Mohon tunggu...
Sabatina Wijaya
Sabatina Wijaya Mohon Tunggu... -

love photography. adore cooking. traveling. snail mail pen pal writing. love cultures & languages.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jakarta : Miniatur Indonesia

1 Juli 2012   16:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:22 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap mendengar kata “Jakarta” yang terbenak dalam bayang saya adalah kemacetan, udara yang panas, ramai, dan kota yang tidak pernah tidur. Namun, saya sudah berkali-kali ke kota ini dengan tujuan wisata. Sekalipun banyak kemacetan, kota ini selalu menyimpan cerita yang selalu menarik untuk disimak.

Dalam acara traveling ke Jakarta bersama teman-teman SMA saya, kami memilih bajaj sebagai angkutan kami dan untuk menghemat biaya, maka kami yang berjumlah 5 orang menaiki satu bajaj! Riskan ya mendengarnya, walaupun sudah sering terjadi angkutan umum kepenuhan penumpang. Untungnya kami selamat sampai tujuan dan ternyata tidak murah juga ya, untuk jarak dekat saja kena cas dua puluh ribu rupiah. Setelah kami memberikan uang ia berkata, “Makasih,” dengan logat medoknya yang cukup kental. Kami sampai di museum Fatahillah. Museum yang merupakan sisa peninggalan Belanda ini menyajikan sejarah kota Jakarta sejak purbakala, jaman kolonial Belanda, hingga saat ini. Begitu pun terdapat sebuah pajangan yang menceritakan bagaimana terbentuknya masyarakat Betawi yang ternyata merupakan perpaduan beberapa etnis seperti Ambon, Sunda, Jawa, dan lain-lain. Bahkan tidak hanya suku yang berada di Indonesia, Cina, Arab, India pun termasuk dalam perpaduan tersebut. Di kala itu pula, sebuah festival digelar di halaman museum dengan menampilkan ondel-ondel sebagai tarian khas Betawi. Tidak lupa kami mengunjungi Museum Wayang yang terletak di sekitar kota tua, yang sebagian wayangnya berasal dari tanah Jawa.

Di lain kesempatan, setelah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dan kemudian memilih taksi untuk menuju ke penginapan. Seperti biasa, jam pulang kerja, kendaraan memenuhi jalan protokol, pedagang asongan di lampu merah, dan lampu-lampu mall yang nyentrik. Saya pun selalu keep attention dengan rumah makan setempat. Sepertinya kuliner di Jakarta sangat mewakili Indonesia. Semuanya ada. Kuliner khas Makassar, Palembang, Batak, Sunda, Jogjakarta, Bali, Manado, dan lain-lain. Mungkin sedikit berbeda dengan Solo, yang jarang sekali ditemui restoran Padang.

Sepanjang perjalanan, supir taksi tersebut juga sempat bertanya-tanya dan sedikit cerita pada saya tentang suka dukanya selama bekerja di Jakarta. Ternyata ia bukan berasal dari Jakarta. Sebentar saya melihat namanya pada dashboard taksi, tersemat nama yang berasal dari bagian timur Indonesia.“Bosen juga setiap hari macet kaya gini. Kepingin pulang, tapi gaji di sini lebih besar.”

Setelah sampai, saya mengunjungi restoran Padang sejenak, untuk memperkenalkan makanan terenak di Indonesia kepada kedua teman saya yang berasal dari Korea Selatan. Saya memang sengaja ajak ke Jakarta karena mereka harus mengetahui seperti apa ibu kota Indonesia itu. Saya merekomendasikan rendang sebagai makanan yang paling terkenal khas Padang. Katanya, “It’s really delicious, but why is it so spicy?” sambil berkali-kali meminum air putih dengan nafas terengah-engah. Ternyata pedasnya makanan Indonesia memang juara, ya.

Setelah beberapa kali berganti nama yang akhirnya menjadi “Jakarta”, kota ini terus menjadi tumpuan bagi banyak orang. Di sini kita dapat menemukan sebuah kota yang plural, yang mencerminkan Indonesia dan dengan adanya berbagai suku, berbagai bahasa yang berbeda-beda, budaya yang beragam dari seluruh Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun