Pengantar
Seberapa pentingkah pendidikan? Setiap generasi menjawabnya dengan berbagai realita unik. Dalam konteks paradigma hidup berbangsa, ada generasi yang melihat pendidikan hanya sekadar formalitas belaka, hanya sebagai alur paten yang harus diikuti seseorang sebelum usia dewasa. Ada juga generasi yang melihat urgensi pendidikan dalam membangun negeri. Pendidikan dilihat sebagai langkah awal membangun negeri yang beradab dan cerdas. Secara umum, pendidikan dilihat sebagai salah satu elemen pengembang diri untuk berpikir lebih baik dan menemukan inovasi-inovasi baru.
Lantaran pendidikan sebagai sebuah keniscayaan dalam kehidupan saat ini, berbagai metode belajar sebagai unsur vital dalam pendidikan juga menjadi perhatian penting. Sepanjang perjalanan dinamika pendidikan di Indonesia, berbagai metode belajar telah ditawarkan. Keberhasilan yang diperjuangkan tentu telah memberi banyak manfaat pada bangsa, meski demikian, sebagai bangsa yang cerdas, pencarian dan evaluasi metode sangat penting dilakukan.
Kajian ini hendak melihat secara sekilas pemikiran Ranciere terkait metode pendidikan. Pemikiran Ranciere sekiranya dapat menjadi bahan pertimbangan tenaga pendidik dalam mengevaluasi metode pengajaran yang telah dilakukannya. Pertimbangan lebih lanjut terkait metode pengajaran tentu mempertimbangkan situasional realitas pendidikan itu sendiri. Akan tetapi, tawaran Ranciere patut dipertimbangkan, mengingat serius dan pentingnya dinamika pendidikan sebagai elemen membangun bangsa dan kehidupan yang lebih baik ke depannya.
Kritik Terhadap Metode Pendidikan Modern
Sekolah bisa menjadi tempat menyeramkan dan sebaiknya dihindari. Argumentasi ini menyenggol realita kehidupan yang mengabaikan kebenaran objektif, melanggengkan daya kekuasaan otoriter dan orang dalam. Realita lain yang tidak bisa dipungkiri adalah rendahnya sumber daya manusia dan daya kreatif lulusan sekolah yang sangat minim. Menimbang semua ini dan menelisik lebih dalam, fenomena basic dalam pendidikan yang menekankan pemindahan ilmu dari kepala guru ke kepala murid bisa menjadi alasannya.
Jacques Ranciere mengkritik pendidikan modern karena menurutnya pendidikan modern bertumpu pada prinsip menjelaskan apa yang tidak diketahui murid. Dengan demikian, metode penjelas mengandaikan adanya murid yang tidak tahu dan guru yang tahu sehingga guru yang tahu akan mentransfer pengetahuannya kepada muridnya yang tidak tahu. Secara lebih mendasar sistem ini dapat dikatakan bertumpu pada keyakinan adanya ketidakmampuan. Dalam hal ini, siapa yang meyakini adanya ketidakmampuan adalah guru penjelas itu sendiri. Guru penjelaslah yang menciptakan adanya murid yang tidak mampu. Apabila ditelaah lebih jauh, sumbernya berasal dari guru yang tidak yakin dengan kemampuannya sendiri sehingga untuk meneguhkan bahwa ia lebih tahu, ia mendoktrin muridnya di awal pengajaran bahwa muridnya tidak mampu tahu (1).
Ranciere juga mengkritik logika penjelasan itu sendiri yang kalau ditelaah ternyata tidak terlalu jelas juga (2). Contoh konkret untuk hal ini adalah guru yang menjelaskan isi sebuah buku kepada muridnya. Apabila diperhatikan, sebuah buku pun memiliki cara berpikirnya sendiri dan seorang guru dalam menjelaskan buku itu menggunakan cara berpikirnya sendiri juga. Keberatan pertama tentunya, apakah tidak membuang uang ketika membayar seorang guru hanya untuk menggunakan cara berpikirnya guna memahami cara berpikir buku? Bukankah lebih efisien apabila membelikan bukunya dan membiarkan seorang anak memahaminya sendiri cara berpikir buku itu?
Pertanyaan keberatan sebaliknya, apakah seorang anak mampu memahami cara berpikir buku tanpa bantuan seorang guru? Pertanyaan ini sekiranya dijawab dengan bertanya sebaliknya, apa jaminan bahwa seorang anak memahami cara berpikir guru yang hendak menjelaskan cara berpikir buku yang sebelumnya tidak ia pahami? Dengan demikian seorang anak harus diberi penjelasan tentang cara berpikir gurunya dan sekali lagi tidak ada jaminan bahwa anak itu akan mengerti penjelasan lainnya itu. Hal ini akan terus berlanjut sampai pada regresio ad infinitum. Model penjelasan seperti ini sekiranya dapat dipikirkan bahwa perlunya satu pemutus yang akan menghentikan arena penjelasan. Pemutus ini adalah si pemberi penjelasan. Apabila seorang penjelas, dalam hal ini Guru menentukan bahwa sudah cukup dan sudah jelas, murid pun harus paham. Dalam hal ini, guru menguasai logika penjelasan dan tahu untuk membuat jarak antara buku yang diajarkan dengan inti seluruh pengajarannya. Hal inilah yang membuat guru lebih dari orang tua yang ada di rumah (3).
Pendidikan Universal Alamiah
Ranciere meyakini bahwa pendidikan tanpa penjelasan mungkin dilakukan. Ia berangkat dari pengalaman Jacotot yang membiarkan anak-anak Belanda belajar Bahasa Perancis tanpa penjelasan dan hasilnya memuaskan. Jacotot membiarkan anak didik dengan kehendak mereka sendiri yang ingin belajar bergelut dengan buku dwibahasa Telemaque (4). Berdasarkan pengalaman ini, Ranciere melihat bahwa kemauan sangat menentukan seseorang supaya akhirnya mampu menguasai apa yang dipelajarinya. Pengalaman ini juga menunjukkan bahwa semua orang memiliki kemampuan yang sama untuk memahami sesuatu yang dipahami dan dilakukan oleh sesamanya (5).