Menjadi negara merdeka ternyata tidak serta merta selesai segala persoalan dalam negeri. Â Demikian pula dengan perjalanan bangsa Indonesia menjadi sebuah negara yang baru merdeka harus menghadapi berbagai persoalan.Â
Pasca perang dunia kedua, yang seharusnya ada transisi politik dari Jepang kepada Sekutu, namun tidak bisa dilaksanakan karena Sekutu (Inggris) tahu bahwa Indonesia sudah merdeka.Â
Bagi Inggris, kemerdekaan Indonesia adalah sah dan tak terbantahkan. Tapi bagi Belanda (NICA) yang mengikuti dibelakang Inggris, maka kemerdekaan Indonesia masih bisa dipersoalkan. Â Karena menurut Belanda, setelah Jepang menyerah kalah kepada Sekutu, maka Sekutu harus mengambil alih Indonesia dari Jepang untuk kemudian diserahkan kepada Belanda. Disinilah pokok persoalan konflik Indonesia - Belanda pada 1946 sampai 1949.
Belanda tetap pada pendiriannya bahwa seharusnya Sekutu (Inggris) melakukan transisi politik di Indonesia dari Jepang kepada Belanda. Apalagi Belanda yang juga negara anggota Sekutu, maka berharap bahwa kebijakan Inggris sejalan dengan keinginan Belanda tentang Indonesia. Pada kenyataannya Inggris tidak melakukan seperti yang diharapkan Belanda.Â
Keinginan Belanda inilah yang justru menimbulkan perlawanan dari rakyat Indonesia di berbagai daerah untuk melawan Inggris. Sebenarnya sasaran kemarahan rakyat bukan semata-mata ditujukan kepada Inggris, Â tapi kepada Belanda yang ikut dibelakang Inggris dan ingin berkuasa lagi di Indonesia.Â
Melihat situasi perlawanan rakyat, maka dari sinilah Inggris berinisiatif mempertemukan RI dan Belanda di meja perundingan. Inisiatif Inggris sekaligus mediator akhirnya mempertemukan RI dan Belanda yang menghasikan Perjanjian Linggarjati.Â
Setelah Perjanjian Linggarjati, Inggris menarik pasukannya dari seluruh wilayah Indonesia. Ternyata Perjanjian Linggarjati dilanggar Belanda dengan agresi militer 1. Disinilah kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan menyelesaikan konflik Indonesia Belanda.Â
Masuknya masalah Indonesia - Belanda ke ranah PBB menguntungkan Indonesia karena konflik tersebut menjadi perhatian dunia dan makin terang benderang siapa sebenarnya yang memulai sengketa. Perjanjian Renville dan Roem Royen menjadi saksi berlanjutnya konflik Indonesia - Belanda, serta didukung perjuangan bersenjata yaitu perang kemerdekaan 1, perang kemerdekaan 2, dan serangan umum 1 Maret 1949.
Perjanjian Roem Royen berhasil memaksa negeri kincir angin itu untuk tidak melakukan agresi militer 3, Â dan mewajibkan Belanda menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB).Â
Dalam KMB inilah Indonesia memainkan diplomasinya dan menunjukkan kualitas tim delegasinya. Delegasi Indonesia p ada KMB dipimpin oleh Moh. Hatta mampu menunjukkan kualitas sebagai juru runding yang handal dari sebauah negara yang baru berusia 4 tahun. Moh Hatta sendiri dikenal sebagai pribadi yang cermat dan teliti dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa.
Delegasi Indonesia menerima usulan Belanda bahwa nama negara menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Dengan nama RIS maka Republik Indonesia (RI) adalah salah satu negara bagian dari RIS. Negara bagian yang bernama RI beribu kota di Yogyakarta. Dan secara faktual saat itu bahwa RI dikepung oleh seluruh negara bagian yang dibentuk Belanda.Â
Skema usulan Belanda ini tetap diterima oleh Moh. Hatta dan tim delegasi Indonesia dalam KMB. Delegasi RI sepertinya tidak mempersoalkan bentuk dan nama negara, karena yang ingin diraih dalam KMB adalah penyerahan kedaulatan penuh dari Belanda. Inilah kejelian delegasi RI yang dipimpin Moh. Hatta bahwa yang lebih penting dan mendasar adalah penyerahan kedaulatan penuh.Â
Penyerahan kedaulatan penuh adalah pengakuan secara de facto dan de jure terhadap suatu negara dalam hal ini RI. Pada saat Perjanjian Linggarjati dan Renville, Belanda hanya mengakui RI secara de facto. Inilah titik persoalan yang diperhatikan oleh delegasi RI dalam KMB. Ketika pengakuan secara de facto ternyata Belanda masih bisa berulah melalui agresi militer 1 dan agresi militer 2. Maka yang lebih utama adalah penyerahan kedaulatan penuh.Â
Dengan penyerahan kedaulatan penuh maka Belanda harus segera keluar wilayah RIS. Dan setelah keluar maka Belanda tidak bisa campur tangan lagi di dalam RIS. Termasuk apabila nantinya bentuk RIS berubah kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam KMB nampak kepiawaian Moh. Hatta dan tim delegasi RI menerima usul Belanda bahwa nama negara menjadi RIS. Memang bentuk negara RIS tidak sesuai cita-cita proklamasi terutama tentang persatuan Indonesia.Â
Namun ibarat sebuah turnamen, maka delegasi RI telah bermain cantik dalam KMB. Kualitas dan kekuatan diplomasi RI sangat tampak dalam KMB yaitu menerima bentuk negara RIS karena ada agenda besar yang lebih utama adalah penyerahan kedaulatan penuh.Â
Belanda sendiri merasa bisa menekan RI karena hanya menjadi negara bagian dari RIS, dan telah dikepung oleh negara bagian yang dibentuknya. Perhitungan Belanda nantinya meleset, karena negara bagian yang dibentuknya ternyata akhirnya menyerahkan mandat kepada RI. Hal ini membuktikan bahwa bentuk negara RIS tidak sesuai dengan kondisi politik, sosial, dan budaya bangsa Indonesia.
Pentingnya penyerahan kedaulatan penuh adalah ketika RIS kembali menjadi NKRI maka Belanda tidak bisa lagi protes atau intervensi. Dan perhitungan delegasi RI tepat karena setelah penyerahan kedaulatan penuh kepada RIS, dan kemudian bentuk negara kembali mejadi NKRI maka Belanda tidak bisa berbuat apa-apa.Â
Belanda konsisten tidak mengakui kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, tapi 27 Desember 1949 sesuai tanggal penyerahan kedaulatan penuh. Meskipun pada akhirnya di 17 Agustus 2010, Belanda mengakui bahwa kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Sekali lagi inilah bukti kekuatan diplomasi RI dalam KMB. Terimakasih para pendiri bangsa yang bejuang dijalur diplomasi, dan juga yang berjuang mengangkat senjata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H