Setiap menjelang pemilihan anggota legislatif, baik untuk pusat, provinsi, ataupun kabupaten kota, mendadak kondisi jalanan "renceum" dengan banyaknya spanduk, poster, stiker dan seperangkat "peralatan perang" lainnya yang menjadi amunisi para caleg.
Belum lagi mendadak banyak posko-posko "gak jelas" yang "katanya" itu posko "relawan" dalam rangka mensukseskan caleg yang diusungnya.
Kalau saya perhatikan, kasihan amat ya para caleg ini. Terkadang "perang" belum dimulai tapi belum apa-apa sudah harus keluar dana yang cukup besar hanya untuk "mengikuti pola kampanye" yang menurut saya hanya buang-buang uang saja.
Beberapa waktu yang lalu, ada beberapa lembaga yang mencoba menghitung pengeluaran atau jumlah uang yang harus disiapkan seorang calon anggota dewan. Malah ada yang tampak seperti jual beli barang.. Dimana terdapat paket-paket yang tersedia (yang diadakan oleh kelompok "tim sukses") untuk para caleg ini agar bisa menyesuaikan kebutuhan dengan isi dompet mereka, seperti dengan adanya yang disebut paket aman, paket hemat, bahkan paket nekat.
Ini lucu.. Karena pada saat seseorang dengan idealismenya yang mungkin bisa melakukan perubahan di gedung dewan, pada akhirnya harus mengelus dada dan mengurungkan niatnya itu karena terbentur pada yang namanya biaya.
Seperti yang kita tahu, pada saat pendaftaran caleg, biasanya ada beberapa formulir yang harus diisi oleh mereka, yang mana salah satu poinnya adalah menanyakan tentang seberapa besar jumlah harta kekayaan yang mereka miliki. Tentu selain visi misi dan segala pertanyaan formalitas lainnya, yang paling ditunggu dan diminati oleh para partai politik saat ini adalah bagian "keuangannya" itu. Â Lalu ada juga poin pertanyaan yang menanyakan estimasi jumlah massa atau suara para caleg itu di daerah pemilihan yang dipilihnya. Sepertinya dua hal itu menjadi sangat penting sekali.
Untuk pembuktiannya, pada saat daftar caleg itu ditetapkan oleh KPU, maka para caleg ini diwajibkan membayar sejumlah uang ke partai. Belum lagi kalau partai mengadakan acara, seperti misalnya dalam pilkada yang berlangsung beberapa bulan yang lalu, dimana partai yang menaungi caleg ini berkoalisi dengan partai lain atau malah tidak berkoalisi sama sekali, Â maka tampak seperti perjanjian tak tertulis dimana partai pun mengharapkan suntikan dana dari mereka (para caleg dan kandidat pilkada). Dan para caleg ini pun seperti tak bisa berkelit karena takut nama mereka dicoret dari daftar caleg.
Jadi...sepertinya, partai politik sekarang bukan mencetak para wakil rakyat yang idealis, tapi mencetak para wakil rakyat yang banyak uang dan "bodoh", dalam artian bisa disetir oleh penguasa partai. Contoh.. Ketika ada caleg yang secara materi disebut "pas-pasan" tapi secara pemikiran memiliki idealisme yang tinggi, lalu di sisi yang lain ada caleg yang secara materi disebut "kaya" namun dia tidak memiliki idealisme yang dapat membantu perubahan dalam pembangunan masyarakat, biasanya partai politik ini malah meloloskan caleg yang kedua ini. Dan hal ini hampir terjadi di semua partai politik yang ada. Hingga akhirnya tidak heran ketika di gedung dewan yang terhormat itu banyak "wakil rakyat" yang tidak jelas bagaimana merealisasikan idealismenya dalam mensejahterakan rakyat. Karena yang mereka tahu hanyalah "mereka harus mengikuti peraturan partai dan harus mengikuti keinginan penguasa partainya."
Para partai politik ini pun tak segan "mengundang" para artis untuk didaftarkan sebagai caleg dari partai mereka dengan harapan nama besar artis ini dapat dijadikan ajang "pembesaran" nama partai juga sebagai penambahan jumlah suara partai mereka.
Dan juga tak segan mengundang para pengusaha ataupun tokoh masyarakat yang kaya untuk masuk ke dalam daftar caleg dari partai juga dengan harapan bisa mendapatkan "suntikan dana" dari mereka.
Padahal, menurut saya, yang seharusnya partai politik ini usung, bukanlah artis yang hanya punya nama besar atau pengusaha yang kaya saja (tanpa kualitas yang jelas), melainkan orang-orang yang memang berkompeten atau memiliki kualitas untuk duduk di kursi dewan, alangkah lebih baiknya lagi apabila caleg yang diloloskan dari partai tersebut adalah orang yang memang diusung juga oleh masyarakat.
Misal, ketika dari satu kecamatan ada satu perwakilan yang diusung oleh masyarakat, maka inilah yang harus diperhatikan betul oleh parpol terlepas secara materi orang ini punya uang atau tidak.
Parpol juga seharusnya memiliki dan juga benar-benar mencermati rekam jejak seseorang yang akan masuk ke daftar caleg dari partainya ini. Jadi tidak sembarang orang yang bisa lolos ke daftar caleg. Pertimbangannya, apakah orang ini memang "layak" untuk dijadikan penyambung lidah rakyat atau tidak..? Bukan pertimbangan "apakah orang ini mampu secara materi atau tidak?"
Karena menurut saya, apabila caleg ini memang diusung atau didukung oleh masyarakatnya, tentu materi adalah menjadi hal yang kesekian.
Masyarakat kita sudah lelah, jenuh dengan pola partai politik yang selalu mengusung orang yang kebanyakan tidak mereka kenal, lalu para tim suksesnya ini bermulut manis, menggombal bahwa di tangan caleg yang diusungnya ini kesejahteraan masyarakat akan sedikit terpenuhi.
Masyarakat lelah, jenuh atas kebohongan-kebohongan yang selalu dilakukan para calegnya ini, manakala mereka terpilih menjadi anggota legislatif, maka usai pulalah "tugas" mereka cukup sampai disitu. Seolah mereka lupa pada janji-janji politiknya yang sempat sangat manis terdengar dan selalu diingat oleh masyarakat. Dan hal itu selalu berulang setiap 5 tahun sekali. Hingga tak heran apabila dalam pilkada atau pileg banyak masyarakat yang enggan menggunakan hak pilihnya.
#Korupsi para anggota dewan
Setelah banyak media yang mengumbar kebobrokan moral beberapa anggota dewan, ada tanda tanya besar yang menggelitik pikiran saya. Bukankah mereka cukup kaya sewaktu mendaftar jadi caleg, lantas kenapa harus korupsi segala..?
Ternyata selain dari mental mereka yang (memang) kurang kuat dalam menghadapi perubahan "status", peran partainya pun sangat memegang peranan yang cukup tinggi.
Misalnya, ketika para caleg ini lolos menjadi anggota dewan, para parpol ini seolah menggantungkan "hidupnya" dari para anggota dewannya. Memang merupakan hal yang wajar, namun menjadi kesalahan besar manakala para anggota dewan ini tampak dijadikan "mesin atm" ataupun "sapi perah" atau apapun istilahnya oleh partainya ini.
Misalnya lagi, setiap bulannya para anggota dewan ini tentu membayar sejumlah uang sekian persen dari gajinya untuk disumbangkan ke kas partai. Tapi, tiap kali partai mengadakan acara pun, secara materi biasanya partai akan melimpahkannya lagi ke para anggota dewannya.
Belum lagi tuntutan masyarakat yang merasa seolah "uang dewan adalah uang rakyat", mulai dari masyarakat yang tidak bisa pulang ke rumah karena kehabisan ongkos, masyarakat yang akan mengadakan bakti sosial dan mengharapkan sumbangan yang cukup besar dari dewan, masyarakat yang ingin mengadakan "hajatan" untuk anaknya, hingga masyarakat yang tak bisa pulang dari rumah sakit karena kekurangan biaya, ini semua dilimpahkan ke tangan anggota dewan, seolah menjadi tanggungan dewan, seolah dewan pun bertanggung jawab sepenuhnya atas hidup masyarakat.
Lantas.. Bila tak dapat terpenuhi maka para anggota dewan ini harus siap terancam PAW dari partainya dan juga terancam "demo" dari masyarakatnya. Walaupun "selamat" di masa "kontraknya" yang lima tahun, jangan harap periode berikutnya masyarakat masih mau untuk memilihnya.
Hal-hal semacam itu, ditambah godaan dari "internal" juga lah yang terkadang membuat seorang dewan yang "tadinya" bermoral berubah menjadi "khilaf" katanya, dengan mulai menerima "sumbangan" dari pengusaha atau oknum dinas yang merasa punya kepentingan dalam perencanaan anggaran . Hingga, karena tekanan-tekanan dari partai dan juga masyarakat itulah yang membuat akhirnya si dewan ini dengan "agak terpaksa" melakukan hal-hal yang sebenarnya dia sadari perbuatannya itu salah.
Untuk yang memang sengaja mengejar "harta" dan "kenikmatan" dari menjadi seorang dewan, tentu momen-momen seperti itu tidak akan dia lewatkan begitu saja. Dengan mudahnya melakukan berbagai kesepakatan dengan berbagai pihak yang berkepentingan, lantas memperkaya diri hingga lupa pada tugas utamanya, ketika menyadari uang yang diterimanya dapat berakibat pencopotan jabatannya, maka biasanya tak segan dia membagikan uang hasil "kesepakatannya" itu kepada partai, ataupun anggota dewan yang lain. Sehingga apabila "proyek" hasil "kesepakatannya" itu bermasalah, maka bukan hanya dia yang terlibat, tapi juga melibatkan partai dan juga anggota dewan yang lainnya.
Mungkin itulah sebabnya ada istilah "korupsi berjamaah", karena si pelaku tidak ingin disalahkan seorang diri dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
Saya bukan melakukan pembelaan untuk seorang anggota dewan yang korupsi, tapi saya yakin, selain memang ada niat dan kesempatan untuk melakukannya, tentu ada faktor lain yang mendorong seorang anggota dewan ini dengan "sadar" melakukan tindakan yang melanggar moralnya sebagai seorang "wakil rakyat".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H