Mohon tunggu...
Sepis Jandung
Sepis Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif

Mahasiswa aktif Jurusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsumsi Didikte oleh Tatanan Tanda, Analisis Filosofis Jean Baudrillard atas Nilai dan Tanda

28 Agustus 2024   10:01 Diperbarui: 28 Agustus 2024   10:11 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dari sinilah terjadi percampuran antara kenyataan dengan simulasi dan menciptakan hiperrealitas di tengah masyarakat, dimana yang nyata dan tidak nyata menjadi tidak jelas (John Lechte, 2001: 357). Media secara perlahan membuat masyarakat jauh dari kenyataan, kemudian masyarakat secara tidak sadar akan terpengaruh oleh simulasi dan tanda yang ada di tengah-tengah kehidupan mereka. Periode simulasi adalah ketika terdapat hal yang nyata dan tidak nyata. Hal yang nyata diperlihatkan melalui model konseptual yang berhubungan dengan mitos, yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Segala sesuatu yang menarik perhatian masyarakat akan ditayangkan media dalam bentuk dan model-model yang ideal. 

Konsumsi Berbasis Tatanan Tanda

Menurut Jean Baudrillard, objek tidak hanya dikonsumsi dalam sebuah masyarakat konsumen, mereka diproduksi lebih banyak untuk menandakan status daripada untuk memenuhi kebutuhan. Dalam masyarakat konsumen yang penuh, objek menjadi tanda, dan lingkungan kebutuhan, jika memang ada, jauh ditinggalkan (John Lechte, 2001: 356). Menurutnya, konsumsi adalah tindakan sistematis dalam memanipulasi tanda, dan untuk menjadi objek konsumsi, objek harus mengandung atau bahkan menjadi tanda. Dapat dikatakan bahwa masyarakat konsumen pada masa sekarang tidak didasarkan kepada kelasnya tetapi pada kemampuan konsumsinya. Dengan demikian, siapapun bisa menjadi bagian dari kelompok apapun jika sanggup mengikuti pola konsumsi kelompok tersebut. 

Menurut analisis Baudrillard, globalisasi telah menyebabkan masyarakat perkotaan menjadi satu model global yang berperilaku tampak seragam. Keseragaman ini disebabkan karena pengaruh media yang berperan dalam menyebarkan tanda-tanda dalam setiap kehidupan. Hal tersebut berakibat pada pergeseran pola pikir dan logika konsumsi masyarakat. Menurut Baudrillard, logika konsumsi masyarakat saat ini bukan lagi berdasarkan nilai guna atau nilai tukar melainkan nilai simbol atau tanda. Orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan nilai tukar atau nilai guna, melainkan karena nilai tanda atau simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi. Hal ini disebabkan karena beberapa bagian dari tawaran iklan justru menafikan kebutuhan konsumen akan keunggulan produk, dan justru menyerang rasa sombong tersembunyi dalam diri manusia. Produk ditawarkan sebagai simbol prestise dan gaya hidup mewah yang menumbuhkan rasa bangga yang klise dalam diri pemakainya. Dari sinilah terjadi percampuran antara kenyataan dengan simulasi dan menciptakan hiperrealitas di tengah masyarakat, dimana yang nyata dan tidak nyata menjadi tidak jelas (John Lechte, 2001: 357). 

Media secara perlahan membuat masyarakat jauh dari kenyataan, kemudian masyarakat secara tidak sadar akan terpengaruh oleh simulasi dan tanda yang ada di tengah-tengah kehidupan mereka. Periode simulasi adalah ketika terdapat hal yang nyata dan tidak nyata. Hal yang nyata diperlihatkan melalui model konseptual yang berhubungan dengan mitos, yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Segala sesuatu yang menarik perhatian masyarakat konsumen ditayangkan media dalam bentuk dan model-model yang ideal. Baudrillard menyimpulkan bahwa keadaan yang terjadi dalam masyarakat konsumen terkait pada kondisi terkendali yang diatur oleh para pemilik modal. Sistem kendali yang digunakan adalah dengan kampanye besar-besaran menyangkut gaya hidup dan prestise (John Lechte, 2001: 357). 

Pengkondisian masyarakat dunia memberikan kesempatan bagi para pemilik modal untuk memasarkan produk seluas-luasnya ke seluruh dunia. Mereka mampu membuat banyak orang bekerja keras demi membeli barang-barang tidak masuk akal, namun memberi prestise dan simbol status sosial yang memiliki makna tersendiri bagi kehidupan subjek yang bersangkutan (John Lechte, 2001: 354). Hal tersebut merupakan bentuk simulasi dari masyarakat konsumen yang diartikan sebagai objek palsu. Dengan kata lain, kini masyarakat tanpa sadar telah menganut ideologi baru, sebuah ideologi yang mengarahkan masyarakat untuk berlomba-lomba mengonsumsi kehampaan. 

Fenomena paradoks tentunya apabila orang bukan lagi bertindak konsumtif dengan dasar membutuhkan sesuatu melainkan karena sesuatu memberi makna bagi dirinya. Makna bagaimanapun merupakan asumsi subjektif akan tetapi semua itu hanya ilusi. Dalam hal ini, realitas yang dijalani menjadi simulacra, Baudrillard menjelaskannya sebagai individu yang menjalani hidup dalam kesadaran diri fantasi dengan sebuah identitas yang terfragmentasi oleh realitas tanda-tanda (Jean Baudrillard, 1981: 1).

Menjaga Keseimbangan

Mengetahui batasan diri tentu menjadi langkah pertama mengolah masalah pendiktean oleh tanda dalam konsumsi. Dalam hal ini, sesuatu yang membatasi harus juga dibatasi. Nilai diri sebagai pribadi yang bebas harus dipahami secara benar dan objektif. Secara umum, nilai merupakan pemandu perilaku. Nilai merupakan salah satu bagian dari identitas manusia sebagai individu, nilai membimbing dan mengarahkan perilaku. Nilai menunjukkan cara seharusnya berperilaku saat seseorang berhadapan dengan realitasnya berikut dengan hasrat, keinginan dan dorongan untuk melakukan sesuatu (Alo Liliweri, 2014: 76).

Nilai diri yang baik lantas membuat pribadi tidak menjadikan realitas di luar diri sebagai acuan utama. Nilai membantu seseorang bersikap konsisten, ia tidak tergantung pada realitas lain. Dalam hal ini, tanda merupakan realitas di luar diri yang menampakan dirinya kepada seorang pembeli atau penikmat. Tentu sah-sah saja bagi penjual untuk mempromosikan barangnya sebagai sebuah usaha supaya barang-barangnya habis terjual. Secara hukum pun demikian, iklan-iklan memang tidak akan dianggap melanggar aturan tertentu dengan menyampaikan ideal-ideal yang sejatinya hanya dalam bayang-bayang. Sebuah nilai yang baik tentang diri membuat seseorang dipandu supaya bertindak tanpa peduli pada bayang-bayang lain apalagi manipulasi tanda.

Secara konsekuen, sebuah nilai sejatinya membimbing tindakan seseorang dan menentukan sesuatu baik atau buruk bagi dirinya. Lantas objektivitas nilai harus sungguh-sungguh diperhatikan. Sebagai masukan positif tentunya harus sungguh diperhatikan, apakah keharusan membeli barang bermerek dan mahal merupakan nilai yang wajib. Penghargaan yang diberikan oleh barang nyatanya hanya tipuan iklan semata. Pertama-tama nilai guna barang tetap yang menjadi poin utama untuk keberlangsungan hidup seseorang. Hilangnya nilai kemahalan pada tas tidak memengaruhi daya gunanya untuk menyimpan barang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun