Pendahuluan
     Pendidikan seharusnya melibatkan aktivitas aktif dari peserta didik dan belajar mesti dilakukan dengan metode yang disukainya daripada belajar dengan menghafal. Demikianlah model pendidikan yang demokratik dan fleksibel. Kurikulum harus dibuat sesuai dengan kebutuhan dan minat peserta didik. Pendidikan harus memampukan subjek didik untuk menafsirkan dan memaknai rangkaian pengalamannya. Pendidikan harus terus-menerus menyusun kembali dan menata ulang pengalaman dan pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas hidup. Secara simplifikasi, secuil gambaran pemikiran John Dewey tentang pendidikan.    Â
     John Dewey lahir pada tanggal 20 Oktober 1859 di Burlington, Amerika Serikat. Ia menyelesaikan pendidikan di Universitas Hopkins di kota Baltimore, dengan gelar Ph.D. di bidang filsafat pada tahun 1884. Pada tahun 1894, Dewey bergabung dengan departemen filsafat di Universitas Chicago di mana ia terus menyempurnakan pedagoginya. Pada tahun 1904, Dewey dipindahkan ke Universitas Columbia, dan di sana ia menulis karyanya yang paling terkenal, Pengalaman dan Alam pada tahun 1925. Sekitar tahun 1952, dalam usia yang sangat lanjut (93 tahun) ia meninggal dunia.[1]
Pandangan Hidup John Dewey
    Pandangan Dewey tentang pentingnya pendidikan sosial dan susila, mendapat dasarnya dari pandangan hidupnya. Dewey mengikuti teori evolusi Ch. R. Darwin (1809-1882). Berdasarkan Teori ini, "hidup di dunia ini merupakan suatu proses, suatu dinamika yang dimulai dari tingkatan yang terendah dan selalu berkembang ke tingkatan yang lebih tinggi. Dewey mengambil kesimpulan bahwa puncak kemajuan terletak di kemudian hari dan tergantung dari kemajuan masyarakat setiap masanya. Oleh karena itu, setiap orang wajib bekerja dan bekerja sama demi kemajuan masyarakatnya.[2]
    Dewey juga mengikuti pragmatisme, menilai benar atau tidaknya sebuah teori tergantung pada berfaedah atau tidaknya teori tersebut untuk manusia. Ia juga mengikuti behaviorisme, menganggap kehidupan jiwa digerakkan dari luar, bukan dari dalam. Perbuatan manusia menurut pandangan ini selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dewey juga mengakui bahwa bekerja memberikan pengalaman dan pengalaman kemudian mempengaruhi budi pekerti. Ada pengalaman yang positif, yakni pengalaman yang benar, bermanfaat dan dapat diterapkan pada kehidupan nyata. Pengalaman negatif adalah pengalaman yang tidak benar, pengalaman yang merugikan, yang menghambat berkembangnya kehidupan serta tidak dapat dipakai.
    Bagi Dewey, dasar untuk menilai hidup serta norma sosial dan susila adalah pragmatisme. Suatu perbuatan disebut baik apabila membawa hasil yang baik dan bermanfaat untuk pergaulan hidup. Dewey mengutamakan pergaulan hidup dalam masyarakat dan individu memiliki arti hanya dalam kaitan dengan masyarakat. Dewey pun menghendaki norma-norma dalam masyarakat harus keluar dari masyarakat itu sendiri karena masyarakat mengalami proses serta pergantian. "Demikian pun tujuan hidup yang erat berhubungan dengan norma itu selalu harus berubah dan berganti-ganti sesuai dengan keadaan masanya.[3] Dewey menegaskan bahwa makhluk harus belajar untuk hidup dengan baik dan mengatasi perubahan, daripada menolaknya. Pembelajaran dan pengetahuan berasal dari korelasi yang tajam antara proses perubahan.
    Dewey menegaskan pentingnya watak dalam pergaulan. Menurutnya, ada tiga unsur yang saling berhubungan erat dan merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh dalam diri seseorang. Pertama, kemauan yang kuat, karena keaktifan timbul karena adanya inisiatif yang bebas dan kebebasan mengambil inisiatif pada gilirannya menciptakan kemauan yang kuat. Kedua, keputusan yang jernih, dengan menyelidiki sendiri serta keaktifan-keaktifan lainnya menimbulkan pengertian serta pendapat yang jelas. Ketiga, perasaan yang halus, melalui pergaulan dalam suasana yang bebas menumbuhkan di dalam diri anak rasa sosial dan rasa setia kawan yang halus.[4]
Dasar Teori Pendidikan
    Teori pendidikan menurut Dewey adalah penyerta alami dari perubahan radikal yang telah terjadi di setiap bidang pemikiran dan usaha manusia lainnya. Apa yang dilakukannya dalam bidang pendidikan hanyalah membawa pendidikan mengikuti kemajuan zaman. Menurutnya, ada tiga revolusi besar dalam kehidupan modern yang sedikit atau bahkan tidak diperhitungkan oleh sekolah tradisional. Revolusi intelektual, yang disebabkan oleh penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern; Revolusi industri, sebagai akibat dari penemuan dan perkembangan mesin modern; dan revolusi sosial, yang dihasilkan dari pertumbuhan demokrasi modern.
    Mengacu pada tiga serangkai perubahan, bahwa telah terjadi revolusi dalam semua sejarah yang begitu cepat, begitu luas, begitu lengkap. Perubahan yang terjadi pada lingkungan sosial yang mempengaruhi perubahan dalam pendidikan. "Fakta nyata adalah bahwa kehidupan sosial kita telah mengalami perubahan yang menyeluruh. Jika pendidikan kita ingin memiliki arti bagi kehidupan, itu harus melalui transformasi yang sama lengkapnya."[5]
    Meski demikian, langkah perubahan revolusioner ke teori pendidikan tidak langsung begitu saja. Pertama-tama harus dirumuskan masalah-masalah yang diciptakan oleh setiap revolusi, dan kemudian pedagogi mengusulkan solusi untuk masalah-masalah yang ditemukan. Seluruh proses ini benar-benar ilmiah, dimulai dari fakta eksperimental hingga interpretasi teoritisnya. Filsafat pendidikan, menurut Dewey, bukanlah aplikasi eksternal dari ide-ide yang sudah jadi ke dalam sistem praktik melainkan hanya rumusan masalah yang eksplisit sehubungan dengan kesulitan kehidupan sosial kontemporer."[6]
    Dasar psikologinya adalah cara memberi pengajaran wajib disesuaikan dengan tingkat perkembangan, cara berpikir dan cara bekerja anak. Penentuan bahan pengajaran wajib disesuaikan dengan perhatian dan keperluan anak, sebagai akibat dari instingnya.  Dasar sosiologi adalah tujuan pendidikan dan pengajaran adalah kepentingan kemajuan masyarakat. Tiap anggota masyarakat berkewajiban mengembangkannya dan anak wajib dibimbing ke arah itu. Bahan pengajaran perlu diambil dari problem masyarakat.
Pentingnya Pendidikan Sosial dan Susila
    Di era modern, sering kali kualitas pribadi diukur hanya dari kecakapan intelektualitas atau akademis saja. Seorang anak yang mendapat nilai tertinggi saat ujian akan dipandang sebagai siswa teladan dan menjadi gambaran ideal bagi siswa lainnya. Akan tetapi, sebuah ironi akan terjadi apabila anak yang dianggap menjadi teladan ini melakukan tindakkan yang tidak bermoral dan anti sosial. Orang akan berbalik menyerang dengan ganas bahkan lebih parah lagi menghukum dengan pergunjingan, sebuah kekerasan verbal sehingga membuat seseorang bisa terganggu mentalnya.
    Meski demikian, memang tidak bisa dipungkiri bahwa kecerdasan itu penting, apalagi untuk bersaing dalam menciptakan kreativitas dan inovasi-inovasi baru. Kemajuan teknologi dan persaingan pasar internasional dan lokal menuntut seseorang untuk menggunakan otaknya dengan optimal, atau kecerdasan intelektual sangat dibutuhkan. Akan tetapi, mengingat ironi tadi, ada yang diabaikan, dilupakan, dan justru itu yang terpenting menurut Dewey. Dalam sekolah yang ditawarkan Dewey, yang diutamakan bukanlah pendidikan kecerdasan, melainkan pendidikan sosial dan susila. Seorang anak- pertama-tama harus mendapat dan memiliki pendidikan sosial dan susila yang baik dan benar. Dalam perumusan program pendidikan, kecerdasan bukan yang utama, tujuan yang utama adalah apa yang menjadi kepentingan masyarakat.
    Kepentingan masyarakat inilah yang ditekankan Dewey berkaitan dengan pendidikan sosial dan susila. Pendidikan harus membekali siswa untuk mengambil bagian penuh dan aktif dalam membentuk masyarakat masa depan mereka. Pendidikan tradisional, menurutnya, melihat anak-anak sebagai wadah yang kosong dan pasif untuk diisi dengan ide-ide. Ini membantu untuk mendukung tatanan yang ada. Pendidikan progresif, di mana ia benar atau salah, dikenal, melihat sekolah sebagai kesempatan bagi anak-anak untuk berkembang sebagai individu dan warga negara. Mereka bahkan mungkin dapat menemukan panggilan mereka yang sebenarnya. Menurut Dewey, "Untuk mengetahui apa yang cocok untuk dilakukan, dan untuk mengamankan kesempatan untuk melakukannya, adalah kunci kebahagiaan."[7] Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisinya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoritis yang tertib.
     Dewey menilai bahwa pendidikan sosial dan pendidikan susila itu sangat erat hubungannya, bahkan bisa dikatakan kedua jenis pendidikan itu sama saja. Dalam hal ini, "norma-norma susila diambil dari masyarakat dan demi kepentingan masyarakat."[8] Menurut Dewey, Pendidikan sosial ini pun telah ada dalam sekolah tradisional. Akan tetapi bahan yang diberikan kepada anak-anak terlalu berat dan tinggi. untuk tahapan mereka. Dalam pendidikan sosial pada sekolah tradisional, bahan pengajaran diambil dari masyarakat orang dewasa. Bahkan lebih tidak koheren lagi, bahan yang pakai diambil dari masyarakat kota.
    Oleh karena itu, menurut Dewey ini yang harus diubah, bahwa dalam sekolah progresif, kerja guru harus dapat menyajikan semua hal itu kepada anak dengan cara yang sederhana. Guru juga harus dapat menyajikan kepada anak bahan yang sederhana, sejalan dengan tingkat perkembangannya. Sekolah itu sendiri harus dipikirkan sebagai suatu masyarakat kanak-kanak yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Dengan demikian masuklah hidup yang sesungguhnya ke dalam ruang sekolah kerja. Dengan cara seperti ini, diharapkan anak-anak memperoleh pengalaman untuk menyelidiki, mengamati, memikirkan, memutuskan, serta berbuat sendiri dan bersama dengan teman-temannya. Ia berpikir secara ilmiah, logis, dan objektif. Dengan berpikir seperti ini seorang anak dapat menyesuaikan dirinya dengan dan dalam masyarakat orang dewasa serta mengambil bagian dalam masyarakat.[9]
    Dalam pandangan Dewey, entah bekerja sendirian dan bekerja bersama merupakan pendidikan susila. Keberadaan siswa adalah sekelompok orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk bertumbuh, sedangkan guru adalah orang yang berperan untuk mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhan siswa.[10] Pengalaman anak dalam bekerja, baik sendirian maupun bersama dengan teman-temannya dapat menumbuhkan perhatian terhadap norma-norma hidup susila serta membangkitkan keinginan untuk melakukan perbuatan yang luhur dan menjauhi perbuatan yang hina dan keji. Akan tetapi pengertian, perhatian, dan keinginan saja tidak mencukupi. Menurut Dewey, yang paling penting adalah perbuatan yang luhur. Suatu perbuatan adalah luhur apabila perbuatan ini bermanfaat bagi masyarakat. Dengan melakukan perbuatan yang luhur itu anak menjauhkan dirinya dari perbuatan yang hina. Dan perbuatan yang hina adalah perbuatan yang tidak berguna sedikit pun untuk masyarakat.
Tanggapan Kritis
    Teori pendidikan Dewey menurut saya masih relevan dan efektif untuk pelajaran di kelas. Sebelumnya pembelajaran didominasi oleh guru dan siswa lebih bersifat pasif menerima sepenuhnya materi apa saja yang diberikan guru. Pembelajaran seperti ini membuat siswa kurang mampu dalam berpikir secara kreatif dan inovatif. Padahal, untuk konteks zaman sekarang, ide-ide baru sangat dibutuhkan. Pandangan Dewey yang menegaskan keterlibatan peserta didik adalah syarat pertama dalam kegiatan belajar di kelas yang membantu siswa berpikir lebih kreatif dan berguna bagi kehidupannya.
    Selain itu pandangan Dewey juga menekankan peserta didik memahami dan memiliki tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan belajar. Keterlibatan peserta didik harus memiliki arti penting sebagai bagian dari dirinya dan perlu diarahkan secara baik dari sumber belajar. Dengan demikian, hasil pembelajaran bisa efisien dan membantu siswa dalam kehidupan sehari-hari.
    Meski demikian, saya juga memiliki catatan kritis terhadap dasar konsep pendidikan sosial Dewey. Dewey menekankan untuk melihat kepentingan sosial di masyarakat dan siswa bebas berpikir. Lantas, apakah proses pendidikan yang menekankan kebutuhan situasi sosial bukan sebuah penekanan terhadap kebebasan. Lebih jauh, barangkali, otoritas pemerintah dan paham yang dipegang masyarakat akan mempengaruhi tujuan pendidikan. Misalnya, masyarakat memakai paham kapitalisme dalam kehidupan sehari-hari, maka tujuan pendidikan yang mementingkan kebutuhan masyarakat akan mengarah pada penguatan kapitalisme. Menurut saya, konsep keterlibatan sangat relevan tetapi tujuan pendidikan harus selalu dikritisi, bisa jadi penekanan pada kebutuhan masyarakat malah mematikan kebebasan berpikir dan daya kreatif anak-anak sekolah.
Catatan KakiÂ
[1] Peniel Maiaweng, Analisis Konsep Pemikiran John Dewey, dalam Jurnal Jaffray (Sekolah Tinggi Theologia Jaffray, Makasasar, Vol 7, No 2, 2009), 74. PDF.
[2] Alex Lanur, Filsafat Pendidikan - Bahan Kuliah Filsafat Pendidikan (Jakarata: STFD, 2022), 71.
[3] Alex Lanur, Filsafat Pendidikan, 72.
[4] Alex Lanur, Filsafat Pendidikan, 72.
[5] John Dewey, The School and Society (Chicago: University ofChicago Press, 1915), 22.
[6] John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan Co., 1916), 386.
[7] Peniel Maiaweng, Analisis Konsep Pemikiran John Dewey, 74.
[8] Ulyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfa Beta, 2007), l33.
[9] Alex Lanur, Filsafat Pendidikan, 76.
[10] Ulyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfa Beta, 2007), l33.
Daftar Pustaka
Dewey, John. 1915. The School and Society. Chicago: University of Chicago Press.
Dewey, John. 1916. Democracy and Education. New York: Macmillan Co.
Sadulloh, Ulyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfa Beta.
Lanur, Alex. 2022. Filsafat Pendidikan. Bahan Kuliah Filsafat Pendidikan. Jakarata: STFD.
Maiaweng, Peniel. 2009. Analisis Konsep Pemikiran John Dewey, dalam Jurnal Jaffray, Sekolah Tinggi Theologia Jaffray, Makasasar, 7 (2).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI