Mohon tunggu...
senopati pamungkas
senopati pamungkas Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hubbul Wathan Minal Iman

"Bila akhirnya engkau tak bersama orang yang selalu kau sebut dalam do'amu, barangkali engkau akan bersama orang yang selalu menyebut namamu dalam do'anya."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kidung Wahyu Kolosebo: Jejak Kearifan Lokal dalam Perjalanan Spiritualitas Jawa

18 September 2024   09:06 Diperbarui: 18 September 2024   09:20 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manunggaling Kawula Gusti adalah konsep yang mengajarkan bahwa Tuhan tidak berada di luar diri manusia, tetapi ada dalam setiap hati manusia. Penyatuan ini terjadi ketika manusia berhasil membersihkan dirinya dari keinginan duniawi dan kembali ke asal muasalnya, yaitu kepada Tuhan.

Proses penyatuan ini diibaratkan sebagai "mukti ingsun tanpo piranti" (kemuliaan yang diraih tanpa alat), menunjukkan bahwa pencapaian spiritual tidak bergantung pada kekayaan materi atau benda-benda duniawi, tetapi murni dari ketulusan hati dan laku spiritual yang dijalani.

Konsep sengkolo atau kesialan adalah bagian dari filosofi Jawa yang dipercaya sebagai penghalang kehidupan yang harmonis. Sengkolo sering kali dihubungkan dengan nasib buruk atau karma negatif yang harus dibersihkan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Dalam Kidung Wahyu Kolosebo, ada harapan untuk menghapus segala bentuk sengkolo:

Sengkolo tido mukso kolobendu nyoto sirno
Tyasing roso mardiko

Bait ini menunjukkan upaya manusia untuk membebaskan diri dari sengkolo dan kolobendu (amukan atau malapetaka). Proses mukso adalah salah satu konsep spiritual yang dalam budaya Jawa diartikan sebagai pembebasan dari siklus reinkarnasi atau kehidupan duniawi. Pembebasan ini tidak hanya bermakna secara fisik, tetapi juga secara spiritual, di mana manusia mencapai kebebasan sejati atau "tyasing roso mardiko" (kebebasan rasa dan jiwa).

Kidung ini memberikan harapan bahwa dengan laku spiritual yang benar, manusia bisa mencapai pembebasan dari segala bentuk penderitaan duniawi dan menjadi pribadi yang merdeka secara batiniah.

Dalam kidung ini juga terdapat referensi terhadap Kalimosodo, yang dalam tradisi Jawa sering dianggap sebagai pusaka atau kekuatan spiritual yang memberikan kekuatan dan perlindungan:

Mugiyo den sedyo pusoko Kalimosodo
Yekti dadi mustiko sakjroning jiwo rogo
Bejo mulyo waskito digdoyo bowo leksono
Byar manjing sigro sigro

Kalimosodo di sini melambangkan suatu kekuatan spiritual atau pusaka batin yang dapat membawa kebahagiaan, keberuntungan, dan kemuliaan. Pusaka ini bukanlah benda fisik, tetapi lebih merupakan simbol dari kekuatan jiwa dan kebijaksanaan yang dapat melindungi dan membimbing seseorang dalam perjalanan hidup.

Pesan ini mengajarkan bahwa setiap individu memiliki "pusaka" atau kekuatan batin yang dapat digunakan untuk menghadapi tantangan hidup. Namun, pusaka ini hanya bisa diakses oleh mereka yang telah menjalani laku spiritual dengan benar dan tulus.

Kidung Wahyu Kolosebo tidak hanya sekadar syair, tetapi juga bagian penting dari tradisi spiritual dan budaya Jawa yang kaya akan simbolisme. Sebagai bagian dari warisan budaya, kidung ini menawarkan panduan moral dan spiritual yang relevan bagi siapa saja yang ingin menjalani hidup dengan lebih bijaksana dan penuh kesadaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun