Pendahuluan
Harus diakui bahwa dalam beberapa dekade terakhir, Nietzsche dan pemikirannya sangat digemari sehingga banyak karyanya yang menjadi bahan referensi bagi para pemikir baru. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan pandangan umum sebelumnya yang kurang positif. Mengenai kenyataan akan begitu antusias dan menariknya kebangkitan Nietzsche tentu saja tidak terlepas dari relevansi pemikiran dan dugaannya.Â
Generasi generasi Z menjadi manusia yang tercecer dan  galau. Tidak bisa dipungkiri, tuntutan pekerjaan, tuntutan relasi, masalah sosial, kurang tanggap mengikuti kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan,  serta gesitnya pergeseran budaya dan politik membuat generasi Z galau dan tercecer. Kegalauan dan kececeran juga muncul karena begitu larut dalam dinamika kehidupan yang ada. Kemajuan teknologi informasi yang menjadikan segalanya mudah dan cepat membuat terlena dan abai. Tidak bisa dielak tentunya, kegalauan secara mencolok muncul karena hidup begitu 'gampang' (teknologi adalah segalanya) dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Manusia mengabaikan identitas dan makna dirinya sebagai pribadi, apalagi yang harus dipikirkan, pasrah saja dengan keadaan yang ada.Â
'Selalu ada cara baru untuk memahami dan menghadapi Realitas'. Diktum ini menjadi sebuah penyala semangat dan pendobrak rasa takut dan pesimis dalam menghadapi realitas yang kurang diinginkan bahkan seakan-akan tidak tertahankan sulitnya. Pemikiran yang diinspirasi oleh Nietzsche ini semakin penting dimiliki generasi yang disebut 'Generasi Z'.Â
Realitas Generasi Z yang Telah Diwaspadai Nietzsche
Tersirat dan tersurat sebuah fakta menarik terkait generasi Z dalam pemikiran Nietzsche, terpampang suatu kondisi yang sejatinya telah diantisipasi oleh Nietzsche pada masanya. Kegalauan dan kececeran muncul karena begitu larut dalam dinamika kehidupan yang ada. Dalam konteks realitas kontemporer, kemajuan teknologi informasi yang menjadikan segalanya mudah dan cepat membuat terlena dan abai. Tidak bisa dielak tentunya, kegalauan secara mencolok muncul karena hidup begitu 'gampang' (teknologi adalah segalanya) dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Manusia mengabaikan identitas dan makna dirinya sebagai pribadi, apalagi yang harus dipikirkan, pasrah saja dengan keadaan yang ada.Â
Realitas digital menstimulasi realitas kesadaran bahwa segala sesuatunya harus dibantu, entah oleh orang lain dan paling dominan oleh teknologi ciptaan manusia itu sendiri. Lantas semua realitas ini menimbulkan sebuah perasaan kekosongan. Teknologi seolah-olah menjadi para dewa dan penerus generasi melekat pada nuansa konsumerisme. Subyek-subyek independen lengah sehingga tidak adanya sikap tanggung jawab. Lemahnya responsif diri dan rasa tanggung jawab sebagai person karena semua nilai dianggap relatif. Eksesnya jelas, generasi Z justru lebih percaya pada media-media ciptaannya dibandingkan dirinya sendiri, apalagi teman, tetangga, orang serumah atau manusia lain. Realitas seperti ini tentunya bukan berarti harus dinilai sebagai hal baik atau buruk, hanya saja melampaui semua itu, manusia kehilangan identitasnya sebagai manusia, dan mirisnya manusia menciptakan idola fixed nya sendiri, lantas setelah itu fanatik dengan idolanya sendiri saja.
Kebenaranku adalah kehendakku, demikianlah sangkalan magis individu tercecer dan galau. Mereka memiliki versi kebenarannya masing-masing tanpa memerhatikan objektivitas nilai kebenaran yang dianutnya. Apa yang dipandang baik secara subjektif menjadi kebenaran umum dan dianggap objektif. Realitas yang tampak tidak perlu dipertanyakan lagi kesejatiannya. Apa yang tampak memang demikianlah yang seharusnya meski setiap pribadi melihat realitas yang berbeda serta meyakini kebenaran realitas yang berbeda.
Kebenaran dan Realitas dalam Pandangan Nietzsche
Pembacaan Joulli atas teks-teks Nietzsche sekiranya membantu pemahaman pembaca tentang kompleksitas kondisi realitas saat ini dan sikap seperti apa yang bisa diambil secara berdaya guna. Joulli menawarkan sebuah pembacaan yang berbeda, melihat teks-teks Nietzsche yang baginya menunjukkan kontradiksi (Jean-Etienne Joulli, 2013: 3). Tentu saja pembacaan Joulli memberikan tawaran membaca Nietzsche dengan perspektif yang berbeda ini sangat dibutuhkan. Penjelasan Joulli berkaitan dengan kontradiksi yang ia temukan dalam teks-teks Nietzsche dan pemaknaan yang ia berikan setelahnya menegaskan bahwa selalu ada hal baru untuk seorang yang berani mencari dan melampaui kemapanan. Bahkan dalam nuansa kritik destruktif, seseorang dapat menemukan bahwa ada sebuah cara baru dalam mencerna dan memahami realitas. Joulli dalam hal ini konsisten dan mengasumsikan bahwa posisi kontradiktif Nietzsche pada dasarnya menegaskan bahwa Nietzsche tidak ingin memutlakkan sesuatu.
Menarik kemudian penegasan Joulli berikutnya bahwa seseorang harus selalu siap untuk mengakui bahwa mencapai finalitas dalam studi Nietzsche bisa menjadi tanda pemahaman yang tidak lengkap. Bagi penulis, membaca Nietzsche sangat menarik, para pembaca diminta untuk mempertanyakan kembali segala pengandaiannya, persis karena apa yang diklaim sebagai paling dikenal, dianggap paling benar untuk diri dan kelompok, ternyata justru paling tidak dikenal dan paling ambigu. Meski demikian, sekali lagi mesti dipertimbangkan, selalu ada cara baru untuk memahami dan menghadapi Realitas. Dalam hal ini, pemaknaan atas teks-teks Nietzsche, dalam bidang filsafat akademis atau pun untuk kehidupan seorang manusia mendapat tempatnya.Â
Menurut A. Setyo Wibowo, dalam tulisan yang berjudul GM dan Zaratthustra-nya Nietzsche: Catatan dan Tawaran Perspektif
Lain terkait konsep kebenaran, "persoalan kebenaran dan kehendak kemudian dapat dianalisis dalam sebuah kerangka yang Nietzsche sendiri gunakan yakni genealogi". "Genealogi adalah pertanyaan tentang apa yang kumaui sesungguhnya saat aku menghendaki sesuatu" (A. Setyo Wibowo, 2022: 174). Penulis melihat bahwa persoalan tentang kehendak dan kebenaran perlu dipahami secara tepat. Kata kehendak dalam rumusan Nietzsche tidak persis bahkan sama sekali lain dari apa yang ingin disebut kehendak itu sendiri. Dalam hal ini, penulis setuju dengan pembacaan bahwa dalam konteks pemahaman Nietzsche kata hanyalah selubung bagi sesuatu yang sama sekali lain, sesuatu yang kompleks dan tidak terkatakan. Kata sama sekali tidak dianggap mewakili realitas sebagaimana jelas diuraikan Nietzsche dalam penolakannya terhadap ide fixed dalam proses pembentukan kata atau konsep (A. Setyo Wibowo, 2004: 283). Secara sederhana kata merupakan pengungkapan terlambat atas sesuatu.Â
Kemudian, dalam kritik tajam Nietzsche atas kebutuhan untuk percaya dapat dilihat bahwa kebutuhan itu melingkupi semua dimensi kehidupan bahkan tampak dalam sebuah ketidakpercayaan. Semua pemahaman seperti ini bersumber dari pandangan Nietzsche bahwa yang paling primordial adalah Chaos. Intinya, di balik kritik tajam atas konsep kebenaran atau apapun yang diajukan Nietzsche adalah bahwa ada ide fixe (merujuk pada keterikatan subjek secara obsesif pada sebuah ide sedemikian sehingga ia selalu berotasi di sekitarnya). Dalam hal ini, manusia yang membutuhkan sebuah topangan kemudian menunjukkan dirinya dalam fiksasi atas sebuah ide (A. Setyo Wibowo, 2004: 252).Â
Chaos digambarkan sebagai 'kabut dan kegelapan', juga 'atau 'nganga'. Dari 'nganga gelap' inilah segala sesuatu muncul dan ada. Inspirasi dari tradisi Yunani dan Kristiani yang juga berasal dari Siro-Palestina dan Mesopotamia, berbicara tentang imaji keadaan asali yang adalah Chaos, yang artinya nganga jurang kegelapan. (Bdk. A. Setyo Wibowo, 2004: 207)
 Oleh karena itu, realitas, kehidupan, dan kebenaran adalah chaos, yang tidak terdefinisikan tetapi dari sanalah penampakan selubung kebenaran menampakkan dirinya. Kesadaran diri pada gilirannya merelatifkan bentuk-bentuk yang membahasakannya sehingga tidak pernah berdiri sendiri karena hanya mengatakan yang  apa yang tidak terkatakan. Hal ini (kata kehendak) memang penting karena berusaha menyingkapkan yang tidak terkatakan tetapi sekaligus tidak begitu penting juga karena penyingkapan hanyalah penyingkapan saja (A. Setyo Wibowo, 2004: 208).
Identitas Sementara
Sebagai pribadi yang 'tercecer' (terpecah-pecah sebagai pribadi) manusia memang butuh menyatukan dirinya. Meski demikian, oleh karena ide fixed yang ia genggam untuk menyatukan diri bersifat eksternal, maka ia tidak benar-benar merasa dirinya satu (Setyo Wibowo, 2022: 201-202). Perasaan asing inilah yang membuat dirinya obsesif memegang ide fixed secara kaku sebagai satu-satunya kebenaran. Ia menolak kebenaran lain bahkan kebenaran lain membuat dirinya retak makin mudah hancur. Baginya, kebenaran hanya satu yakni yang ia pegang. Dalam hal ini, manusia generasi Z berputar dalam dekadensinya dan tidak mampu keluar dari ketidakberdayaannya, ia sangat butuh suatu pegangan, sehingga apapun yang ia jumpai, akan segera ia pegang dengan erat. Generasi dekaden tidak peduli bahwa kekekehannya memiliki harganya juga yakni penghancuran dirinya sendiri.Â
Sementara itu, identitas manusia yang Nietzsche idealkan adalah yang senantiasa sadar bahwa identitas yang dibangunnya sementara, selalu terbuka pada yang baru. Manusia seperti ini memiliki energi yang besar dari dalam dirinya. Lantas, manusia seperti ini tidak pernah memegang sebuah jaminan yang dimilikinya secara mati-matian melainkan selalu luwes. Menimbang tawaran Nietzsche bahwa segala sesuatu memungkinkan seorang manusia untuk mendapatkan cara baru menghadapi realitas dan kehidupannya menjadi dasarnya. Merasa benar sejatinya keharusan tetapi merasa paling benar menunjukkan kedangkalan. Berani berpikir sendiri bukan berarti tanpa referensi, justru selalu mencari lebih dari yang sekadar diketahui karena semakin aku ragu semakin aku yakin.
Bagi Nietzsche kebenaran adalah realitas itu sendiri (apa yang seada-adanya) bukan seperti tafsiran postmodern atas Nietzsche. Dalam tafsiran postmodern atas konsep kebenaran adalah bahwa kebenaran adalah ilusi atau kebenaran tidak ada. Akan tetapi, menurut Setyo Wibowo, yang memiliki pembacaan yang berbeda, kebenaran dalam pengertian Nietzsche ini sejatinya selalu berelasi dengan pengalaman orang atasnya. Kebenaran dapat dikatakan semacam obat yang dikonsumsi sesuai takaran dan kebutuhan orang yang menggunakannya (Setyo Wibowo, 2022: 173). Oleh karena itu, berkaitan dengan subjek yang menggunakan kebenaran, setiap orang memiliki ukurannya masing-masing. Menelisik seorang fanatik misalnya, ia akan membela mati-matian sebuah kebenaran karena ia membutuhkannya. Bagi seorang yang fanatik, kebenaran yang dipikirkannya juga di situlah pegangan hidupnya. Sebaliknya, roh yang ditawarkan Nietzsche adalah roh yang ringan yang hanya menggunakan kebenaran sejauh perlu saja. Roh ringan paham bahwa kebenaran itu memang hanya selubung yang sekiranya tidak harus dinikmati berlebihan. Sebaliknya juga, roh ringan juga tidak perlu menjauhi kebenaran seperti hantu dan cemas akan realitas yang dihadapinya. Roh ringan memiliki diktumnya yakni 'Iya dan tidak'. (Setyo Wibowo, 2022: 174).Â
Daftar Pustaka
Asmaradana A. Aura. Kehendak Kuasa: Siapa Mereka?, dalam Majalah Basis No. 03-04
(2016).
Joulli, Jean-Etienne. Will to Power, Nietzsche's Last Idol, Sydney: International College of
Management, 2013.
Nietzsche, W. Friedrich. The Will to Power, terj. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale
New York: Vintage, 1968.
Wibowo, A. Setyo. Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2017.
Wibowo, A. Setyo, "GM dan Zaratthustra-nya Nietzsche: Catatan dan Tawaran Perspektif
Lain", dalam Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2022.
Asmaradana A. Aura. "Kehendak Kuasa: Siapa Mereka?", dalam Majalah Basis No. 03-04
(2016).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H