Pengantar
Positivisme menjadi suatu aliran filsafat yang sangat populer hingga saat ini. Positivisme secara umum dikenal sebagai pemikiran yang menekankan pada pentingnya pengetahuan empiris dan metode ilmiah. Secara khusus, Auguste Comte sendiri berpendapat bahwa pengetahuan yang benar hanya bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap fenomena alam dan sosial secara langsung, bukan melalui spekulasi atau ide-ide metafisik. Comte menolak metafisika dan spekulasi yang tidak dapat diuji secara empiris.
Selain mencetuskan mengenai pemikiran positif, tidak bisa dipungkiri Comte menggugah para pemikir dan masyarakat umum untuk melihat dengan cara berbeda lebih dalam tentang pengetahuan dan keyakinan mereka. Positivisme Comte telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran modern. Meskipun terdapat beberapa kritik, positivisme tetap menjadi salah satu aliran filsafat yang berpengaruh. Warisan Comte dapat kita lihat dalam berbagai bidang, seperti ilmu sosial, metode penelitian, dan pandangan terhadap kemajuan manusia.
Comte tidak hanya tertarik pada ilmu alam tetapi juga pada ilmu sosial dalam pemikirannya. Comte lantas mencanangkan ilmu sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat secara ilmiah. Comte berpendapat bahwa dengan menggunakan metode ilmiah, kita dapat menemukan hukum-hukum yang mengatur kehidupan sosial dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk memperbaiki masyarakat. Comte berpendapat bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul alam semesta atau keberadaan Tuhan berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan. Positivisme lebih tertarik pada apa yang dapat diamati dan diukur daripada pada esensi atau makna di balik fenomena. Oleh karena itu, metode ilmiah dianggap sebagai satu-satunya cara yang valid untuk memperoleh pengetahuan. Comte percaya bahwa pengetahuan manusia berkembang secara bertahap melalui tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif. Tahap positif adalah tahap tertinggi di mana pengetahuan didasarkan pada fakta empiris.
Positivisme Auguste Comte
Positivisme secara umum merujuk pada pemikiran filsuf Prancis Auguste Comte (Hardiman; 2004, 203) yang, “dijuluki Bapak Positivisme (1789–1857)”. Comte dikenal sebagai bapak pendiri positivisme. Comte adalah seorang filsuf yang sangat berpengaruh dalam sejarah pemikiran dan menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran modern. Filsafatnya sangat berpengaruh dalam perkembangan pemikiran ilmiah dan sosial, terutama pada abad ke-19.
Positivisme merupakan sistem pemikiran yang membatasi dirinya pada data pengalaman dan mengecualikan spekulasi apriori atau metafisik. Asumsi dasar positivisme adalah bahwa semua pengetahuan tentang hal-hal fakta didasarkan pada data pengalaman atau "positif". Ketaatan yang ketat pada kesaksian pengamatan dan pengalaman adalah keharusan yang sangat penting dari positivisme. “Pengalaman merupakan data inderawi yang bisa dibuktikan; jika bukan data inderawi, makan tidak bisa dibuktikan sebagai fakta” (Poespowardojo; 2015, 55).
Positivisme Auguste Comte diajukan melalui penegasan tahapan perkembangan intelektual manusia yang menurutnya melalui tiga fase perkembangan intelektual. Yang pertama disebut fase teologis, pada fase ini, perubahan sosial selalu dikaitkan dengan ajaran agama. Fenomena alam dijelaskan sebagai hasil dari kekuatan gaib atau ilahi. Tidak masalah apakah agama itu politeistik atau monoteistik; dalam hal ini, kekuatan ajaib atau kehendak diyakini menghasilkan peristiwa yang diamati. Fase kedua, yang disebut metafisik, dalam tahap ini, realitas dijelaskan berdasarkan konsep filosofis yang abstrak, spekulatif dan universal. Proses alam yang dapat diamati dianggap muncul dari kekuatan impersonal, kualitas okultisme, kekuatan vital, atau prinsip penyempurnaan internal. Dalam kasus lain, ranah fakta yang dapat diamati dianggap sebagai salinan yang tidak sempurna atau tiruan dari ide-ide abadi, seperti dalam metafisika. Sekali lagi, Comte menilai bahwa tidak ada hasil penjelasan yang asli. Pertanyaan-pertanyaan tentang realitas pamungkas, sebab-sebab pertama, atau awal-awal absolut dengan demikian dinyatakan sebagai benar-benar tidak dapat dijawab (Poespowardojo; 2015, 56).
Tahap ketiga, yaitu ilmiah, atau fase “positif”. Comte mengklaim hanya peduli dengan fakta-fakta positif. Tugas ilmu-ilmu dan pengetahuan pada umumnya adalah mempelajari fakta-fakta dan keteraturan alam dan masyarakat serta merumuskan keteraturan sebagai hukum serta penjelasan tentang fenomena dapat terdiri tidak lebih dari memasukkan kasus-kasus khusus di bawah hukum umum. Menurut Comte, analisis sosial mengharuskan penggunaan metode yang menekankan fakta sebagai titik tolak. Menurut Comte, umat manusia mencapai kedewasaan penuh pemikirannya hanya setelah meninggalkan penjelasan semu dari fase teologis dan metafisik dan menggantinya dengan metode ilmiah yang tidak dibatasi.
Dalam pandangan Comte, tahap positif merupakan tahapan tertinggi dalam perubahan sosial. Baginya, keputusan untuk bertindak menurut fakta menyatakan sisi rasionalitas yang dewasa, karena manusia tidak menyerahkan nasibnya dikendalikan oleh keyakinan teologis dan konsep-konsep spekulatif. Masyarakat modern dalam pandangan Comte memasuki pemikiran positivistis (Mikhael Dua; 2009, 26).
Comte mendorong positivisme supaya dijalankan melalui dua metode. Ia menawarkan metode historis dan metode positif dengan tujuan mewujudkan perubahan sosial yang adil. Metode historis memiliki dasarnya pada hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan dalam masyarakat dan berlaku dalam ilmu-ilmu sosial. Sementara itu, metode positif dilengkapi oleh pengamatan, perbandingan, dan eksperimen dan berlaku dalam ilmu-ilmu alam (Poespowardojo; 2015, 57).
Evaluasi dan Relevansi Positivisme Auguste Comte
Meskipun positivisme memiliki pengaruh yang besar, filsafat ini juga mendapat banyak kritik. Positivisme sering dianggap terlalu sempit karena hanya mengakui pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah. Fokus positivisme hanya pada fenomena yang dapat diamati. Positivisme sering dianggap kurang menghargai kemampuan rasio dalam mengabstraksi karena hanya mengakui pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan langsung dan mengabaikan aspek-aspek yang lebih subjektif atau abstrak. Positivisme mengabaikan dimensi non-empiris yang sudah jelas dialami oleh subjek. Positivisme tidak memberikan ruang yang cukup untuk nilai-nilai, etika, dan pengalaman subjektif yang juga membentuk kehidupan manusia. Positivisme kesulitan menjelaskan nilai-nilai moral dan estetika.
Positivisme cenderung mengabaikan bagaimana konteks sejarah dan sosial mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman kita tentang dunia. Positivisme pertama-tama mencari hukum universal dan mengabaikan adanya sesuatu yang kontekstual dan bersifat parsial. Positivisme berusaha menemukan hukum-hukum universal yang berlaku untuk semua waktu dan tempat, namun kenyataan sosial seringkali lebih kompleks dan kontekstual. Positivisme tidak mampu menjelaskan nilai karena fokusnya hanya pada fakta. Positivisme mengabaikan dimensi normatif dan lebih tertarik pada apa yang ada daripada apa yang seharusnya ada.
Lebih jauh, positivisme jatuh pada reduksionisme dan mengurangi kompleksitas yang ditampakan dan dihasilkan fenomena. Positivisme sering kali dituduh mereduksi fenomena sosial yang kompleks menjadi variabel-variabel yang dapat diukur, sehingga mengabaikan nuansa dan makna yang lebih dalam. Positivisme mengklaim sebuah objektivitas yang terlalu ideal dan seorang pengamat dianggap netral. Positivisme berasumsi bahwa ilmuwan adalah pengamat yang netral dan objektif, padahal dalam kenyataannya, nilai-nilai dan latar belakang sosial ilmuwan dapat memengaruhi penelitian mereka.
Positivisme jelas mengalami keterbatasan dalam ilmu sosial karena sulit diterapkan pada fenomena sosial. Metode ilmiah yang dikembangkan untuk ilmu alam sulit diterapkan secara langsung pada fenomena sosial yang lebih kompleks dan dinamis. Kritik lebih jauh diberikan oleh Karl Popper (Panginan; 2019) mengatakan bahwa positivisme terlalu menekankan verifikasi dan mengabaikan falsifikasi. Thomas Kuhn juga menunjukkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak selalu linear dan rasional seperti yang dibayangkan oleh positivisme. Kemudian Michel Foucault mengkritik positivisme karena mengabaikan dimensi kekuasaan dalam produksi pengetahuan.
Kritik-kritik terhadap positivisme Comte menunjukkan bahwa positivismenya memiliki keterbatasan dalam menjelaskan kompleksitas dunia sosial dan manusia. Meskipun demikian, positivisme tetap memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan metode penelitian. Konsep positivisme yang dikemukakan Auguste Comte apabila diperhatikan dalam kehidupan sosial dan ilmu pengetahuan masih sangat relevan hingga saat ini. Banyak contoh bisa diberikan terkait relevansi dan implikasi dari positivisme Comte.
Ilmu pengetahuan seperti sains dalam perkembangannya bahkan hingga saat ini membutuhkan metode ilmiah yang sejalan dengan positivisme. Positivisme dalam hal ini menjadi dasar bagi perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sekiranya berdampak besar bagi kehidupan. Tidak bisa dipungkiri, setiap cabang ilmu membutuhkan metode dalam menyelesaikan penelitiannya. Oleh karena itu, metode penelitian atau metode ilmiah yang dikembangkan Comte menjadi standar dalam berbagai penelitian banyak cabang ilmu. Secara khusus pemikiran positivisme Comte memberikan kontribusi besar dalam pengembangan ilmu sosiologi. Meski demikian, dalam ilmu alam seperti ilmu fisika dan kimia, positivisme menjadi dasar bagi perkembangannya. Eksperimen, pengukuran, dan formulasi hukum alam menjadi metode utama dalam memahami fenomena alam. Ilmu biologi pun demikian, positivisme mempengaruhi perkembangan biologi, terutama dalam studi tentang evolusi dan genetika.
Ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, psikologi dan ekonomi jelas mendapat pengaruh yang cukup kuat dari positivisme. Comte sendiri mendirikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat secara ilmiah. Positivisme mendorong para sosiolog untuk menggunakan metode kuantitatif, survei, dan statistik untuk menganalisis fenomena sosial. Sementara itu, positivisme juga mempengaruhi perkembangan psikologi behavioristik, yang menekankan pada perilaku yang dapat diamati dan diukur. Positivisme pun mempengaruhi ilmu ekonomi, terutama dalam pengembangan ekonomi neo-klasik yang menekankan pada analisis kuantitatif dan model matematika. Kemudian, dalam ilmu hukum, positivisme memberikan pengaruh pengaruh pada pemisahan hukum dari moralitas. Hukum dianggap sebagai seperangkat aturan yang dibuat oleh negara dan berlaku tanpa memandang nilai moral yang terkandung di dalamnya.
Lebih jauh, dalam bidang pendidikan positivisme memberikan pengaruhnya pada aspek kurikulum. Positivisme mempengaruhi pengembangan kurikulum yang berfokus pada fakta, keterampilan, dan hasil yang dapat diukur. Selain itu, metode pengajaran yang menekankan pada eksperimen, observasi, dan pembelajaran berbasis masalah juga sangat dipengaruhi oleh positivisme. Dalam kehidupan sehari-hari pun tampak jelas. Penelitian medis menggunakan metode ilmiah untuk mengembangkan obat-obatan baru dan menguji efektivitasnya. Tidak hanya itu, bahkan dalam survei opini publik, peneliti menggunakan pendekatan positivis. Survei bagaimanapun digunakan untuk mengumpulkan data tentang opini masyarakat, yang kemudian dianalisis secara statistik. lebih lanjut, analisis data ekonomi juga menggunakan pendekatan positivisme, data ekonomi digunakan untuk membuat prediksi tentang tren ekonomi di masa depan.
Tidak bisa dipungkiri, positivisme yang dipelopori oleh Auguste Comte, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam berbagai bidang, terutama dalam ilmu pengetahuan. Prinsip-prinsip positivisme, yaitu penekanan pada fakta empiris, metode ilmiah, dan penolakan terhadap metafisika, telah membentuk cara kita memahami dunia. Beberapa penerapan positivisme dalam berbagai bidang ilmu menjadi buktinya.
Kesimpulan
Positivisme merupakan salah satu aliran filsafat yang penting dalam sejarah pemikiran. Positivisme memiliki posisi tersendiri dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memaparkan bahwa data adalah dasar dari segala pengetahuan ilmiah. Tidak hanya mempengaruhi persepsi para ilmuan terkait ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi klaim normatif bahwa sesungguhnya data yang menjadi kriteria dari suatu ilmu pengetahuan. Metode ilmiah sangat ditekankan bahkan menjadi jaminan untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, seperti setiap aliran filsafat, positivisme juga memiliki kelemahan dan keterbatasan. Meski demikian, dengan memahami kritik-kritik terhadap positivisme, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih lengkap tentang kekuatan dan kelemahan pendekatan ini dan menggunakannya sesuai ranah.
Daftar Pustaka
Dua, Mikhael, 2009, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Maumere, Ledalero.
Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern-Dari Machiavelli Sampai Nietzsche” Jakarta, Gramedia.
Poespowardojo, T. M. Soerjanto dan Alexander Seran, 2015, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Hakikat Ilmu Pengetahuan, Kritik Terhadap Positivisme Logis serta Implikasinya, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
Panginan, Erga Kandly, 2019, Memahami Positivisme dan Perkembangannya, diakses dari,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H