Saya pun sedikit menyesal, tidak mendesak lebih keras kepada beliau. Hampir 2 tahun lamanya program tersebut tidak lagi terdengar. Hingga pada pertengahan tahun 2019, Ketua RW kembali menyinggung program tersebut. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan.
Saya pun mengajukan diri untuk terlibat dalam tim perintis. Arahan dari Ketua RW adalah meminta perwakilan dari RT untuk terlibat dalam Tim Ekonomi Kreatif. Iya nama programnya tidak lagi program Bank Sampah, akan tetapi berganti menjadi Ekonomi Kreatif. Pemikiran RW, Bank Sampah adalah salah satu cabang bidang Ekonomi Kreatif, disamping program lain seperti Cafe Baca, Taman Asri dan Gedung Serba Guna.
Meski kata "Bank Sampah" ini tidak asing di keseharian saya bekerja, tetap saja saya tidak punya pengalaman mendirikan Bank Sampah. Selama kurang lebih satu bulan, dengan semangat Everyplace is a school, Everyone is a Teacher, saya pun membenamkan diri untuk mencari segala macam informasi mengenai Bank Sampah.
Saya bertemu dengan beberapa penggiat Bank Sampah, menyerap pengalaman dari mereka yang sudah dulu memulai. Mulai dari pengalaman mereka menggerakan warga maupun menggerakkan diri sendiri untuk memulai. Saya pun juga belajar dari pengepul swasta maupun Bank Sampah Pusat milik pemerintah daerah tentang kurs harga sampah dan jenis-jenis sampah anorganik yang laku dijual.
Setelah menyerap sedemikian banyak informasi, Saya mulai menyusun tahapan-tahapan apa yang harus segera dilakukan, sembari secara bersamaan merangkum informasi-informasi tersebut sebaik mungkin ke dalam presentasi power point yang menarik.
Hal ini perlu saya lakukan karena salah satu tahapan penting dari proses merintis program ini adalah sosialisasi ke warga khususnya ke ibu-ibu. Kenapa ibu-ibu? Karena keterlibatan ibu-ibu akan sangat membantu proses edukasi kepada pihak-pihak lain. Mereka akan menularkan pelajaran yang didapat kepada suami dan anak-anaknya.
Untuk persoalan sampah rumah tangga, sudah pasti ibu-ibu yang mengetahui betul sampah apa saja yang ada di dalam rumah. Hampir semua penggiat bank sampah menyarankan saya untuk menggerakan ibu-ibu dalam kegiatan pengelolaan sampah ini.
 "Bapak harus bisa menggerakkan ibu-ibunya. Bank Sampah ini motor utamanya adalah Ibu-ibu," begitu kata Ibu Evi, salah satu penggiat Bank Sampah di daerah Bojonggede.
Setelah menyiapkan diri, saya pun mulai melakukan tahap sosialisasi kepada emak-emak di lingkungan saya. Seperti yang saya duga, tidak banyak yang ikut dalam sosialisasi ini. Dari target sekitar 15 orang, hanya 5 orang yang hadir.
Meski hanya sedikit orang, sosialiasi tetap saya lakukan. Dengan menggunakan bahan paparan sekelas yang biasa disajikan kepada kepala daerah anggota Aliansi Kabupaten Kota Peduli Sanitasi (AKKOPSI),  saya pun menjelaskan secara runtut tahap demi tahap  mengenai Bank Sampah terkait dengan pengertian, sistem dan apa tujuan yang ingin dicapai.
Saya juga sudah mengidentifikasi apa saja informasi atau pertanyaan yang harus disajikan kepada mereka. Sama seperti saat membantu menyiapkan bahan advokasi kepada Kepala Daerah, saya pun mencari tahu terlebih dahulu karakteristik emak-emak di sini seperti apa.