa yang disampaikan Sambera, bahwa persoalan utama dalam Critique of Pure Reason ialah mengenai bagaimana membuat pernyataan yang benar dan informatif mengenai dunia menggunakan akal budi murni menjadi mungkin, lepas dari pengalaman. Apakah hal ini mungkin? Berdasarkan penjelasan Sambera, menurut Kant, hal itu mungkin karena akal budi merupakan sebuah model atau kerangka untuk menata dunia. Akal budi, dalam pemikiran Kant, dilihat sebagai kerangka yang menekan realitas ke dalam model-model tertentu (Sambera; 2008, 4). Akan budi diibaratkan seperti satu wadah saat seseorang membuat kue, adonan akan berbentuk sebagaimana wadah dimana ia diletakkan. Menurut Kant, begitulah kira-kira kerja rasionalitas atas realitas atau dunia yang dipikirkannya sebagai kebenaran. Oleh karena itu, menurut Kant, kebenaran akal budi merupakan juga kebenaran mengenai dunia (Sambera; 2008, 5).
Akan tetapi Kant melihat persoalannya dalam hal ini, bahwa, struktur dasar rasionalitas kita terikat pada ruang dan waktu. Oleh karena itu, pemahaman seseorang atas realitas merupakan satu reduksi ke dalam ruang dan waktu, artinya pemahaman kita terbatas. Dalam hal ini, kemudian munculah dualisme Kant mengenai fenomena (appearance) atau objek sebagaimana dialami dan noumena (essence) atau objek pada dirinya sendiri (object as such) (Sambera; 2008, 5). Fenomena atau penampakan (appearance) menurut Kant merupakan objek sebagaimana dialami dalam kerangka ruang-waktu (spatio-temporal) yang tunduk pada rasionalitas kita. Sementara itu, sebaliknya noumena atau segala sesuatu pada dirinya (things in themselves) merupakan segala sesuatu yang berada di luar atau luput dari bagaimana kita mengalaminya. Dengan kata lain, noumena ialah wilayah yang tidak dapat kita ketahui sebab pengetahuan kita terbatas pada ruang dan waktu dan bahwa apa yang kita ketahui mengenai realitas, bukanlah realitas yang asli (an sich). Kant kemudian membedakan segala sesuatu sebagaimana adanya (things in themselves/noumena) dan segala sesuatu sebagaimana kita menangkapnya (the object as we experience it/fenomena).Â
Demarkasi ini kemudian diulik lagi oleh para neo-Kantian. Menurut para neo-Kantian seperti Fichte (1762-1814) dan Schelling (1775-1854), demarkasi seperti ini justru menjadi kelemahan dalam filsafat Kant. Bagi mereka, sebetulnya kita tidak perlu mempostulatkan adanya eksistensi segala sesuatu pada dirinya yang melampaui batas pengalaman manusia. Dalam hal ini, tidak ada hal di luar pengalaman manusia. Dunia adalah totalitas fenomena. Fenomena tidak butuh dukungan lain dari luar selain struktur fenomena itu sendiri. Usaha untuk menangkap struktur fenomena inilah yang kemudian dimaksud oleh Hegel dengan istilah fenomenologi (phenomenology) atau ilmu pengetahuan mengenai pengalaman kesadaran (the science of the experience of consciousness) (Sambera; 2008, 7). Metode ini kemudian dikenal luas dengan penekanan yang khas dari Husserl terkait konsep kesadaran sebagai intensionalitas.Â
Fenomenologi berkembang pesat di Jerman dan di negara-negara berbahasa inggris pada abad ke 19 hingga saat ini. Konsep fenomenologi sepanjang penjelasan sebelumnya bagaimanapun jelas memiliki akar yang panjang, termasuk  mulai dari pemakaian istilah "fenomena" dalam filsafat Yunani Kuno dan istilah dalam lingkaran filsafat Jerman.  Akan tetapi fenomenologi sebagai sebuah pendekatan dalam filsafat modern hingga kontemporer independen ditetapkan oleh Edmund Husserl pada awal abad ke-20. Husserl memperkenalkan fenomenologi sebagai pembahasan "psikologi deskriptif" dan berkembang menjadi ilmu transendental dan eidetis atas kesadaran. Husserl ingin membuat filsafat yang berdiri di atas fondasi yang sangat kokoh dan mampu menjadi dasar bagi semua filsafat dan ilmu pengetahuan. Metodologi Husserl berfokus pada refleksi sistematis dan studi struktur kesadaran dan fenomena yang tampak pada pikiran. Setelah Husserl, tradisi fenomenologi berkembang dengan kontribusi dari berbagai filsuf. Para filsuf mengembangkan ide-ide fenomenologi, termasuk Martin Heidegger, Edith Stein, dan Max Scheler. Fenomenologi juga menyebar ke berbagai negara, termasuk Prancis yang di dalamnya ada Paul Ricur, Emmanuel Levinas, Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty; di Amerika Serikat fenomenologi muncul di dalam pemikiran Alfred Schtz, dan Eric Voegelin. Saat ini fenomenologi telah berkembang ke negara-negara lain termasuk Indonesia dan mereka masing-masing memberikan kontribusi unik pada fenomenologi.
Fenomenologi telah melahirkan banyak pemikiran yang mengubah paradigma berpikir yang sangat luas dan mendalam. Martin Heidegger (1889-1976), misalnya, memperluas ide-ide fenomenologi dengan mengembangkan eksistensialisme, yang menekankan pentingnya keberadaan dan konteks eksistensial manusia. Konsep "being-in-the-world" dijelaskannya untuk menjelaskan bagaimana eksistensi manusia terjalin dengan dunia sekitar. Max Scheler (1874-1928) mengintegrasikan fenomenologi dengan etika dan nilai-nilai, memfokuskan pada pengalaman intuitif dan hubungan antar esensi. Ia membedakan nilai-nilai menjadi beberapa kategori, seperti nilai material dan nilai spiritual. Maurice Merleau-Ponty (1908-1961) menekankan peran tubuh dalam pengalaman dan persepsi, menunjukkan bahwa tubuh adalah pusat dari pengalaman dan makna. Ia berfokus pada bagaimana kita merasakan dan memahami dunia melalui tubuh kita. Jean-Paul Sartre (1905-1980) memfokuskan pada kebebasan dan keberadaan. Sartre menerapkan fenomenologi dalam konteks eksistensialisme, mengeksplorasi kebebasan individu dan makna kehidupan. Ia menggunakan metode ini untuk menyelidiki hakikat kesadaran dan pengalaman manusia. Paul Ricoeur (1913-2005) menggabungkan fenomenologi dengan hermeneutika, berfokus pada interpretasi teks dan pengalaman hidup. Ia menekankan pentingnya narasi dalam memahami makna pengalaman manusia. Emmanuel Levinas (1906-1995) juga melakukan kontribusi signifikan dalam bidang ini. Levinas mengembangkan fenomenologi dengan fokus pada etika dan hubungan antar-subjek, menekankan tanggung jawab terhadap orang lain sebagai inti dari pengalaman manusia (Ensiklopedi Dunia; 2024).
Penutup
Fenomenologi telah berkembang menjadi sebuah metode yang kompleks dan dinamis, dengan beragam interpretasi dan aplikasi dalam berbagai bidang akademis dan intelektual. Fenomenologi tidak hanya berpengaruh dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu sosial, psikiatri, estetika, moralitas, teori sejarah, dan antropologi eksistensial. Upaya mendefinisikan fenomenologi pada beberapa bidang ilmu kadang-kadang dipikirkan masih sulit karena diasumsikan tiadanya fokus tematik yang mendirikan fenomenologi itu sendiri dan orang jatuh pada analisis etimologis belaka. Â Sementara itu kadang-kadang kita pun lupa atau mungkin kurang menggali bahwa fenomenologi itu adalah metode dalam memahami dunia termasuk memahami 'Ada'-nya dan 'Ada'. Tentang bagaimana fenomenologi dipahami dan dipakai oleh para filsuf dengan penekanannya masing-masing yang unik dan mendalam tentu belum dibahas. Meski demikian, sejauh ini, konteks dan dinamika fenomenologi sampai disebut metode filosofis penting untuk dipahami.
Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi. 2003. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Fenomenologi, dalam Ensiklopedi Dunia. Diakses dari https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Fenomenologi_(filsafat), pada 20 Oktober 2024.
Gallagher, Shaun dan Dan Zahavi. 2012. The Phenomenological Mind. New York: Routledge.
Sambera, Richard. 2008. Rephrasing Heidegger: A Companion to Being and Time. Ottawa: The University of Ottawa Press.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H