Dalam pandangan metafisik, waktu sering kali dianggap sebagai ilusi atau konstruksi manusia yang mencoba memahami perubahan dalam realitas. Filsuf Yunani Kuno, Parmenides, berpendapat bahwa waktu dan perubahan hanyalah penampakan, sementara hakikat realitas itu sendiri adalah kekal dan tidak berubah . Jika kita menerapkan pandangan ini dalam konteks rindu, kita dapat berargumen bahwa rindu sebenarnya adalah manifestasi dari keterikatan manusia pada ilusi waktu. Apa yang kita rindukan mungkin tidak pernah benar-benar hilang, karena dalam esensi yang lebih dalam, semuanya tetap ada dalam satu realitas yang utuh dan kekal.
Namun, rindu tetaplah pengalaman yang nyata bagi manusia yang hidup dalam kerangka waktu. Dalam pandangan eksistensial, seperti yang diungkapkan oleh Jean-Paul Sartre, rindu merupakan salah satu bentuk kesadaran manusia akan keterbatasan dirinya. Kita selalu terjebak dalam kerangka waktu yang linear, dan rindu adalah cara kita merespons keterpisahan yang tak terhindarkan dari masa lalu atau masa depan yang ideal .
Rindu juga melibatkan relasi antara subjek dan liyan (the Other). Kita merindukan sesuatu di luar diri kita, dan dalam proses merindukan itu, kita merasakan keterhubungan yang mendalam dengan yang dirindukan. Dalam pandangan filsuf Emmanuel Levinas, hubungan dengan liyan adalah salah satu aspek paling fundamental dari eksistensi manusia . Levinas menekankan pentingnya pertemuan dengan liyan sebagai cara untuk melampaui egoisme diri sendiri dan mengalami keterbukaan yang lebih mendalam terhadap dunia di luar diri.
Dalam konteks rindu, kita bisa melihat bahwa perasaan ini adalah bentuk dari keterhubungan metafisik dengan liyan. Ketika kita merindukan seseorang, kita tidak hanya menginginkan kehadirannya secara fisik, tetapi juga merasakan adanya hubungan yang melampaui dimensi material. Rindu, dengan demikian, adalah pengalaman keterhubungan spiritual antara diri dan liyan, di mana kita menyadari keterbatasan diri kita sendiri dan mengakui bahwa kita membutuhkan yang lain untuk merasa utuh.
Rindu, meskipun sering dianggap sebagai pengalaman emosional yang bersifat sementara, memiliki dimensi metafisik yang dalam. Ia mengungkapkan ketegangan antara cinta sebagai sumber makna dan kehampaan sebagai manifestasi dari ketiadaan. Melalui rindu, manusia tidak hanya mengalami keterpisahan fisik, tetapi juga keterpisahan eksistensial dari sesuatu yang lebih besar, entah itu cinta, liyan, atau bahkan sumber kosmis yang lebih mendalam.
Dengan menyelisik rindu dari perspektif metafisika, kita dapat memahami bahwa rindu bukan sekadar dorongan emosional yang bersifat sementara. Ia adalah cerminan dari keterbatasan manusia dalam memahami dan menghayati realitas, serta pengingat bahwa dalam kehampaan pun, selalu ada makna yang bisa ditemukan. Seperti yang diungkapkan oleh Rainer Maria Rilke, "Rindu adalah jendela terbuka bagi jiwa, untuk melihat bahwa dunia tak pernah sepenuhnya tertutup bagi yang merindukan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H