Secara garis besar, Indonesia sebagai negara berkembang memiliki sejarah fenomena desain modern yang cukup panjang sebagai upaya perkembangan dan pemberdayaan fenomena sosial tersebut yang dapat di bagi menjadi tiga, yaitu :
- Desain sebagai pemecahan permasalahan sosial
Desain adalah wujud gagasan yang menjadi alat, sistem, barang ataupun lingkungan binaan yang memiliki nilai sosial. Maka dari itu, perlu dilakukan pengamatan latar belakang sosial yang menjadi pemicu lahirnya suatu karya desain. Dengan demikian, dapat diamati seberapa jauh dampaknya dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat.
- Desain sebagai suatu proses pembelajaran
Desain dapat diamaati melalui bagaimana masyarakat belajar dari kesalahan, hasil yang kurang sempurna, cacat-cacat perilaku, ataupun dampak yang terjadi. Dengan demikian terdapat sebuah upaya untuk mengurangi kesalahan sosial melalui sebuah penyempurnaan desain.
- Desain sebagai suatu proses penyadaran
Desain yang dihasilkan dalam kurun waktu yang mencukupi dapat menjadi proses penyadaran diri, baik dari lingkungan masyarakat maupun peradaban masa depan.
Kota Yogyakarta, tepatnya di Nol Kilometer, terjadi fenomena desain modern yang berhubungan dengan ketiga teori tersebut. Seperti halnya sign system, jalur bagi penyadang tuna netra, tempat sampah, dan tempat duduk. Salah satu yang jadi perhatian utama kami yaitu sign system di Nol Kilometer. Menurut pengamatan kami, sign system Nol Kilometer termasuk baru karena sebelumnya tidak ada penunjuk arah. Kami melakukan wawancara terhadap beberapa pengunjung di area Nol Kilometer ini. Â
Mereka merasa tidak ada sign system yang jelas. Selanjutnya, kami yang telah mengamati area ini menunjukkan kepada responden perihal dimana sign system tersebut ditempatkan. Hal ini diperparah dengan penempatan sign system yang kurang diketahui orang karena letaknya kurang strategis. Sign system diletakkan pada tikungan didepan Monumen Sebelas Maret. Jika ditempatkan di ruang lebih terbuka, Â seharusnya sign system dapat dilihat dengan lebih mudah atau terbaca dari jarak yang lebih jauh oleh pengunjung.
Gaya arsitek yang digunakan saat di Nol Kilometer masih menggunakan arsitektural model lama, sehingga warna pada fasilitas yang disediakan di Nol Kilometer kurang kontras. Contohnya adalah tempat sampah yang disediakan di sekitar area Nol Kilometer. Desain tempat sampah seperti itu membuat pengunjung kurang mengetahui jika itu fungsinya adalah sebagai tempat sampah. Alhasil, banyak sampah yang bertebaran di sekitaran area Nol Kilometer.
Buktinya, masih banyak pengunjung yang membuang sampah tidak pada tempatnya. Seharusnya, jika ingin mempertahankan warna yang masih selaras dengan gaya arsitektural, maka elemen yang perlu ditonjolkan adalah tipografi agar lebih terlihat informatif dan mencolok.
Kesimpulan
Sebenarnya Nol Kilometer sudah cukup memadai sebagai salah satu destinasi wisata di Yogyakarta, dari segi fasilitas yang sudah lengkap, hingga sudah memanjakan para pengunjumg yang datang dengan melakukan sebuah aktivitas sosial dan gaya hidup setiap pengunjung. Hanya saja, dari fasilitas yang memadai tersebut, kita sebagai pengunjung kadang masih kurang mengetahui fasilitas yang tersedia.Â
Sign system yang seharusnya berfungsi sebagai penunjang dari fasilitas tersebut dirasa kurang lengkap. Hal ini membuat beberapa pengunjung kurang bisa memaksimalkan fasilitas yang ada, sehingga dapat menyebabkan kesalahpahaman seperti halnya buang sampah sembarangan.Â
Maka, pemerintah harus melakukan sebuah pengembangan sign system sebagai wujud sosial yang mempengaruhi perkembangan desain. Perkembangan desain sign system di Nol Kilometer dapat mendongkrak Nol Kilometer sebagai wujud penyaluran kebutuhan sosial dan bermasyarakat.
Saran
Pemerintah harus mengembangkan desain sign system yang ada di Nol kilometer supaya menghasilkan desain lebih interaktif terhadap pengunjung.
Pendapat