Mohon tunggu...
Raditya Andreas
Raditya Andreas Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Bernyanyi di Kamar Mandi [Eps2]

27 Maret 2017   19:11 Diperbarui: 28 Maret 2017   04:00 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[Episode 2]

            Pagi sekali Teja pergi ke ladang, ia memastikan hasil panennya tidak diambil oleh orang-orang Belanda. Teja tidak sendiri, ia ditemani oleh Husin, teman sebayanya.

            “Tej, kamu kemarin pergi ke kamar mandi?” tanya Husin.

            “Iya, setiap hari aku ke sana, Sin, mengapa bertanya demikian?”

            Teja mengambil cangkul, mencampakannya pada tanah gembur yang ditanami singkong.

            “Tidakkah kau tahu tentang Isna?”

            “Ehm...aku tahu, mengapa?”

            Husin tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia hanya menengok ke arah datangnya sinar matahari. Teja yang merasakan keambiguan Husin hanya menggerutu singkat, memainkan alisnya sejenak yang menandai bahwa ia tidak mengerti arah tujuan pertanyaan Husin. Husin duduk di gubuk, dengan alas tikar seadanya ia mulai merebahkan diri. Sementara Teja masih berusaha mengambil beberapa singkong untuk dibawa pulang sebelum nanti diambil orang Belanda.

            Matahari semakin cerah, embun-embun mulai mengalah dan perlahan menguap lalu hilang. Husin begitu menikmati suasana cerah pagi ini, ia hanya berbaring. Tidak tertidur. Ia sedang melamunkan sesuatu, atau mungkin seseorang. Teja yang masih giat dengan cangkulnya, penasaran dengan pertanyaan Husin tentang Isna, ia membuka percakapan.

            “Isna itu suaranya bagus, enak didengar,” kata Teja kalem.

            “Lalu?”

Randu, 14 Maret 1944

            Pekarangan yang kini diduduki sebagai markas perang Belanda tidak bisa dipakai untuk bercocok tanam. Terpaksa Isna harus mencari ladang yang gembur untuk menanam singkong. Kebetulan ayah Husin, Toha, sangat dekat dengan Ratri sehingga memperbolehkan Isna menanam benih singkong di ladangnya. Saat itu, Husin sedang beristirahat di gubug yang berada di sudut ladang. Ia melihat Isna sedang menanam beberapa benih singkong.

            “Hei kamu, sedang apa kau di sini?” hentak Husin.

            “Punten kang, saya hendak menanam benih di sini,” jawab Isna sedikit takut.

            “Kamu tidak tahu ladang ini milik siapa?”

            “Milik pak Toha, kang,” jawab Isna,”Lalu akang pasti anaknya, kan? Saya sudah mendapat izin dari pak Toha supaya boleh menanam benih singkong di sini karena pekarangan milik ayah saya sudah tidak subur. Dipakai sama orang-orang Belanda itu,” jelas Isna.

            Husin yang malu segera mengubah tingkah. Ia sadar tidak semestinya memperlakukan perempuan secara kasar, apalagi perempuan itu adalah Isna, seorang cantik dengan suara merdu.

Hari demi hari berlalu, Isna dan Husin sering bertemu di ladang yang sama. Mereka semakin akrab satu sama lain. Kedekatan itu membuat Husin menyimpan rasa suka dengan Isna. Namun, ia enggan mengungkapkan karena merasa bahwa Isna lebih pantas bahagia dengan laki-laki lain, seperti laki-laki Belanda.

            “Sudah sore, waktunya saya pulang kang Husin,” kata Isna pamit.

            “Eh, jangan panggil akang deh, panggil saja Husin, kita kan sebaya,”

            Isna tersenyum lalu mengangguk sebelum akhirnya berlalu dari pandangan Husin. Merasa cemas dengan Isna, Husin diam-diam membuntuti Isna di perjalanan. Husin takut apabila Isna digoda oleh orang-orang Belanda yang berhidung belang. Sesekali Husin melihat Isna berpapasan dengan orang-orang bersenjata itu, namun tidak kena goda oleh mereka. Kadang Husin mengira bahwa semua orang Belanda itu brengsek, tapi sering ia lebih berargumen bahwa orang Belandalah yang pantas mendapatkan Isna.

            Isna tiba di rumah, ia segera mempersiapkan diri untuk berangkat mandi. Seperti biasa, ia mandi di kamar mandi umum tengah kampung. Selama perjalanan, ia tidak menyadari kehadiran Husin yang membuntutinya. Langkahnya semakin cepat ketika ia sudah hampir sampai tujuan.

            “Hah? Teja? Sedang apa dia di sini?” kata Husin dalam hati. Ia bersembunyi di balik pepohonan supaya tidak diketahui oleh Isna dan Teja yang sedang bertemu. Teja sudah selesai mandi, hendak balik ke rumah, sedangkan Isna baru akan masuk.

            Tidak lama setelah Isna menutup pintu kamar mandi, Teja berpaling. Ia melangkahkan kaki kembali ke kamar mandi. Duduk di depan pintu sambil mendengarkan nyanyian yang dilantunkan oleh Isna. Sementara itu, Husin kembali pulang.  

***

            “Suara Isna sangatlah merdu, membuat hati ini nyaman, Sin,” jelas Teja,”Jika kamu suka sama Isna, jangan tunggu orang Belanda mendapatkannya,”

            Husin terdiam lagi, ia terhempas oleh perkataan Teja.

            “Apa benar saya bisa mendapatkan hati Isna?” tanya Husin dalam hatinya.

            Sementara Teja juga terdiam, menunggu tanggapan dari Husin. Perasaan Teja tidak bisa berkata bohong, namun ia tidak ingin Husin tahu bahwa ia juga suka dengan Isna meskipun hanya bercerita bahwa Teja suka dengan nyanyian lokal Isna di kamar mandi.

            Matahari mulai terik, Teja dan Husin bergegas pulang. Tidak disangka singkong yang Teja bawa begitu banyak, hampir satu karung penuh. Melihat karung yang berisi banyak singkong, Teja memutuskan agar singkong-singkong itu dititpkan sementara di rumah Husin yang tidak jauh jaraknya dari ladang. Husin mengiyakan permintaan temannya.

            Di perjalanan, Husin bertanya banyak tentang bagaimana mengungkapkan perasaannya kepada Isna. Teja sesekali terdiam, namun ia tetap menjawab dengan baik pertanyaan Husin. Ia tahu bahwa Husin malu dan merasa tidak mampu memberikan kebahagiaan kepada Isna.

            “Kalau benar kau suka sama Isna, bilang saja yang sejujurnya,” kata Teja.

            “Tapi Isna mirip Belanda, ia lebih cocok sama orang-orang Belanda daripada aku,”

            “Otakmu di dengkul? Apa kamu tidak tahu bahwa orang-orang Belanda itu bajingan semua, banyak perempuan kampung kita yang kena getah akibat para bajingan Eropa itu,” nada Teja mulai naik,”apa kamu juga tidak melihat bahwa banyak orang Belanda yang beramai-ramai mendengar suara nyanyian Isna di kamar mandi?”

            “Ehm... kau tidak bercerita tentang itu,”

            “Begini saja, aku yang melihat orang-orang Belanda banyak bersembunyi di balik pohon hanya untuk menanti kedatangan Isna. Mereka ingin menikmati nyanyian Isna, atau mungkin tidak hanya itu,”

            “Lalu, kau sendiri juga menikmati, kan?”

            “Tentu saja, tapi jangan samakan aku dengan orang-orang Belanda. Aku tidak ada niatan buruk terhadap Isna, hanya menikmati nyanyiannya. Bukan macam orang-orang Belanda yang cabul itu,”

            Husin mengangguk, “Lalu, aku harus bagaimana?”

            “Katakanlah pada Isna yang sebenarnya kau rasakan, jika sudah demikian kamu sudah lega dan tinggal menanti jawaban Isna. Jika Isna juga memiliki perasaan yang sama, barulah nanti kau bisa senang,”

            Pekarangan Husin penuh dedaunan meranggas, maklumlah sekarang sedang musim kemarau. Di sana, Toha sedang mengasah celurit, ia sangat cekatan dalam hal persenjataan. Konsentrasinya terhenti setelah menyadari kehadiran Husin dan Teja dengan membawa sekarung singkong.

            “Wah, banyaknya singkong kau bawa,” ujar Toha menyimpul senyum.

            “Ini milik Teja, mau dititip di sini, boleh tidak pak?”

            “Tentu, taruh saja di belakang cepat supaya orang-orang Belanda tidak melihat,”

            Husin mengangguk, Teja mengikuti Husin masuk ke rumahnya. Sementara Toha meneruskan mengasah celurit.

            Tidak lama berselang Isna datang dengan membawa sebakul singkong yang telah direbus. Ia hendak menyuguhkannya kepada Toha sebagai tanda ucapan terima kasih karena Isna boleh menanam singkong di ladangnya. Namun, Toha menyuruhnya untuk meletakannya di dapur.

            Husin terkejut melihat kedatangan Isna dengan membawa sebakul singkong rebus. Wajah Husin memerah, ia tidak berani membuka percakapan. Teja menyimpul senyum, mengarahkan mulutnya ke telinga Husin lalu berbisik. Dan tibalah Husin untuk mengatakan yang sejujurnya.

***

            “Dan apa yang membuat mandi di kamar mandi terasa menyenangkan?” tanya Karno penasaran.

            “Satu tahun setelahnya, Husin dan Isna melangsungkan pernikahan. Dan semenjak saat itu kamar mandi tengah kampung semakin ramai oleh orang-orang Belanda yang bersembunyi di balik pepohonan hendak menikmati suara Isna,” kata Teja, “Isna yang setiap hari mandi di sana tidak menyadari bahwa suaranya menjadi bahan pertunjukan orang-orang Belanda. Apa itu menyenangkan?” sambungnya.

            “Ehm..... Lalu bagaimana dengan Husin, suaminya?” tanya Karno penasaran.

            “Husin tidak mampu berbuat apa-apa, ia tidak mau istrinya terkena getah dari bajingan-bajingan Eropa itu. Husni bahkan tidak sudi jika istrinya menjadi pusat perhatian karena nyanyian yang dilantunkan, namun di sisi lain, ia tidak melarang istrinya untuk bernyanyi. Yang dapat ia lakukan hanyalah memberikan tulisan DILARANG BERNYANYI di kamar mandi itu,”

            Karno mengangguk paham, kini ia tahu alasan penduduk kampung Randu tidak membangun sebuah kamar mandi sekaligus mengerti akibat dari nyanyian di kamar mandi. Sedangkan Teja hanya terdiam, ia masih terngiang nyanyian lokal yang pertama kali ia dengar dari mulut Isna dahulu. Teja berandai bila ia tidak meyakinkan temannya, mungkin Teja masih bisa mendengarkan suara Isna yang merdu.

            Kopi hitam yang dihidangkan Lastri sudah tidak panas lagi. Teja menenggak habis kopi itu, duduk terdiam sambil mendengarkan suara aliran sungai yang samar-samar. Malam ini terasa dingin, Teja dan Karno duduk di atas dipan.

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun