Sebagai psikolog klinis banyak  pelajaran yang bisa diambil dari para kolega yang datang. Mereka datang dengan berbagai problem yang telah disimpan lama.  Bahkan ada yang sudah bertahun-tahun  membebani dan menganggu kesehatan tubuhnya. Ada yang tidak berani membagikannya pada orang lain. Ada yang sudah berusaha sharing namun  belum menemukan jalan keluar  yang solutif. Tidak jarang ada yang tidak merasa bahwa problem yang dirasakan sebagai sumber ketidaknyamannya.
Seperti kasus yang datang di ruang praktik siang itu:
Pasutri yang sedang menunggu untuk dilayani dengan tampilan tubuh yang gagah, fisik kuat dan terlihat penuh percaya diri. Si wanita dengan tubuh yang terlihat kuat , tinggi besar dan busana yang rapi serasi masuk ke ruang konsultasi.  Wajahnya terlihat galau, bingung mengawali cerita. Ternyata beliau sudah beberapa minggu mengkonsumsi obat dari psikiater karena sulit tidur. Saat itulah awal mula beliau menceritakan permasalahannya pada profesional. Namun hanya beberapa hari obat membantu mengurangi keluhannya. Beberapa hari terakhir keluhan utama muncul lagi dan S merasa tersiksa dengan keadaannya. Bahkan sudah mengganggu aktifitasnya sebagai ASN dan sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Hal ini mendorong S untuk bertemu lagi dengan psikiater. Selanjutnya Psikiater  merujuk untuk konsultasi dengan psikolog klinis, yang ada di rumah sakit tersebut.
Berawal dari masalah fisik yang dialami S beberapa bulan lalu dalam bentuk gangguan telinga yang mendenging. Setelah berobat ke dokter spesialis diberi obat kemudian sembuh. Namun beberapa hari muncul lagi dengingan di telinga dan obat yang diberikan oleh dokter kurang bekerja dengan baik. Mulai muncul pikiran buruk tentang gangguannya dan mengakibatkan tidak tenang, sulit berfikir, tidak fokus dalam bekerja, Â dan sulit tidur. Â Akhirnya pindah ke dokter lain dan sembuh masalah fisiknya, namun tidak dengan gangguan mentalnya. Â S mulai mengalami gangguan psikologis dengan simptom utama stres dan sulit tidur. Â
Perasaan bersalah yang begitu besar menjadi sumber gangguan psikologisnya saat ini. Ia  merasa tidak mungkin menceritakan masalah yang sesungguhnya pada orang lain. Namun ia sudah bercerita dengan penuh kejujuran pada suami yang dicintainya. Dengan kedewasaan dan kesabarannya suami tidak marah dan mau memaafkan. Justru dengan sikap suami yang memaafkan dan tetap tenang, timbul rasa bersalah yang semakin dalam. Hal itu mempengaruhi keseimbangan mental emosionalnya dan  kesehatan fisiknya. Â
Sesungguhnya S merupakan pribadi yang  ceria, supel dan banyak relasi. Kehidupan rumah tangganya juga cukup ideal,  bahkan menjadi panutan beberapa teman kerjanya. Rumah tangganya bisa dibilang berkecukupan dan tidak ada konflik. Â
Sebagai wanita karier yang cukup sukses Ia membutuhkan tempat  berbagi yang nyaman  saat di rumah. Namun Ia tidak mendapatkan tempat nyaman seperti yang diinginkan. Suaminya bukan tipe orang yang mau mendengarkan dengan sabar. Bukan tipe suami romantis. Suami cenderung "cuek bebek", menganggap semua berjalan baik-baik saja. Karena segala kebutuhan dalam rumah terpenuhi dan suasana rumah terbilang kondusif. Masing-masing anggota keluarga mengerjakan tugas dan kewajibannya dengan semestinya tanpa komando suami. Istri juga mandiri mengerjakan hampir semua tugas dan kewajibannya, tidak pernah merepotkan. Ternyata dibalik kemandirian dan kekuatannya sebagai istri dia tetap seorang wanita yang memiliki kelemahan.  Wanita  yang butuh  untuk dilindungi, didengarkan keluh kesahnya, butuh tempat bersandar yang nyaman saat lelah, butuh dimanja dan dipuji serta diperhatikan.
Melalui proses konseling yang terbilang lama, Â dibimbing mencari sumber permasalahan yang menyebabkan munculnya gangguan. Selanjutnya belajar memaknai setiap permasalah yang dialami dari sudut pandang yang berbeda. Diingatkan dan dibimbing untuk menjalani hidup secara maindful, menyadari sepenuhnya apa yang dilakukan dan dijalani saat ini. Menikmati dan mensyukuri hari ini. Tanpa memikirkan yang telah terjadi dan mencemaskan hari esok.
Kunjungan berikutnya selang satu minggu kemudian  terlihat perubahan yang besar. Wajahnya terlihat sumringah, lebih semangat dan dengan penampilan yang rapi serasi. 'terimakasih buk".. dengan senyum lebar, itu kata pertama yang terucap. Ia bercerita panjang lebar tentang proses dan perbaikan terapi yang dirasa. Tidak serta merta setelah keluar dari ruang konseling masalah selesai tentu saja.  Â
Kita tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Selalu ada kesalahan yang diperbuatnya, baik terhadap diri sendiri dan orang lain. Ketika kita berbuat salah maka akan ada objek yang menjadi korban. Seringkali menimbulkan rasa sakit dan menumbuhkan rasa dendam dari orang yang tersakiti. Sedang kesalahan terhadap diri sendiri sering tidak disadari menimbulkan gangguan didalam tubuh dan alam perasaan manusia. Meminta maaf adalah perkara yang tidak mudah. Memberi maaf pun seringkali sangat berat dilakukan. Padahal meminta dan memberi maaf merupakan dua hal yang dapat membebaskan kita emosi negatif untuk meraih hal-hal positif dalam kehidupan.
Seperti pada kasus diatas, bahwa sebetulnya S belum bisa atau belum mau memaafkan kesalahan-kesalahan yang sudah diperbuatnya beberapa tahun yang lalu. Pada saat  teringat peristiwa memalukan di masa lalunya akan muncul rasa cemas, dada berdebar, kaki sangat lemas, mual, kepala berat dan berkunang-kunang serta seperti mau pingsan. Derita ini ditanggung sendiri selama beberapa lama. Sampai pada suatu waktu suami paham bahwa pasti ada yang telah dilakukan oleh istrinya tanpa sepengetahuannya. Suami minta istri bercerita dengan sejujurnya apa yang telah disembunyikannya. Setelah berani bercerita gangguan yang dialaminya  berkurang banyak namun belum sepenuhnya. Masih ada perasaan  tidak nyaman yang mengganggu dan tak bisa berfiikir seperti biasanya. Pikirannya blank, ruwet, tidurnya juga bermasalah. Cuti sakit adalah jalan keluar untuk menjauh dari pekerjaan yang juga menjadi pemicu dan sumber permasalahan yang dialaminya.
Saya  bingung, gak bisa mikir dan tadi disarankan kesini oleh dokter....
Melalui proses yang cukup panjang dan mengalir, dibarengi dengan pertanyaan-pertanyaan yang membimbing dari psikolog terjadi proses teraputik. Katarsis atau mengungkapkan perasaan yang bersifat emosional merupakan salah satu proses penyembuhan. Psikolog mengarahkan pasien untuk mengeluarkan sumbatan-sumbatan emosinya. Bersama-sama mencari  dan menemukan sumber kecemasan dan rasa tertekan. Mulai menyadari adanya ketidaksinkronan dalam proses memaknai suatu peristiwa sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman.
Meski sudah dimaafkan namun secara tidak disadari S masih selalu menyalahkan diri sendiri. Mengapa dulu bertindak sebodoh itu, hanya mengejar kesenangan diri sendiri, egois dan merendahkan suami. Ia merasa arogan dan sombong. Penyesalan selalu berada di akhir. Bahkan bila teringat peristiwa masa lalu selalu mengganggu kesehatannya fisik dan mentalnya. Support dari suami tidak cukup membantu menenangkan hatinya.Â
Tiada gading yang tak retak.  Tidak ada manusia yang sempurna. Selalu saja ada kesalahan yang diperbuatnya. Akibatnya terkadang kita selalu dihantui oleh rasa bersalah dan merasa tertekan akibat perbuatan yang telah  dilakukan. Kunci utama kesembuhannya sejatinya ada pada diri sendiri. Belajar menerima dan memaafkan diri.  Itu juga yang sudah diucapkan suami berkali-kali.
Merujuk pada kitab suci Al Quran yang menyatakan bahwa tidak ada satu pun di alam ini yang terjadi secara kebetulan, Allah mengatur semua urusan (makhluk-Nya).  Dalam ayat lain dikatakan, " dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Allah mengetahuinya (pula)....".  Jelas bahwa semua kejadian yang menimpa mahluk  terjadi atas ijinNya.  Dan yang terjadi atas ijinNya pastilah yang terbaik untuk mahluk. Tinggal kita bagaimana menerima dan menjalaninya. Kalimat super  tersebut yang diberikan menutup sesi konseling pertama. Untuk bahan perenungan, menuju sesi konseling berikutnya.   Â
Pada sesi kedua sepekan kemudian  berceritalah S dengan semangat dan penuh syukur. "Alhamdulillah...Terimakasi" itu kata pertama yang terucap. Butuh proses dan waktu untuk bisa sampai pada kondisi seperti ini. beberapa hari sebelumnya kondisi psikologisnya masih sempat "up and down". Padahal Suami sudah memenuhi semua yang diinginkan, mendampingi dan memperbaiki sikap yang selama ini ternyata mengecewakan. Juga selalu mengingatkan untuk memaafkan diri sendiri. Sampai pada suatu saat teringat pada kata "bahkan selembar daun yang jatuhpun terjadi atas ijin Allah" dan memaafkan diri sendiri. Dua kalimat itu yang menjadi kunci pembuka hati dan pikirannya menjadi lebih baik. Dengan sungguh-sungguh S dengan iklas  memohon untuk dapat memaafkan dirinya sendiri. Dan apa yang terjadi...? Ia merasa sangat lega, fikirannya mulai pulih, tumbuh kesadaran baru demikian juga dengan semangatnya. Seperti menjadi manusia baru...mulai menyadari dan bertanya "lantas kemana saya selama ini bu....." Â
Mengapa memaafkan diri sendiri sangat penting ?
Memaafkan diri sendiri berarti mengakui kesalahan yang pernah kita lakukan. Menerima kesalahan dimasalalu dan memberi kesempatan diri sendiri belajar dari kesalahan tersebut. Selanjutkan mengijinkan diri memperbaiki dan memulai lembaran baru, menghargai dan mencintai diri apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian emosi negatif yang muncul akibat kesalahan masa lalu menjadi netral dan muncul emosi positif, sehingga berpengaruh lebih luas pada kesejahteraan jasmani dan rohani seseorang. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa sikap memaafkan sangat berpengaruh terhadap kesehatan seseorang, bahkan pada sistem kekebalan tubuh. Meskipun terasa berat, memaafkan terasa sangat membahagiakan, membantu orang menikmati hidup dengan sehat dan nyaman. Dan yang utama memaafkan merupakan akhlak terpuji yang sangat banyak manfaatnya untuk kesehatan dan kedamaian dunia.
Jadi...memaafkan...? mengapa tidak...
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H