Mohon tunggu...
Sepis Jandung
Sepis Jandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif

Mahasiswa aktif Jurusan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoal Perspektif Umum Sekularisasi dan Tantangan Pemikiran Sekularisasi Nurcholish Madjid

17 Juli 2024   16:00 Diperbarui: 17 Juli 2024   17:17 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Realita Pemikiran Umum Menyoal Sekularisasi

          Dalam merekonstruksi definisi universal tentang sekularisasi, pertama-tama kita harus memahami hubungan historisnya yang kompleks dengan sekularisme. Sebagian besar percakapan cenderung membingungkan keduanya, berpindah dari satu ke yang lain. Pemahaman umum tentang hubungan antara sekularisasi dan sekularisme didasarkan pada pembacaan Reified tentang sejarah Eropa. Setelah gereja Katolik ditantang, ada banyak pertempuran dan akhirnya orang memutuskan bahwa toleransi adalah cara terbaik untuk maju. Orang juga menyadari bahwa cara paling mudah untuk mengoperasionalkan toleransi adalah dengan memisahkan gereja dan ruang negara, publik dan privat (1). 

Ada banyak masalah dengan narasi ini, termasuk pertanyaan tentang keakuratan sejarah, serta variasi dan pembalikan yang sangat besar dalam pengalaman Eropa. Namun, penting di sini untuk dicatat bahwa dalam versi ini sekularisasi dan sekularisme tampaknya telah berkembang bersama. Meski demikian, tidak ada yang benar-benar memiliki peta yang jelas tentang bagaimana keduanya terkait satu sama lain. 

Secara etimologis, sekularisasi berasal dari kata saeculum (latin), yang berarti waktu atau umur manusia, abad dan dunia (kosmos). Sebagai konsep sosiologis, sekularisasi sebagai proses perkembangan di mana masyarakat dan pandangan mengenai dunia dibebaskan dari pengaruh agama sehingga agama dan apa yang sakral tidak lagi menguasai seluruh masyarakat dan manusia serta pandangan tentang manusia.Harvey Cox mengemukakan tiga aspek sekularisasi, yaitu pembebasan alam dari ilusi, desakralisasi politik, dan pembangkangan terhadap nilai-nilai. Yang pertama, dimaksudkan pembebasan alam dari pengaruh Ilahi yang mencakup kepercayaan animistis, dewa-dewa, dan sifat magis dari alam. Yang kedua, penghapusan legitimasi kekuasaan dan wewenang politik dari agama dan yang ketiga, berarti bahwa nilai-nilai, termasuk nilai agama, terbuka untuk perubahan yang di dalamnya manusia bebas menciptakan perubahan itu dan membenamkan dirinya dari proses evolusi (2).

Sekularisme awalnya terjadi pada abad modern yang dialami kaum Kristen, namun dalam perkembangannya kini sekularisme menyusup secara diam-diam dan belakangan lebih langsung ke dalam pandangan dan budaya kaum Muslim, pro dan kontra tentang sekularisme pun mengiringi perkembangan masyarakat Islam dewasa ini (3). Sejak akhir masa kolonial dan khususnya bagi masyarakat mayoritas Muslim saat ini, dogma kebijakan adalah bahwa adopsi sekularisasi sebagai proyek negara akan mengarah pada proses sekularisme. Oleh karena itu orang tidak dapat berasumsi bahwa kurangnya sekularisasi dalam masyarakat ini disebabkan oleh beberapa keterlambatan di pihak Islam. Islam tidak melakukan sekularisasi seperti yang dilakukan Eropa karena mereka tidak perlu melakukannya. Meski demikian, harus diakui bahwa selama abad terakhir sesuatu yang baru telah terjadi yang telah menyebabkan banyak pemikiran kritis tentang hubungan antara agama dan negara dalam masyarakat.

Pemikiran Nurcholish Tentang Sekularisasi

Nurcholish Madjid mencanangkan suatu makna sekularisasi yang sangat berbeda. Meski demikian, makna baru yang digaungkannya memiliki konteks kemunculan yang relevan walaupun juga sekaligus kontroversial pada masanya. Makna baru ini menjadi sangat relevan pada masanya karena sebuah istilah baru yang diusulkan Nurcholis Madjid juga, ia mengusulkan untuk menggunakan sebuah istilah yang lebih dapat diterima. Istilah yang sering kali dikencangkannya adalah desakralisasi dan demitologisasi. 

Apabila merujuk ke sesuatu yang lebih jauh, pemikiran Nurcholish memiliki pendasaran historis yang sangat kuat. Pemikiran Nurcholish tentang sekularisasi dikaitkannya dengan tema tawhid, sebuah pandangan yang sangat mendasar pada Islam. Tawhid merupakan pandangan Islam yang menyangkut ketuhanan dan pada hakikat awalnya berkaitan dengan politik (4). Sekularisasi yang dicanangkan Nurcholish diasumsikan sebagai "devaluasi" atau "demitologisasi" atau "devaluasi" atas semua saja yang bertentangan dengan ide tawhd. 

        Pemikirannya mengenai sekularisasi tentu saja bertolak belakang dengan realita ketika pemikiran muncul. Bagaimanapun masif dan maraknya ketidakterpisahan atau tidak ada pemisahan yang jelas antara urusan agama yang bersifat ilahiah dan urusan politis yang sejatinya bersifat manusiawi belaka sangat kuat. Walaupun demikian, masalah integrasi umat menjadi poin yang harus diupayakan. Bagi Nurcholis Madjid persoalan yang sangat mendesak untuk dipecahkan yakni menyangkut integrasi umat walau tanpa menepis banyak persoalan lain juga yang harus diperhatikan.

        Harus diakui, Islam Indonesia kadang-kadang tidak sanggup membedakan nilai yang disangkanya Islam dan sungguh-sungguh Islam dalam perjalanan panjangnya yang telah lewat. Sebuah realita yang mesti diterima bahwa ada kondisi dimana, setiap dimensi kehidupan orang Islam terdampak ketidakrasionalan yang diasumsikan rasional terkait mengkultuskan hal yang tidak seharusnya dan secara khusus dalam fenomena politik. 

Nurcholish mengkhawatirkan kondisi umat yang dimanipulasi dengan dasar agama oleh pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, ada kondisi dimana agama dipolitisasi dan digunakan sebagai penggerak massa. Agama  seolah-olah  hanya sekadar alat bantu untuk kesuksesan orang atau kelompok tertentu. Bahkan ada Partai politik yang diasumsikan oleh orang Islam sebagai partai agama atau setidaknya mewakili secara agama Islam secara istimewa.

Rasionalisasi sekularisasi dalam pemikiran Nurcholish pada dasarnya lebih dekat dengan muatan aplikatif untuk hidup dalam budaya inklusif.  Dalam hal ini, Nurcholis Madjid menggunakan kata sekularisasi lebih pada muatan sosiologis. Artinya, sekularisasi sebagai suatu bentuk proses sosiologis (5). Pengertian sekularisasi pada muatan ini lebih banyak mengisyaratkan kepada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya.

Nurcholish menekankan arti sekularisasi yang menunjukkan kenyataan bahwa kita sedang mengalami proses. Proses ini bagaimanapun membawa serta ilmu pengetahuan di dalamnya karena suatu perkembangan tidak ada tanpa ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sekularisasi tidak mengubah kaum Muslim sebagai sekuris. Jelas sekularisasi bagi Nurcholis Madjid adalah usaha untuk membebaskan. Dalam hal ini, orang bebas dari belenggu keirasionalan dalam berpolitik dan dalam melihat realitas yang mencampuradukkan begitu saja yang bersifat rohaniah dengan yang duniawi. 

Nurcholish Madjid menawarkan sekularisasi yang dimaksudkan untuk membedakan mana yang sungguh islami dan mana yang bukan. Terkait soal praktis, baginya, Islam tidak pernah mengharuskan apalagi menuntut pemeluknya untuk memiliki afiliasi politik yang paten. Bagaimanapun yang sungguh-sungguh membangun kehidupan bersama dan dipandang baik sekiranya didukung bahkan dianggap sebagai tuntutan islami.

Tantangan Pemikiran Sekularisasi Nurcholish Madjid

Salah satu tuduhan ketika pemikiran Nurcholis Madjid tentang sekularisasi muncul adalah bahwa ia sedang melegitimasi orde baru. Realitas saat pemikiran ini muncul memang sedang ada suatu penolakan terhadap suatu sistem besar di negara Indonesia yang berkuasa cukup lama. Salah satu indikasi yang terlihat dari sistem ini adalah pemutlakan kuasa negara dan kurang memperhatikan nilai agama bahkan etis. Jadi dalam memahami Nurcholish Madjid, rival pemikirannya yang berseberangan pada masa itu sangat dipengaruhi oleh sikap tergesa gesa karena ada sosial politik yang traumatik dengan rezim orde baru (6). 

Orang gagal paham dengan pemikiran Nurcholish Madjid tentang sekularisasi. Sekularisasi dalam konteks taktis, respon Nurcholis Madjid terhadap fenomena "politisasi" agama. Akan tetapi dalam pandangan pengkritiknya istilah sekularisasi sangat progresif sehingga banyak respon yang keras (7). Tidak dapat disangkal memang penyampaian dan mencuatnya istilah sekularisasi menjadi perdebatan yang cukup komprehensif di kalangan para mahasiswa Muslim di kampus dan para pemikir lainya. Orang-orang setidaknya berpandangan bahwa ada kesalahan berpikir tentang makna sekularisasi. Orang bahkan bisa mengatakan bahwa sekularisasi akan lebih cenderung kepada politeisme.

Berkaitan dengan istilah, sejatinya, sekularisasi sudah selalu menunjuk pada sekularisme, sekularisasi sebagai proses menuju sekularisme dan istilah ini pada dasarnya sangat kontroversial (8). Gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid memang tampaknya kontradiksi terutama karena cara meresponsnya yang tidak tepat, asimetris. Ide yang muncul sebaiknya dicermati, bukan langsung dimusuhi. Dapat dipahami juga karena momen penggunaan diksi sekularisasi Nurcholish Madjid memang bertepatan dengan trending topic ideology dunia dan situasi tidak kondusif di Indonesia.

Pemikiran Nurcholish Madjid oleh pengkritiknya disalahpahami sebagai proses westernisasi (9). Pendasaran rasionalisasi sebagai proses sistematis yang terjadi di Barat seolah-olah menjadi sesuatu yang tidak layak untuk dipakai di Indonesia. Pemikiran Nurcholish Madjid yang memang pada dasarnya rasionalisasi justru lebih dekat dengan muatan aplikatif Piagam Madinah untuk hidup dalam budaya inklusif. Pengkritiknya lupa bahwa rasionalisasi merupakan bagian integral dari manusia dan hal ini bukan hanya berlaku di Barat. Para pengkritiknya tidak secara jeli melihat bahwa pemikiran Nurcholish Madjid tentang sekularisasi sesungguhnya merupakan suatu pembangunan yang membebaskan dengan bersumber pada tradisi Islami juga.

Catatan Kaki

1. Larru Shiner, The Concept of Secularization in Empirical Research, Journal for the Scientific Study of Religion

Vol. 6, No. 2, Wiley, 1967, PDF, 207-220.

2. Budhy Munawar-Rachman, TENTANG MAKNA SEKULARISASI DAN SEKULARISME, artikel bahan KPII, Jakarta, 2021. Lih. Harvey Cox, The Secular City:  Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York:  Collier Books, 1965).

3. Budhy Munawar-Rachman, TENTANG MAKNA SEKULARISASI DAN SEKULARISME, artikel bahan KPII, Jakarta, 2021. Lih. Ira M. Lapidus, "The Separation of State and Religion in the Development of Early Islamic Society", International Journal of Middle East Studies 6 (4), October 1975, hal. 363-385.

4. Budhy Munawar-Rachman, CATATAN-CATATAN TENTANG SEKULARISASI CAK NUR, artikel bahan KPII, 2021, Jakarta, hal. 14.

5. Budhy Munawar-Rachman, ed., SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI, dalam Karya Lengkap Nurcholish Madjid-Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan, Nurcholish Madjid Society (NCMS): Jakarta Selatan, 2020, hal. 340.

6. Budhy Munawar-Rachman, CATATAN-CATATAN TENTANG SEKULARISASI CAK NUR, hal. 15.

7. Budhy Munawar-Rachman, CATATAN-CATATAN TENTANG SEKULARISASI CAK NUR, hal. 15.

8. Budhy Munawar-Rachman, ed., SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI, hal. 342.

9. Budhy Munawar-Rachman, CATATAN-CATATAN TENTANG SEKULARISASI CAK NUR, hal. 4.

Daftar Pustaka

Larru Shiner, Larru. The Concept of Secularization in Empirical Research. Dalam Journal for the Scientific Study of Religion Vol. 6, No. 2, Wiley, 1967. PDF.

Rachman, Budhy Munawar. TENTANG MAKNA SEKULARISASI DAN SEKULARISME. Artikel bahan KPII, Jakarta, 2021. PDF

Rachman, Budhy Munawar. Ed., SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI. Dalam dalam Karya Lengkap Nurcholish Madjid-Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan, Nurcholish Madjid Society (NCMS): Jakarta Selatan. 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun