Dalam salah satu webinar tentang Nurcholish Madjid, Budi Munawar, seorang Dosen Filsafat Islam dan Islamologi memperjelas tentang arti mendasar dari kata sekularisasi dalam pemikiran Nurcholish Madjid. Menurut Budi, pertama-tama perlu ditegaskan bahwa perlu membuat perbedaan prinsipil antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme adalah suatu paham yang tertutup, suatu sistem ideologi tersendiri dan lepas dari agama (1). Budi pun memperjelas, dari perspektif Islam misalnya, sekularisasi adalah perwujudan modern dari paham dahriyah, seperti diisyaratkan dalam al-Qur'an
    Sekularisasi yang dicanangkan Nurcholish Madjid sangat berbeda maknanya dan memiliki konteks kemunculan yang relevan tetapi sekaligus kontroversial tentunya pada masanya. Mengapa kemudian dikatakan relevan pada masanya karena kemudian Nurcholis Madjid akan mengusulkan untuk menggunakan istilah yang lebih dapat diterima seperti desakralisasi dan demitologisasi. Secara historis, tidak dapat dipungkiri, kata sekularisasi yang ditawarkan Nurcholish Madjid ada maksud tertentu dan memiliki pendasaran yang kuat. Kalau kita melihat gagasan pemikiran Nurcholish mengenai sekularisasi ini, ide sekularisasi, yang kemudian dimaksudkan sebagai "devaluasi" atau "demitologisasi" atas apa saja yang bertentangan dengan ide tawhd, yaitu pandangan yang paling asasi dalam Islam menyangkut ketuhanan, pada hakikat awalnya berkaitan dengan politik (2).
    Realitas ketika pemikiran sekularisasinya muncul, sedang marak and masifnya ketidakterpisahan atau tidak ada pemisahan yang jelas antara urusan agama yang bersifat ilahiah dan urusan politis yang sejatinya bersifat manusiawi belaka. Menunjuk pada kontek negara dan situasi politik dan sosial negara pada tahun 70-an, tampak jelas kata sekularisasi mendapat tempatnya. Dalam pemikiran Nurcholis Madjid, masalah integrasi umat sangat vital dan perlu sekali diupayakan pada saat itu. Nurcholis Madjid menggambarkan banyak persoalan yang sangat mendesak untuk dipecahkan dan secara khusus tentunya menyangkut integrasi umat.
    Dalam perjalanan sejarahnya, Islam Indonesia kadang-kadang tidak sanggup membedakan nilai yang disangkanya Islam dan sungguh-sungguh Islam. Setiap dimensi kehidupan orang Islam terdampak ketidakrasionalan yang diasumsikan rasional terkait mengkultuskan hal yang tidak seharusnya dan secara khusus dalam fenomena politik. Agama dipolitisasi dan digunakan sebagai penggerak massa, seolah-olah agama hanya sekadar alat bantu untuk kesuksesan orang tertentu. Partai politik bahkan ada yang diasumsikan oleh orang Islam sebagai partai agama atau paling tidak mewakili secara khusus agama Islam. Secara sederhana, realitas bobrok seperti inilah yang dialami dan dikhawatirkan oleh sosok Nurcholish Madjid.
     Apabila merujuk pada makna filosofis, kata sekularisasi tentunya menunjuk pada penerapan sekularisme. Dalam hal ini, arti sekularisasi adalah menganggap bahwa yang sungguh-sungguh penting adalah yang di dunia ini. Apa yang terjadi di dunia ini dan segala fenomena dan realitas serta segala sesuatunya hanya bernilai ketika berada di dunia ini. Sekularisasi dalam penerapan sekularisme tidak melirik dan menyentuh sama sekali apalagi mengaitkan satu hal pun dengan makna rohani. Dalam hal ini, tampak jelas bahwa pandangan ini sejatinya tidak cocok dengan pandangan agama. Akan tetapi sekularisasi yang terkait juga dengan rasionalisasi dalam pemikiran Nurcholis Madjid justru lebih dekat dengan muatan aplikatif untuk hidup dalam budaya inklusif.
    Nurcholis Madjid menggunakan kata sekularisasi ini lebih pada pengertian sosiologis. Dalam hal ini sebagai suatu bentuk proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan kepada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya (3). Dengan demikian tidak dapat ditarik kesimpulan lurus bahwa sekularisasi menuju ke sekularisme. Kata sekularisasi ditekankan oleh Nurcholish Madjid yang sifatnya sosiologis, kita sedang mengalami proses, suatu perkembangan yang didalamnya ada ilmu pengetahuan karena suatu perkembangan tidak ada tanpa ilmu pengetahuan. Sekularisasi tidak mengubah kaum Muslim sebagai sekuris atau yang menganggap bahwa hidup ini hanyalah di dunia ini.
    Menurut Nurcholis Madjid, sekularisasi adalah usaha untuk membebaskan. Pembebasan yang dimaksudkan Nurcholish Madjid adalah bebas dari belenggu keirasionalan dalam berpolitik dan dalam melihat realitas yang mencampuradukan begitu saja yang bersifat duniawi dengan yang bersifat rohaniah. Ada konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi, sebab, inti sekularisasi ialah pecahkan dan pahami masalah-masalah duniawi ini, dengan mengerahkan kecerdasan atau rasio. Sekularisasi yang ditawarkan oleh Nurcholish Madjid dimaksudkan untuk membedakan mana yang sungguh islami dan mana yang bukan. Dalam hal praktis, menurut Nurcholish Madjid soal memilih negara tidak ada kaitannya dengan agama. Islam tidak pernah mengharuskan apalagi menuntut pemeluknya untuk memiliki afiliasi politik yang paten dan wajib. Sejatinya, apa yang sungguh-sungguh membangun kehidupan bersama dan dipandang baik sekiranya didukung secara setara sekaligus tanpa mengaitkannya secara mutlak sebagai tuntutan Islam.
Catatan Kaki
1. Budhy Munawar-Rachman, ed., SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI, dalam Karya Lengkap Nurcholish Madjid-Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan, Nurcholish Madjid Society (NCMS): Jakarta Selatan, 2020, hal. 339.
2. Budhy Munawar-Rachman, CATATAN-CATATAN TENTANG SEKULARISASI CAK NUR, artikel bahan KPII, 2021, Jakarta, hal. 14.
3. Budhy Munawar-Rachman, ed., SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI, hal. 340.
Sumber
     Rachman, Budhy Munawar. Ed., SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI. Dalam dalam Karya Lengkap Nurcholish Madjid-Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan, Nurcholish Madjid Society (NCMS): Jakarta Selatan. 2020.
     Rachman, Budhy Munawar. CATATAN-CATATAN TENTANG SEKULARISASI CAK NUR. Dalam artikel bahan KPII. Jakarta. 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H