Berbicara sekularisasi tanpa mengaitkannya secara mendasar dengan sekularisme tampaknya menyimpang dari logika filosofis. Meski demikian, seorang tokoh yang cukup progresif, Nurcholish Madjid mengeluarkan pemikiran yang cukup mencengangkan, ia menyatakan bahwa sekularisasi yang digaungkannya tidak merujuk atau menunjuk sekularisme. Istimewa sekaligus kontroversial pemikirannya tentang sekularisasi tetapi juga memiliki pendasaran dan relevansi yang mendalam. Salah satu pendasarannya yang jelas tentunya konektivitas kata sekularisasi dalam posisi paradigma sosiologis. Terkait relevansi, pemikirannya tentang sekularisasi ini bisa merujuk dan menunjuk pada realitas ketika pernyataan ini muncul hingga saat ini yakni ketika banyak orang mencampuradukkan urusan agama dengan politik.
Pemikiran sekularisasi Nurcholish Madjid ini suatu langkah yang tentunya mendapat penolakan besar-besaran pada masa kemunculan. Realita saat itu yang masih sangat traumatik dengan kekuasaan orde baru yang cenderung tidak menghargai nilai agama sangat tidak mendukung. Istilah sekularisasi dalam pemikiran banyak orang termasuk para pemikir saat itu juga jelas mengafiliasikan kata sekularisasi pada sekularisme. Realitas yang kurang mendukung saat pemikiran ini ditawarkan dan istilah sekularisasi yang diasumsikan kontradiksi secara etimologis menjadikan pemikiran Nurcholis Madjid begitu menarik untuk ditelaah.
Nurcholish Madjid menurut Budi Munawar Rachman, salah seorang murid Nurcholis, hendak mempertegas pemilahan akan hal yang sejatinya bersifat ilahiah dari yang bersifat manusiawi supaya tidak terjadi salah kaprah bahkan yang paling buruk memperalat agama untuk urusan politis pribadi. Tulisan ini hendak melihat secara sederhana dan jelas maksud dari Nurcholis Madjid atas pemikirannya yang cukup progresif sekaligus kontroversial pada masanya bahkan hingga saat ini, yakni tentang makna sejati sekularisasi yang dicanangkannya.
Relevansi Pemikiran Sekularisasi Nurcholish Madjid di Era Kontemporer
Pada Era generasi Z ini, agama dalam hati penganutnya selalu diharapkan membawa misi rahmat bagi seluruh alam. Akan tetapi realitas menunjukkan bahwa agama kadang-kadang berwajah yang berbeda dan tidak lagi menunjukkan peranannya secara tepat. Kondisi seperti ini terjadi pada semua agama termasuk agama Islam, khususnya di Indonesia. Secara khusus soal masalah politisasi agama, memperalat agama untuk kepentingan pribadi dan mengkultuskan sesuatu yang sejatinya hanya bersifat manusia masih banyak ditemukan. Suatu pemikiran yang serius mesti menggali dan membongkar kebusukan yang tampak rasional tetapi sejatinya sebuah kerasionalan yang dilegalkan. Pemikiran sekularisasi Nurcholish Madjid pada hakikatnya dapat mengambil peranan yang sangat vital tentu dengan sebuah pendekatan yang komprehensif. Â Â
Dalam konteks Indonesia, tokoh Muslim pertama yang dapat dianggap menyuarakan istilah sekularisasi dan sekularisme di dunia akademis adalah Nurcholish Madjid, yang menyatakan bahwa sekularisasi dan sekularisme bukan merupakan paham statis, tetapi suatu proses yang terus berlangsung (1). Pandangan-pandangan Nurcholis Madjid terus mengakar dan tentunya sangat membantu dalam usaha kebebasan beragama. Selain itu saat ini lebih kontekstual tetapi memiliki pendasaran dan efektivitas yang sama sangat terbantu dengan hadirnya istilah post sekularisasi. Istilah ini sekirannya dan memberi peluang yang cukup signifikan dalam bagaimana agama di ruang publik, dalam hal ini agama mendapat tempat yang semestinya. Istilah lain yang sangat kontekstual dan mendukung pemikiran Nurcholish Madjid adalah penggunaan kata desakralisasi, demitologisasi.
Lepas dari istilah dan implikasi teoritisnya, lebih dalam pada praktisnya dalam kehidupan bersama, tidak bisa dipungkiri dan harus diakui bahwa justru gerakan Nurcholish Madjid terhadap sekularisasi Islam telah "menyelamatkan Islam dari "topeng Islam". Relevansinya dapat kita telaah dengan melihat terlebih dahulu kasus-kasus yang berbahaya apabila pemikiran sekularisasi tidak digaungkan. Kenyataan yang paling rawan, Kaum Islamis, atau mereka yang berada dalam kategori fundamentalis Muslim yang lebih besar yang berfokus pada pengambilalihan negara. Inilah salah satu dari berbagai respons yang dihasilkan dalam masyarakat yang bergulat dengan negara modern yang terikat dengan warisan kolonialisme. Namun, proses memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang definisi publik dan privat di arena politik.Â
Persaingan sengit di antara kaum Islamis untuk memberikan jawaban yang pasti dan struktur pemikiran Islam yang menekankan hubungan individu dengan teks-teks agama telah menyebabkan pertanyaan mendalam, sadar dan kritis tentang peran agama, sekularisasi dalam pemerintahan yang mayoritas Muslim. Nurcholis Madjid hadir memberi pengaruh signifikan di Indonesia. Sekularisasi bukan hanya peningkatan atau penurunan penanda religiusitas tetapi juga pergeseran mendasar dalam keyakinan agama menuju rasionalisasi dan objektifikasi (2). Setidaknya kita dapat mengakui bahwa kita perlu memahami hubungan antara sekularisme dan sekularisasi dengan lebih jelas sebelum kita dapat membangun definisi universal tentang sekularisme. Tidak untuk berdebat dan  meninggalkan definisi universal tetapi untuk lebih mendasar secara universal dan metodis walau tanggapan lain justru melihatnya menuju sekularis.
Nurcholish menggambarkan persoalan-persoalan yang sangat mendesak untuk dipecahkan, khususnya menyangkut integrasi umat akibat terpecah-belah oleh paham-paham dan kepartaian politik. Nurcholish dengan jargon "sekularisasi"-nya dan "Islam, Yes; Partai Islam, No" hendak mengajak umat Islam untuk mulai melihat kemandekan-kemandekan berpikir dan kreativitas yang telah terpasung oleh berbagai bentuk kejumudan. Karena itulah ia menyarankan suatu kebebasan berpikir, pentingnya the idea of progress, sikap terbuka, dan kelompok pembaruan yang liberal, yang bisa menumbuhkan suatu istilahnya sendiri, "psychological striking force", yang dapat memunculkan pikiran-pikiran segar (3).
    Nurcholis Madjid akan mengusulkan untuk menggunakan istilah yang lebih dapat diterima seperti desakralisasi dan demitologisasi sebagai ganti kata sekularisasi. Nurcholish Madjid memang menganjurkan, "karena sedemikian kontroversialnya istilah 'sekuler', 'sekularisasi' dan 'sekularisme' itu, maka adalah bijaksana untuk tidak menggunakan istilah-istilah tersebut, dan lebih baik menggantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral (4). Menurut Budi Rachman, desakralisasi lebih cocok untuk makna yang Nurcholis Madjid maksudkan. Nurcholish Madjid sungguh mempertegas pemilahan akan hal yang sejatinya bersifat ilahiah dari yang bersifat manusiawi supaya tidak terjadi salah kaprah bahkan yang paling buruk memperalat agama untuk urusan politis pribadi.Â
Jargon Nurcholish yang terkenal, "Islam, Yes, Partai Islam, No," misalnya mau mengatakan, bahwa partai Islam itu (sekarang) bukan hal yang esensial, dan (sama sekali) tidak berhubungan dengan esensi keislaman. Itulah makna "sekularisasi", yaitu mengembalikan mana yang sakral, sebagai sakral, dan yang profan, sebagai profan. Politik Islam (dengan cita-cita mendirikan negara Islam) yang tadinya dianggap "sakral", yaitu merupakan bagian dari perjuangan Islam, sekarang "didesakralisasi" (5).
Mintaredja dalam bukunya, "Renungan Pembaruan Pemikiran: Masyarakat Islam dan Politik di Indonesia", berbicara tentang para tokoh Islam yang telah gagal memilih sifat-sifat yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan-tantangan internal, dan telah menaksir terlalu tinggi kekuatan politik umat. Baginya, untuk mengatasi masalah ini, umat Islam harus memiliki pola pemikiran baru, yang penuh dengan dinamika dan romantika yang positif. Â Dalam hal ini, pola pemikiran baru itulah yang segera dikembangkan oleh kelompok yang menyebut dirinya, "Kaum Pembaruan", yang sejatinya telah diberikan kompasnya oleh Nurcholish Madjid (6).Â
Catatan Kaki
1. Budhy Munawar-Rachman, ed., SEKALI LAGI TENTANG SEKULARISASI, dalam Karya Lengkap Nurcholish Madjid-Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan, Nurcholish Madjid Society ((NCMS): Jakarta Selatan. 2020), hal. 297-298.
2. (Sebagian besar tulisan ini merujuk pada paparan dan diskusi dalam beberapa Webinar KPII).
3. Budhy Munawar-Rachman, CATATAN-CATATAN TENTANG SEKULARISASI CAK NUR, artikel bahan KPII, 2021, Jakarta, hal. 9.
4. Budhy Munawar-Rachman, CATATAN-CATATAN TENTANG SEKULARISASI CAK NUR, hal. 14.
5. Budhy Munawar-Rachman, CATATAN-CATATAN TENTANG SEKULARISASI CAK NUR, hal. 14.
6. Budhy Munawar-Rachman, CATATAN-CATATAN TENTANG SEKULARISASI CAK NUR, hal. 20.
Daftar Sumber
Larru Shiner, Larru. The Concept of Secularization in Empirical Research. Dalam Journal for the Scientific Study of Religion Vol. 6, No. 2, Wiley, 1967. PDF.
Rachman, Budhy Munawar. TENTANG MAKNA SEKULARISASI DAN SEKULARISME. Artikel bahan KPII, Jakarta, 2021. PDF
Rachman, Budhy Munawar. Ed., SEKALI LAGI TENTANG SEKULARISASI. Dalam dalam Karya Lengkap Nurcholish Madjid-Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan, Nurcholish Madjid Society (NCMS): Jakarta Selatan. 2020.
Rachman, Budhy Munawar. Ed., SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI. Dalam dalam Karya Lengkap Nurcholish Madjid-Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan, Nurcholish Madjid Society (NCMS): Jakarta Selatan. 2020.
Rachman, Budhy Munawar. REORIENTASI PEMBARUAN ISLAM-Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia. Lembaga Studi Agama dan Falsafah: Jakarta, 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H