Mohon tunggu...
senopati pamungkas
senopati pamungkas Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hubbul Wathan Minal Iman

"Bila akhirnya engkau tak bersama orang yang selalu kau sebut dalam do'amu, barangkali engkau akan bersama orang yang selalu menyebut namamu dalam do'anya."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami Kehidupan Masyarakat: Studi Etnografi di Pedesaan Jawa

14 September 2024   22:24 Diperbarui: 14 September 2024   22:30 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Etnografi adalah salah satu pendekatan dalam penelitian sosial yang berfokus pada pemahaman mendalam tentang kehidupan masyarakat tertentu, terutama melalui pengamatan dan interaksi langsung. Metode ini sangat penting untuk memahami kehidupan sehari-hari, sistem nilai, dan budaya masyarakat, khususnya mereka yang hidup di wilayah pedesaan. Di Indonesia, pedesaan menjadi pusat penting dari kebudayaan tradisional yang sering kali berbeda dengan kehidupan masyarakat perkotaan. Melalui studi etnografi di pedesaan Jawa, kita dapat menggali lebih dalam tentang bagaimana masyarakat pedesaan membentuk identitas mereka, menjalani kehidupan sehari-hari, serta menghadapi perubahan yang disebabkan oleh modernisasi dan globalisasi.

Pulau Jawa, sebagai pusat dari berbagai kebudayaan dan kerajaan besar di masa lalu, memiliki kekayaan kultural yang luar biasa. Di pedesaan, nilai-nilai tradisional masih sangat dijunjung tinggi, terutama dalam hal gotong royong, adat istiadat, dan hubungan antarwarga. Kehidupan masyarakat pedesaan Jawa sering kali berpusat pada pertanian dan agrikultur, meskipun perkembangan zaman mulai membawa perubahan besar, terutama dengan meningkatnya urbanisasi dan migrasi penduduk ke kota-kota besar.

Studi etnografi di pedesaan Jawa memberikan kesempatan untuk memahami berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk struktur sosial, relasi kekuasaan, nilai-nilai kearifan lokal, hingga bagaimana masyarakat menafsirkan perubahan yang terjadi di sekitar mereka.

Di pedesaan Jawa, struktur sosial sering kali masih diwarnai oleh hierarki tradisional. Kepala desa atau lurah memainkan peran penting sebagai pemimpin yang dihormati, sekaligus sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah. Dalam struktur yang lebih luas, ada juga kaum priyayi atau tokoh masyarakat yang dianggap lebih tinggi dalam strata sosial dibandingkan dengan kaum wong cilik (masyarakat biasa). Meskipun dalam banyak hal struktur ini telah berubah, pengaruhnya masih terasa dalam interaksi sehari-hari di pedesaan.

Gotong royong, atau kerja sama antarwarga, merupakan aspek penting dari kehidupan masyarakat pedesaan. Tradisi ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antarwarga dalam menghadapi berbagai situasi, baik itu dalam hal pekerjaan sehari-hari seperti bertani, maupun dalam acara-acara adat atau kemasyarakatan seperti pernikahan, hajatan, atau pembangunan fasilitas umum. Melalui gotong royong, nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas dipertahankan di tengah masyarakat yang mulai terpengaruh oleh individualisme perkotaan.

Di pedesaan Jawa, nilai-nilai adat masih menjadi panduan hidup bagi masyarakat. Upacara-upacara adat, seperti selametan, ruwatan, dan perayaan hari-hari besar agama, masih sering dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan kekuatan gaib yang dipercaya menjaga keseimbangan alam dan kehidupan manusia. Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana spiritual, tetapi juga sebagai mekanisme sosial yang mengikat masyarakat satu sama lain.

Upacara adat sering kali melibatkan seluruh anggota masyarakat, yang secara bersama-sama mempersiapkan dan mengikuti ritual tersebut. Sebagai contoh, selametan dilakukan pada berbagai kesempatan, seperti panen raya, pindah rumah, atau pernikahan. Melalui ritual ini, masyarakat berusaha untuk mendapatkan berkah dari Tuhan atau roh leluhur, serta menjaga keharmonisan dengan lingkungan sekitar. Meskipun dalam beberapa hal ritual ini telah dipengaruhi oleh ajaran agama, terutama Islam, unsur-unsur kepercayaan tradisional Jawa masih sangat kental dalam pelaksanaannya.

Selain itu, nilai-nilai seperti tepa selira (tenggang rasa), tanggung jawab komunal, dan nrimo ing pandum (menerima dengan ikhlas) juga masih menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat. Tepa selira, misalnya, mengajarkan pentingnya saling menghormati dan menjaga perasaan orang lain, sehingga tercipta suasana harmonis dalam kehidupan bermasyarakat.

Pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk pedesaan di Jawa. Meskipun modernisasi telah membawa perubahan signifikan dalam teknik pertanian, masih banyak petani yang bergantung pada cara-cara tradisional dalam bercocok tanam. Sawah dan ladang menjadi simbol penting dari kehidupan agraris masyarakat pedesaan, dan keterikatan mereka dengan tanah sangat mendalam, bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga dari segi spiritual.

Dalam struktur agraris ini, pola tanam-tanam panen menjadi siklus kehidupan yang diikuti oleh masyarakat. Di beberapa desa, masih banyak yang menjalankan sistem maro atau nggaduh, di mana lahan pertanian dikerjasamakan antara pemilik lahan dan petani penggarap. Sistem ini mencerminkan hubungan mutualistik antara kedua belah pihak dan masih dipertahankan sebagai warisan budaya agraris.

Namun, di tengah dominasi pertanian tradisional, modernisasi mulai masuk melalui penggunaan teknologi, seperti traktor dan pupuk kimia. Masyarakat pedesaan sering kali berada di persimpangan antara mempertahankan cara-cara lama yang diwariskan dari generasi ke generasi, atau mengikuti tren modern yang menawarkan hasil lebih cepat dan efisien. Pergeseran ini memunculkan berbagai tantangan, baik dari segi ekonomi maupun sosial.

Tidak dapat dipungkiri bahwa modernisasi dan globalisasi mulai merubah wajah kehidupan masyarakat pedesaan. Arus informasi yang lebih cepat, teknologi pertanian yang semakin maju, serta migrasi penduduk dari desa ke kota memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat desa. Misalnya, meningkatnya penggunaan internet di pedesaan memungkinkan masyarakat untuk mengakses berbagai informasi dari dunia luar, yang pada gilirannya mempengaruhi pandangan dan perilaku mereka terhadap dunia.

Di satu sisi, modernisasi memberikan peluang baru, terutama dalam hal peningkatan produktivitas pertanian dan akses terhadap pendidikan yang lebih baik. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa nilai-nilai tradisional seperti gotong royong, tepa selira, dan kehidupan komunal mulai tergerus oleh individualisme dan pola hidup materialistik yang datang dari luar.

Salah satu fenomena yang paling jelas dari globalisasi adalah meningkatnya urbanisasi. Banyak pemuda desa yang memilih untuk meninggalkan kampung halaman mereka dan mencari pekerjaan di kota. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan pertanian sebagai sumber penghidupan utama di pedesaan. Desa-desa yang dahulu ramai dengan kegiatan pertanian kini menghadapi krisis tenaga kerja, karena sebagian besar penduduk mudanya pergi ke kota untuk mencari penghidupan yang dianggap lebih menjanjikan.

Dalam kehidupan sehari-hari di pedesaan Jawa, perempuan memiliki peran yang sangat penting, baik dalam lingkup domestik maupun ekonomi. Perempuan tidak hanya bertanggung jawab atas urusan rumah tangga, tetapi juga aktif dalam kegiatan ekonomi seperti bertani, berdagang, atau mengelola hasil panen. Pada masa lalu, perempuan sering dianggap berada di bawah laki-laki dalam struktur sosial, tetapi dalam kenyataannya mereka memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga kelangsungan kehidupan keluarga dan masyarakat.

Selain itu, perempuan di pedesaan juga memiliki peran dalam menjaga dan mewariskan tradisi serta nilai-nilai kultural kepada generasi berikutnya. Misalnya, dalam upacara-upacara adat, perempuan sering kali menjadi pengatur jalannya acara, terutama dalam hal penyediaan makanan dan persiapan ritual. Ini menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya bagian dari struktur sosial yang pasif, tetapi juga memiliki pengaruh dalam kehidupan kultural dan spiritual masyarakat.

Studi etnografi di pedesaan Jawa memberikan gambaran yang kaya tentang kehidupan masyarakat yang terus beradaptasi di tengah perubahan zaman. Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, seperti modernisasi dan urbanisasi, masyarakat pedesaan tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional yang telah menjadi bagian dari identitas mereka. Nilai-nilai seperti gotong royong, tepa selira, dan kehidupan agraris yang berpusat pada pertanian masih menjadi fondasi utama dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, di tengah arus globalisasi, masyarakat pedesaan juga tidak bisa menghindari perubahan. Dengan semakin terbukanya akses terhadap teknologi dan informasi, mereka kini berada di persimpangan antara mempertahankan tradisi atau mengikuti arus modernisasi. Etnografi sebagai metode penelitian memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana masyarakat pedesaan Jawa menghadapi dinamika ini, sekaligus memberikan panduan bagi upaya-upaya pelestarian budaya dan kearifan lokal di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun