Etnografi adalah salah satu pendekatan dalam penelitian sosial yang berfokus pada pemahaman mendalam tentang kehidupan masyarakat tertentu, terutama melalui pengamatan dan interaksi langsung. Metode ini sangat penting untuk memahami kehidupan sehari-hari, sistem nilai, dan budaya masyarakat, khususnya mereka yang hidup di wilayah pedesaan. Di Indonesia, pedesaan menjadi pusat penting dari kebudayaan tradisional yang sering kali berbeda dengan kehidupan masyarakat perkotaan. Melalui studi etnografi di pedesaan Jawa, kita dapat menggali lebih dalam tentang bagaimana masyarakat pedesaan membentuk identitas mereka, menjalani kehidupan sehari-hari, serta menghadapi perubahan yang disebabkan oleh modernisasi dan globalisasi.
Pulau Jawa, sebagai pusat dari berbagai kebudayaan dan kerajaan besar di masa lalu, memiliki kekayaan kultural yang luar biasa. Di pedesaan, nilai-nilai tradisional masih sangat dijunjung tinggi, terutama dalam hal gotong royong, adat istiadat, dan hubungan antarwarga. Kehidupan masyarakat pedesaan Jawa sering kali berpusat pada pertanian dan agrikultur, meskipun perkembangan zaman mulai membawa perubahan besar, terutama dengan meningkatnya urbanisasi dan migrasi penduduk ke kota-kota besar.
Studi etnografi di pedesaan Jawa memberikan kesempatan untuk memahami berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk struktur sosial, relasi kekuasaan, nilai-nilai kearifan lokal, hingga bagaimana masyarakat menafsirkan perubahan yang terjadi di sekitar mereka.
Di pedesaan Jawa, struktur sosial sering kali masih diwarnai oleh hierarki tradisional. Kepala desa atau lurah memainkan peran penting sebagai pemimpin yang dihormati, sekaligus sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah. Dalam struktur yang lebih luas, ada juga kaum priyayi atau tokoh masyarakat yang dianggap lebih tinggi dalam strata sosial dibandingkan dengan kaum wong cilik (masyarakat biasa). Meskipun dalam banyak hal struktur ini telah berubah, pengaruhnya masih terasa dalam interaksi sehari-hari di pedesaan.
Gotong royong, atau kerja sama antarwarga, merupakan aspek penting dari kehidupan masyarakat pedesaan. Tradisi ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antarwarga dalam menghadapi berbagai situasi, baik itu dalam hal pekerjaan sehari-hari seperti bertani, maupun dalam acara-acara adat atau kemasyarakatan seperti pernikahan, hajatan, atau pembangunan fasilitas umum. Melalui gotong royong, nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas dipertahankan di tengah masyarakat yang mulai terpengaruh oleh individualisme perkotaan.
Di pedesaan Jawa, nilai-nilai adat masih menjadi panduan hidup bagi masyarakat. Upacara-upacara adat, seperti selametan, ruwatan, dan perayaan hari-hari besar agama, masih sering dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan kekuatan gaib yang dipercaya menjaga keseimbangan alam dan kehidupan manusia. Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana spiritual, tetapi juga sebagai mekanisme sosial yang mengikat masyarakat satu sama lain.
Upacara adat sering kali melibatkan seluruh anggota masyarakat, yang secara bersama-sama mempersiapkan dan mengikuti ritual tersebut. Sebagai contoh, selametan dilakukan pada berbagai kesempatan, seperti panen raya, pindah rumah, atau pernikahan. Melalui ritual ini, masyarakat berusaha untuk mendapatkan berkah dari Tuhan atau roh leluhur, serta menjaga keharmonisan dengan lingkungan sekitar. Meskipun dalam beberapa hal ritual ini telah dipengaruhi oleh ajaran agama, terutama Islam, unsur-unsur kepercayaan tradisional Jawa masih sangat kental dalam pelaksanaannya.
Selain itu, nilai-nilai seperti tepa selira (tenggang rasa), tanggung jawab komunal, dan nrimo ing pandum (menerima dengan ikhlas) juga masih menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat. Tepa selira, misalnya, mengajarkan pentingnya saling menghormati dan menjaga perasaan orang lain, sehingga tercipta suasana harmonis dalam kehidupan bermasyarakat.
Pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk pedesaan di Jawa. Meskipun modernisasi telah membawa perubahan signifikan dalam teknik pertanian, masih banyak petani yang bergantung pada cara-cara tradisional dalam bercocok tanam. Sawah dan ladang menjadi simbol penting dari kehidupan agraris masyarakat pedesaan, dan keterikatan mereka dengan tanah sangat mendalam, bukan hanya dari segi ekonomi, tetapi juga dari segi spiritual.
Dalam struktur agraris ini, pola tanam-tanam panen menjadi siklus kehidupan yang diikuti oleh masyarakat. Di beberapa desa, masih banyak yang menjalankan sistem maro atau nggaduh, di mana lahan pertanian dikerjasamakan antara pemilik lahan dan petani penggarap. Sistem ini mencerminkan hubungan mutualistik antara kedua belah pihak dan masih dipertahankan sebagai warisan budaya agraris.
Namun, di tengah dominasi pertanian tradisional, modernisasi mulai masuk melalui penggunaan teknologi, seperti traktor dan pupuk kimia. Masyarakat pedesaan sering kali berada di persimpangan antara mempertahankan cara-cara lama yang diwariskan dari generasi ke generasi, atau mengikuti tren modern yang menawarkan hasil lebih cepat dan efisien. Pergeseran ini memunculkan berbagai tantangan, baik dari segi ekonomi maupun sosial.