Hal-hal semacam itu, ditambah godaan dari "internal" juga lah yang terkadang membuat seorang dewan yang "tadinya" bermoral berubah menjadi "khilaf" katanya, dengan mulai menerima "sumbangan" dari pengusaha atau oknum dinas yang merasa punya kepentingan dalam perencanaan anggaran . Hingga, karena tekanan-tekanan dari partai dan juga masyarakat itulah yang membuat akhirnya si dewan ini dengan "agak terpaksa" melakukan hal-hal yang sebenarnya dia sadari perbuatannya itu salah.
Untuk yang memang sengaja mengejar "harta" dan "kenikmatan" dari menjadi seorang dewan, tentu momen-momen seperti itu tidak akan dia lewatkan begitu saja. Dengan mudahnya melakukan berbagai kesepakatan dengan berbagai pihak yang berkepentingan, lantas memperkaya diri hingga lupa pada tugas utamanya, ketika menyadari uang yang diterimanya dapat berakibat pencopotan jabatannya, maka biasanya tak segan dia membagikan uang hasil "kesepakatannya" itu kepada partai, ataupun anggota dewan yang lain. Sehingga apabila "proyek" hasil "kesepakatannya" itu bermasalah, maka bukan hanya dia yang terlibat, tapi juga melibatkan partai dan juga anggota dewan yang lainnya.
Mungkin itulah sebabnya ada istilah "korupsi berjamaah", karena si pelaku tidak ingin disalahkan seorang diri dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
Saya bukan melakukan pembelaan untuk seorang anggota dewan yang korupsi, tapi saya yakin, selain memang ada niat dan kesempatan untuk melakukannya, tentu ada faktor lain yang mendorong seorang anggota dewan ini dengan "sadar" melakukan tindakan yang melanggar moralnya sebagai seorang "wakil rakyat".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H