Mohon tunggu...
senopati pamungkas
senopati pamungkas Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hubbul Wathan Minal Iman

"Bila akhirnya engkau tak bersama orang yang selalu kau sebut dalam do'amu, barangkali engkau akan bersama orang yang selalu menyebut namamu dalam do'anya."

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pranoto Mongso: Ilmu Pertanian yang Terlupakan

21 September 2024   21:07 Diperbarui: 21 September 2024   21:08 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah modernisasi pertanian dan kemajuan teknologi, ada sebuah warisan ilmu pertanian tradisional yang perlahan mulai memudar dari ingatan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan generasi muda. Warisan ini dikenal dengan nama Pranoto Mongso, sebuah sistem pengetahuan tradisional yang mengatur musim tanam berdasarkan perubahan alam. Meski kini telah banyak ditinggalkan, Pranoto Mongso dulunya menjadi panduan utama petani dalam bercocok tanam, sehingga keberlangsungan hidup mereka sangat bergantung pada pemahaman dan penerapan ilmu ini.

Pranoto Mongso berasal dari tradisi agraris masyarakat Jawa, terutama di wilayah pedesaan yang menggantungkan hidupnya pada pertanian. Sistem ini pertama kali disusun dan dicatat pada zaman Kasunanan Surakarta oleh Sri Susuhunan Pakubuwono VII pada abad ke-19. Meskipun dikenal sebagai bagian dari budaya Jawa, prinsip-prinsip dasar Pranoto Mongso sejatinya mencerminkan pengamatan manusia terhadap siklus alam yang lebih luas.

Dalam bahasa Jawa, "Pranoto" berarti aturan, dan "Mongso" berarti musim. Jadi, Pranoto Mongso bisa diartikan sebagai "aturan musim," yang bertujuan untuk memberi panduan kepada petani dalam menanam, memanen, hingga mempersiapkan lahan berdasarkan perubahan cuaca, angin, kelembapan, dan perilaku hewan. Sistem ini mencakup 12 musim yang terbagi rata dalam siklus satu tahun, dengan masing-masing musim memiliki ciri-ciri khusus yang mencerminkan kondisi alam pada periode tersebut.

Sistem Pranoto Mongso membagi satu tahun ke dalam 12 musim (mongso), masing-masing dengan karakteristik alam yang berbeda-beda. Setiap mongso memiliki durasi yang berbeda-beda, tidak seragam seperti kalender Gregorian.

Kasa (23 Juni - 1 Agustus). Mongso pertama ini ditandai dengan angin bertiup kencang dari timur ke barat. Daun-daun kering mulai rontok, dan tanah terlihat kering serta retak-retak. Ini adalah masa persiapan lahan dan istirahat sebelum musim tanam dimulai.
   
Karo (2 Agustus - 25 Agustus). Kondisi panas mulai meningkat. Ini adalah masa ketika petani mulai mengolah tanah dan membersihkannya dari sisa-sisa tanaman sebelumnya.
   
Katiga (26 Agustus - 18 September). Hujan mulai turun sedikit demi sedikit, menandai awal musim penghujan. Tanaman mulai bisa ditanam pada periode ini.
   
Kapat (19 September - 13 Oktober). Curah hujan semakin meningkat. Ini adalah waktu yang ideal untuk menanam padi dan tanaman lainnya.
   
Kalima (14 Oktober - 9 November). Hujan deras turun secara teratur. Ini adalah musim puncak untuk menanam padi, karena tanah telah cukup basah dan siap menyerap air.
   
Kanem (10 November - 22 Desember). Curah hujan masih tinggi, tetapi mulai sedikit berkurang. Pada periode ini, tanaman sudah tumbuh subur dan mulai menampakkan hasilnya.
   
Kapitu (23 Desember - 3 Februari). Musim dingin di Jawa. Angin barat bertiup dengan kencang, dan sering kali terjadi badai. Pada masa ini, tanaman harus dirawat dengan baik untuk mencegah kerusakan akibat cuaca buruk.
   
Kawolu (4 Februari - 1 Maret). Cuaca mulai membaik, dan hujan menjadi tidak terlalu sering. Tanaman padi mulai siap dipanen.
   
Kasanga (2 Maret - 25 Maret). Masa panen padi dimulai, sementara cuaca cenderung cerah dan kering.
   
Kasapuluh (26 Maret - 18 April). Panen padi memasuki masa puncak. Ini adalah waktu yang baik untuk menyiapkan hasil panen dan mulai menanam tanaman lain seperti jagung atau kacang-kacangan.
   
Desta (19 April - 11 Mei). Musim kering mulai kembali. Petani menyiapkan lahan untuk siklus tanam berikutnya.
   
Saddha (12 Mei - 22 Juni). Cuaca semakin panas dan kering. Petani memanfaatkan periode ini untuk mengeringkan hasil panen dan mempersiapkan tanah untuk musim tanam berikutnya.

Sistem Pranoto Mongso didasarkan pada pengamatan jangka panjang terhadap perilaku alam. Petani Jawa, melalui pengalaman turun-temurun, mampu memahami hubungan antara siklus alam dengan keberhasilan pertanian mereka. Mereka mencermati tanda-tanda alam, seperti arah angin, intensitas hujan, perilaku binatang, dan perubahan suhu. Semua indikator tersebut menjadi penanda kapan harus mulai menanam, memupuk, hingga waktu yang tepat untuk memanen.

Sebagai contoh, ketika burung-burung migrasi mulai muncul dan angin kencang bertiup dari arah timur, petani tahu bahwa mereka sedang memasuki mongso Kapat, yang berarti hujan segera turun. Itu saatnya untuk mulai menanam padi. Sementara itu, jika kelelawar dan serangga malam mulai lebih aktif, maka itu pertanda mongso Katiga, di mana musim hujan mulai perlahan-lahan berakhir, dan panen padi segera dimulai.

Ada beberapa alasan mengapa Pranoto Mongso semakin jarang digunakan oleh petani modern. Modernisasi Pertanian ~ Dalam beberapa dekade terakhir, teknologi pertanian modern seperti penggunaan pupuk kimia, pestisida, hingga sistem irigasi buatan telah menggantikan metode tradisional. Petani kini lebih bergantung pada panduan dari penyuluh pertanian dan teknologi mesin dibandingkan pengamatan langsung terhadap alam.
 
Perubahan Iklim ~ Salah satu alasan utama mengapa Pranoto Mongso mulai dianggap tidak akurat adalah perubahan iklim. Perubahan cuaca yang tak terduga, seperti hujan yang datang lebih awal atau lebih terlambat dari biasanya, telah membuat sistem ini kurang relevan. Mongso yang dulu bisa diprediksi dengan akurat kini terganggu oleh pola cuaca yang lebih kacau akibat pemanasan global.

Minimnya Penerus Ilmu Tradisional ~ Di era modern, generasi muda petani lebih memilih teknologi dan metode baru yang dianggap lebih praktis. Pengetahuan tentang Pranoto Mongso yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi mulai terputus karena tidak banyak yang lagi mengajarkannya.

Meskipun terlihat kuno, Pranoto Mongso sebenarnya masih relevan di tengah krisis lingkungan yang terjadi saat ini. Prinsip dasarnya, yaitu harmoni dengan alam dan pengamatan terhadap siklus alam, bisa menjadi salah satu solusi bagi pertanian yang lebih berkelanjutan. Di saat pertanian modern sering kali merusak ekosistem alam, Pranoto Mongso menekankan keseimbangan antara manusia dan alam. Dengan mengikuti tanda-tanda alam, petani tidak hanya memaksimalkan hasil pertanian, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan.
 
Pranoto Mongso, meskipun berbasis pada pengamatan alam yang dulu lebih stabil, dapat dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan perubahan iklim. Dengan melakukan pengamatan yang lebih teliti dan memperbarui siklusnya berdasarkan pola iklim yang baru, Pranoto Mongso bisa kembali menjadi alat bantu yang berguna untuk petani.

Menghidupkan kembali Pranoto Mongso juga berarti menghargai kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang. Ilmu ini adalah hasil dari akumulasi pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun, dan patut untuk dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun