Mohon tunggu...
Cepik Jandung
Cepik Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar Kajian Budaya

Lulusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsumsi Didikte oleh Tatanan Tanda, Analisis Filosofis Jean Baudrillard atas Nilai dan Tanda

28 Agustus 2024   10:01 Diperbarui: 28 Agustus 2024   10:11 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengantar

Konsumsi merupakan salah aktivitas harian manusia. Sebagai konsumen, manusia mengharuskan dirinya menghabiskan waktu, tenaga, dan tentu saja uangnya sebagai biaya demi melakukan kegiatan konsumsi. Kenyataan ini tentu tidak menjadi persoalan apabila kegiatan konsumsi memang dilakukan dalam rangka keberlangsungan hidup. Sejak dari semula manusia memang membutuhkan sesuatu seperti makanan untuk bisa bertahan dan melanjutkan hidup. Akan tetapi ada perilaku konsumsi yang membuat konsumen dikatakan didikte oleh hakikat dirinya sebagai insan konsumtif. Perilaku konsumtifnya hanya sekadar untuk memuaskan hasrat konsumtif belaka bahkan hasrat itu sejatinya telah dimanipulasi. Hakikat dirinya sebagai makhluk simbolik memberikan stimulus supaya dirinya mengambil 'tanda-tanda' sebagai bagian dari bahan konsumsi yang harus diambilnya, padahal semua itu semu.

Realitas konsumtif yang didikte oleh tanda-tanda ini semakin masif merasuki banyak orang. Cara kerja nalar diabaikan dan diutamakan emosi sesaat, hasrat akan tanda yang menggelora kian mendesak. Secara terang-terangan para penjual barang menggaet pembelinya dengan gimmick, seolah-olah tanpa membeli barangnya demikian eksistensi dirinya hilang. Banyak barang, entah yang dijual di toko luring maupun yang dijual melalui platform digital dalam toko daring menghipnotis hasrat untuk membeli dan terus membeli. Iklan-iklan yang memperlihatkan  bahwa pemakaian barang-barang itu memberi jati diri dan harga diri yang berbeda memberi kontribusi yang besar. Para pembeli diajak untuk menjadi bagian dari jati diri yang dipromosikan dan bahkan membuat orang yang tidak membeli merasa ketinggalan, mungkin akan dilupakan orang.

Penghargaan dan konsumsi serta tanda tentu menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari manusia. Semua ini membantunya untuk menjadi pribadi yang utuh dan merasa menjadi manusia yang berharga. Kegiatan konsumsi memberikan rasa puas akan kepemilikan, penghargaan membuat manusia merasa dicintai dan utuh sebagai insan sosial yang senantiasa saling menanggapi dan semua ini secara eksistensial melekat pada tanda yang menunjukkannya. Namun, ketika semua hal ini membuat manusia menjadi bodoh bahkan tersandera lantas hal ini harus digugat. Kurangnya keseimbangan dan kesadaran dalam mempraktikan perilaku konsumsi serta manipulasi tanda mendasarinya telah dipikirkan secara mendalam oleh Jean Baudrillard. Analisis ini pun kemudian akan mengambil referensi kajian dari pemikirannya dan sekiranya dapat menemukan hal-hal positif yang membuat perilaku konsumtif bisa lebih bijak.

Ilustrasi Kondisi Masyarakat Konsumtif

Seorang Ibu muda, sebut saja ibu Monnah, dari keluarga menengah membeli sebuah tas bermerek GUCCI, harganya puluhan juta, setelah melihat tetangganya yang kaya mendapat hadiah Tas GUCCI dari suaminya. Ibu A sering melihat iklan di Tik-Tok dan sinetron di TV yang menunjukkan bahwa artis-artis dan orang-orang kaya saat ini sedang ramai memamerkan diri dengan selalu menggunakan tas bermerek GUCCI apabila berpergian. Tas GUCCI dikatakan oleh iklan-iklan sebagai tas bermerek terkenal yang tentunya hanya dapat dimiliki oleh orang berharga dan kaya, yang tidak memilikinya tentu dianggap kurang mampu. Hal ini diperkuat dengan bukti yang ia lihat langsung yakni kepemilikan Tas GUCCI oleh tetangganya yang cukup kaya. 

Tas GUCCI apabila berbicara tentang nilai guna tidak berbeda jauh dengan tas-tas yang dapat dibeli di pasar-pasar loak yang tidak bermerek. Ibu A merasa dirongrong jiwa kecilnya untuk memiliki tas GUCCI karena harga diri bukan karena hanya merek GUCCI yang bisa dipakainya. Ibu A tentu saja dapat membeli tas lain apabila memang sedang membutuhkan tas. Alasannya tentu bukan karena nilai guna tetapi ia juga ingin terlihat kaya apabila minggu depan berkumpul saat arisan dengan ibu-ibu di kompleks rumahnya. Harga tas yang cukup mahal tidak dihiraukannya meskipun isi dompetnya sudah menipis bahkan hampir kosong. Apabila ditanya tentang maksud memiliki Tas GUCCI, Ibu A mungkin hanya bisa menjawab bahwa tasnya telah membantunya untuk menunjukkan bahwa ia kaya. Ide kesombongan akan tanda inilah yang digunakan oleh pemilik modal untuk membuat mira merasa perlu membeli Tas GUCCI walau uang hasil kerja kerasnya habis seketika.

Tatanan Nilai dan Tanda Menurut Jean Baudrillard

Pengakuan sudah tentunya menjadi bagian yang secara mendasar harus ada dan diperlukan untuk keberadaan seorang manusia. Tanpa sebuah pengakuan, hidup terasa hampa, kosong, galau dan tanpa semangat. Selain sebagai sebuah bentuk penghargaan, secara niscaya setiap manusia pada dasarnya mengharapkan pengakuan dari orang lain. Apapun bentuk pengakuannya, hal itu akan memberi arti yang tidak ternilai dan menjadi daya bagi yang menerimanya. Hakikat manusia seperti ini yang kemudian dibahas dalam teori Jean Baudrillard yang secara sistematis menjelaskan mengenai masyarakat yang mengagungkan tanda. Baudrillard memaparkan teorinya dengan mengambil acuan dan preferensi dalam realitas masyarakat yang konsumtif.

Menurut Jean Baudrillard, objek tidak hanya dikonsumsi dalam sebuah masyarakat Konsumer, mereka diproduksi lebih banyak untuk menandakan status daripada untuk memenuhi kebutuhan (John Lechte, 2001: 356). Dalam masyarakat konsumen yang lengkap, objek menjadi tanda, dan lingkungan kebutuhan, jika memang ada, jauh ditinggalkan.Menurutnya juga, globalisasi telah menyebabkan masyarakat perkotaan menjadi satu model global yang berperilaku tampak seragam. Keseragaman ini disebabkan karena pengaruh media yang berperan dalam menyebarkan tanda-tanda dalam setiap kehidupan. Hal tersebut berakibat pada pergeseran pola pikir dan logika konsumsi masyarakat.

Menurut teori Baudrillard, kini logika masyarakat bukan lagi berdasarkan use value atau exchange value melainkan hadir nilai baru yang disebut "symbolic value". Maksudnya, orang tidak lagi menggunakan suatu objek berdasarkan nilai guna, melainkan karena nilai tanda atau simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi. Hal ini disebabkan karena beberapa bagian dari tawaran iklan dan media sosial justru menafikan kebutuhan dasar seseorang seperti keunggulan diri, melainkan dengan menyerang rasa sombong tersembunyi dalam diri manusia, apa yang ditampilkan produk-produk sekarang lebih sebagai simbol prestise dan gaya hidup yang diakui dan dihargai yang menumbuhkan rasa bangga yang klise dalam diri pemakainya (John Lechte, 2001: 354). 

Dari sinilah terjadi percampuran antara kenyataan dengan simulasi dan menciptakan hiperrealitas di tengah masyarakat, dimana yang nyata dan tidak nyata menjadi tidak jelas (John Lechte, 2001: 357). Media secara perlahan membuat masyarakat jauh dari kenyataan, kemudian masyarakat secara tidak sadar akan terpengaruh oleh simulasi dan tanda yang ada di tengah-tengah kehidupan mereka. Periode simulasi adalah ketika terdapat hal yang nyata dan tidak nyata. Hal yang nyata diperlihatkan melalui model konseptual yang berhubungan dengan mitos, yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Segala sesuatu yang menarik perhatian masyarakat akan ditayangkan media dalam bentuk dan model-model yang ideal. 

Konsumsi Berbasis Tatanan Tanda

Menurut Jean Baudrillard, objek tidak hanya dikonsumsi dalam sebuah masyarakat konsumen, mereka diproduksi lebih banyak untuk menandakan status daripada untuk memenuhi kebutuhan. Dalam masyarakat konsumen yang penuh, objek menjadi tanda, dan lingkungan kebutuhan, jika memang ada, jauh ditinggalkan (John Lechte, 2001: 356). Menurutnya, konsumsi adalah tindakan sistematis dalam memanipulasi tanda, dan untuk menjadi objek konsumsi, objek harus mengandung atau bahkan menjadi tanda. Dapat dikatakan bahwa masyarakat konsumen pada masa sekarang tidak didasarkan kepada kelasnya tetapi pada kemampuan konsumsinya. Dengan demikian, siapapun bisa menjadi bagian dari kelompok apapun jika sanggup mengikuti pola konsumsi kelompok tersebut. 

Menurut analisis Baudrillard, globalisasi telah menyebabkan masyarakat perkotaan menjadi satu model global yang berperilaku tampak seragam. Keseragaman ini disebabkan karena pengaruh media yang berperan dalam menyebarkan tanda-tanda dalam setiap kehidupan. Hal tersebut berakibat pada pergeseran pola pikir dan logika konsumsi masyarakat. Menurut Baudrillard, logika konsumsi masyarakat saat ini bukan lagi berdasarkan nilai guna atau nilai tukar melainkan nilai simbol atau tanda. Orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan nilai tukar atau nilai guna, melainkan karena nilai tanda atau simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi. Hal ini disebabkan karena beberapa bagian dari tawaran iklan justru menafikan kebutuhan konsumen akan keunggulan produk, dan justru menyerang rasa sombong tersembunyi dalam diri manusia. Produk ditawarkan sebagai simbol prestise dan gaya hidup mewah yang menumbuhkan rasa bangga yang klise dalam diri pemakainya. Dari sinilah terjadi percampuran antara kenyataan dengan simulasi dan menciptakan hiperrealitas di tengah masyarakat, dimana yang nyata dan tidak nyata menjadi tidak jelas (John Lechte, 2001: 357). 

Media secara perlahan membuat masyarakat jauh dari kenyataan, kemudian masyarakat secara tidak sadar akan terpengaruh oleh simulasi dan tanda yang ada di tengah-tengah kehidupan mereka. Periode simulasi adalah ketika terdapat hal yang nyata dan tidak nyata. Hal yang nyata diperlihatkan melalui model konseptual yang berhubungan dengan mitos, yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Segala sesuatu yang menarik perhatian masyarakat konsumen ditayangkan media dalam bentuk dan model-model yang ideal. Baudrillard menyimpulkan bahwa keadaan yang terjadi dalam masyarakat konsumen terkait pada kondisi terkendali yang diatur oleh para pemilik modal. Sistem kendali yang digunakan adalah dengan kampanye besar-besaran menyangkut gaya hidup dan prestise (John Lechte, 2001: 357). 

Pengkondisian masyarakat dunia memberikan kesempatan bagi para pemilik modal untuk memasarkan produk seluas-luasnya ke seluruh dunia. Mereka mampu membuat banyak orang bekerja keras demi membeli barang-barang tidak masuk akal, namun memberi prestise dan simbol status sosial yang memiliki makna tersendiri bagi kehidupan subjek yang bersangkutan (John Lechte, 2001: 354). Hal tersebut merupakan bentuk simulasi dari masyarakat konsumen yang diartikan sebagai objek palsu. Dengan kata lain, kini masyarakat tanpa sadar telah menganut ideologi baru, sebuah ideologi yang mengarahkan masyarakat untuk berlomba-lomba mengonsumsi kehampaan. 

Fenomena paradoks tentunya apabila orang bukan lagi bertindak konsumtif dengan dasar membutuhkan sesuatu melainkan karena sesuatu memberi makna bagi dirinya. Makna bagaimanapun merupakan asumsi subjektif akan tetapi semua itu hanya ilusi. Dalam hal ini, realitas yang dijalani menjadi simulacra, Baudrillard menjelaskannya sebagai individu yang menjalani hidup dalam kesadaran diri fantasi dengan sebuah identitas yang terfragmentasi oleh realitas tanda-tanda (Jean Baudrillard, 1981: 1).

Menjaga Keseimbangan

Mengetahui batasan diri tentu menjadi langkah pertama mengolah masalah pendiktean oleh tanda dalam konsumsi. Dalam hal ini, sesuatu yang membatasi harus juga dibatasi. Nilai diri sebagai pribadi yang bebas harus dipahami secara benar dan objektif. Secara umum, nilai merupakan pemandu perilaku. Nilai merupakan salah satu bagian dari identitas manusia sebagai individu, nilai membimbing dan mengarahkan perilaku. Nilai menunjukkan cara seharusnya berperilaku saat seseorang berhadapan dengan realitasnya berikut dengan hasrat, keinginan dan dorongan untuk melakukan sesuatu (Alo Liliweri, 2014: 76).

Nilai diri yang baik lantas membuat pribadi tidak menjadikan realitas di luar diri sebagai acuan utama. Nilai membantu seseorang bersikap konsisten, ia tidak tergantung pada realitas lain. Dalam hal ini, tanda merupakan realitas di luar diri yang menampakan dirinya kepada seorang pembeli atau penikmat. Tentu sah-sah saja bagi penjual untuk mempromosikan barangnya sebagai sebuah usaha supaya barang-barangnya habis terjual. Secara hukum pun demikian, iklan-iklan memang tidak akan dianggap melanggar aturan tertentu dengan menyampaikan ideal-ideal yang sejatinya hanya dalam bayang-bayang. Sebuah nilai yang baik tentang diri membuat seseorang dipandu supaya bertindak tanpa peduli pada bayang-bayang lain apalagi manipulasi tanda.

Secara konsekuen, sebuah nilai sejatinya membimbing tindakan seseorang dan menentukan sesuatu baik atau buruk bagi dirinya. Lantas objektivitas nilai harus sungguh-sungguh diperhatikan. Sebagai masukan positif tentunya harus sungguh diperhatikan, apakah keharusan membeli barang bermerek dan mahal merupakan nilai yang wajib. Penghargaan yang diberikan oleh barang nyatanya hanya tipuan iklan semata. Pertama-tama nilai guna barang tetap yang menjadi poin utama untuk keberlangsungan hidup seseorang. Hilangnya nilai kemahalan pada tas tidak memengaruhi daya gunanya untuk menyimpan barang.

Mode pemilikan nilai diri ini tidak serta merta menjadi langkah akhir menjadi diri yang bijak dalam konsumtif. Langkah lain yang berdaya guna mengharuskan pribadi memahami dengan baik cara kerja pasar dan penggunaan tanda dalam iklan. Tanda yang menampilkan penghargaan harus dicermati, apakah sungguh-sungguh memberi kebaikan pada diri atau sekadar imajinasi. Kesadaran akan diri sebagai makhluk simbolik menjadi dasar untuk mengenali apakah tanda-tanda itu menunjukkan kemanusiaan atau sebaliknya hanya pura-pura manusia. Tanda sangat penting untuk melihat penampakan yang direpresentasikan tetapi pemanipulasian tanda mengaburkan seutuhnya apa yang ingin direpresentasikan. 

Kegiatan konsumsi sekiranya harus melibatkan rasa ekonomis dan kebermanfaatan dan sadar akan diri simbolik. Manusia secara hakiki merupakan makhluk ekonomis dan simbolik. Secara instingtif manusia mengenali apa yang memberinya kebaikan dalam melakukan sesuatu termasuk dalam tindakan konsumtif. Langkah praktis yang bisa diambil misalnya memisahkan antara yang didamba dengan kekurangan. Selain itu, menyadari kebersimbolikan pun menjadi elemen vital untuk menyikapi manipulasi simbol dan gaya hidup bayang-bayang.

Penutup

Konsumsi bukanlah sebuah kejahatan melainkan menjadi salah satu penunjuk keberadaan seseorang. Manusia dalam hasrat personalnya menghendaki untuk menikmati dan menggapai sesuatu yang bisa dinikmati dan digapainya. Meski demikian, menghasratkan sesuatu berikut mengambil tindakan konsumsi yang pada ujungnya merugikan diri sendiri adalah kekeliruan.

Kekeliruan ini seolah-olah wajar dan sah-sah saja karena kelompok yang menginisiasinya menjadi idola. Terlebih lagi, tindakan konsumsi yang keliru ini memberi kesan penghargaan dan pengakuan. Ya, tentu saja kesan tetap bualan karena semua itu merupakan implikasi logis dari manipulasi simbol. Sebagai pribadi yang rasional dan simbolik, subjek penikmat dan subjek pengonsumsi mesti sungguh-sungguh sadar akan kenyataan dirinya sebagai makhluk simbolik dan ekonomis. Kesadaran yang tepat sekiranya dapat membantu diri untuk bijak dalam aktivitas konsumsi.

Daftar Sumber

Lechte, John. 2021. 50 Filsuf Kontemporer-dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius.

Liliweri, Alo. (2014) PENGANTAR STUDI KEBUDAYAAN. Bandung: Nusa Media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun