Kami berdiri berdampingan seperti pasangan merpati yang sedang jatuh cinta. Mungkin ini saatnya aku menyatakan sesuatu dan membawakan menantu untuk ayahku.
***
Jakarta masih senja, kemilau lampu-lampu kota menghias seluruh jajaran gedung yang menjulang tinggi. Aku masih menunggu Callista di mobil, hendak mengantarnya kembali pulang.
"Maaf membuatmu menunggu, sayang," kata Callista sambil membuka pintu mobil.
Ia menjatuhkan ciuman di bibirku, seperti biasa.
"So, kita bisa pulang sekarang," kataku tersenyum.
Sudah lama kami menjalin hubungan asmara. Aku yakin bahwa Callista adalah perempuan yang tepat untuk menjadi pendamping hidupku sekaligus menantu ayahku. Semenjak kami dipasangkan menjadi rekan kerja dalam bidang yang sama, aku sudah merasakan kenyamanan bersamanya. Kuharap ia juga demikian saat itu.
Jalanan kota Jakarta padat merayap, aku berusaha melalui jalan tikus untuk menghindari kemacetan namun sama saja. Perjalanan kami sedikit terhambat sehingga kami tiba di rumah Callista hampir pukul sebelas malam.
"Berhati-hatilah, jaga dirimu baik-baik," kata Callista setelah memberikan ciuman selamat tinggal.
"Sampai jumpa besok pagi," aku memacu mobilku dan menghilang di tengah kegelapan.
Begitulah yang kami lakukan selama kurang lebih lima tahun, pagi kujemput dia lalu malamnya kuantarkan pulang kembali ke rumah. Apabila Callista kerja lembur, aku menunggunya di atap sambil menikmati indahnya kota Jakarta. Begitu pula sebaliknya. Dengan secangkir kopi yang selalu menemani, kadang aku juga memainkan senandung nada dengan gitar yang belum lama kubeli. Callista suka dengan permainan musikku, kadang dia menyuruhku memainkan sebuah tembang kenangan sebelum kami beranjak meninggalkan atap.