Pada 06 Juli 2024, Kompas memuat artikel berjudul Non-Muslim di Perguruan Tinggi Timteng, ditulis oleh Sumanto Al Qurtuby. Penulis secara gamblang menguraikan bagaimana pendidikan di Arab Saudi yang nota bene berlatar belakang Islam, tetapi memberi ruang yang luas bagi pihak siapapun yang punya integritas dan kapabilitas keilmuan untuk menduduki jabatan struktural di jenjang pendidikan paling dasar sampai perguruan tinngi. Pangeran Abdulaziz bin Salman al-Saud, putra Raja Salman yang menjadi Menteri Energi sekaligus ketua King Fahd University of Petroleum and Minerals mengatakan bahwa mengundang siapa saja dari agama dan etnis mana saja di dunia ini, bahkan Yahudi sekalipun, untuk ikut mengabdi di kampus baik sebagai pengajar maupun peneliti. Sungguh luar biasa pernyataan tersebut karena membuktikan secara nyata bahwa dunia akademik bisa membedakan antara keyakinan atau etnis individu dengan kontribusi yang bisa diberikan oleh individu demi kemajuan pengetahuan di Arab Saudi.
Jalan tengah atau moderasi yang dilakukan oleh Arab Saudi sangat nyata di sekolah-sekolah milik pemerintah. Dunia akademik memang seharusnya netral karena lebih mengutamakan akal pikiran berkembang secara kontekstual untuk memecahkan berbagai persoalan hidup manusia. Ini juga menjadi kunci keberhasilan pendidikan di suatu negara ketika memberi kesempatan kepada siapapun untuk membaktikan diri demi kemajuan. Rasa khawatir yang berlebihan  ketika pejabat struktural atau peneliti dipimpin oleh mereka yang berbeda keyakinan dan etnis, sudah hilang. Inilah yang menyebabkan tingkat pertumbuhan pendidikan dan penyediaan sistem pendidikan tinggi berkualitas di Arab Saudi adalah yang tercepat di kawasan Timur Tengah.Â
Pada tingkat kebijakan memberi teladan moderasi maka pasti akan diikuti sampai ke struktur paling bawah termasuk mahasiswa atau peserta didik. Dengan demikian akan terjadi persaingan yang sehat ketika ada kontestasi jabatan struktural atau organisasi internal sekolah. Berbeda dengan di Indonesia, beberapa tahun lalu ketika ada ajakan dari oknum guru SMA agar menghindari calon ketua OSIS yang berbeda  keyakinan dengan mayoritas. Itu pada level ketua OSIS, lalu bagaimana dengan level di atasnya atau struktural sekolah dan perguruan tinggi negeri. Padahal Indonesia jelas-jelas berdasarkan Pancasila, sedangkan Kerajaan Arab Saudi tentu berdasarkan Syariat islam. Tetapi  mengapa di Kerajaan Arab Saudi justru memberi peluang yang luas seperti yang disampaikan Pangeran Abdulaziz.Â
Kebesaran hati dan kebesaran jiwa dalam menghadapi perbedaan menjadi unsur penting menentukan berbagai kebijakan dari tingkat pusat sampai daerah terutama di ranah pendidikan. Pendidikan seharusnya netral dan bebas dari semangat sektarian karena tujuannya adalah memanusiakan manusia muda. Kecurigaan yang berlebihan juga perlu dihilangkan demi kemajuan sebuah peradaban pengetahuan untuk kepentingan kemanusiaan melalui pendidikan yang merupakan inventasi masa depan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H