Kalau kita melihat tantangan yang di hadapi oleh Paulus sebelum memberitakan injil di Tesalonika, di katakannya dalam ayat ke kedua seperti kamu tahu (jemaat Tesalonika), kami telah dianiaya dan dihina di Filipi. Hal ini di terimanya pada waktu perjalanan misionaris yang kedua (Kis 16) di mana ia dan Silas di dera dan di penjarakan di Filipi.
Maksud dari pada penganiyaan dan pemenjaraan yang di lakukan oleh orang Yahudi ini supaya mereka tidak lagi memberitakan injil, dan menurut saya, ini cara yang paling efektif untuk membungkam para pelayan injil.
Karena dalam Kis 16 di katakan mereka di anaiaya/ di dera berkali-kali. Tentu sangat sakit, sakit sekali, luar biasa sakitnya. Karena berdasarkan 2 Kor 11: 23, Paulus mengatakan bahwa dia dera di luar batas, itu bisa berupa cambukan pada badan yang telanjang, dan Setelah itu dikatakan mereka di masukan dalam penjara dengan cara di belenggu kaki dengan pasungan yang kuat. Berarti membuat mereka tidak berdaya. Jelas ini kondisi yang mengerikan dan kalau bisa tidak terjadi lagi.
Tetapi anehnya, Paulus setelah di lepaskan dari penjara dia tetap memberitakan injil di Tesalonika. Dengan kata lain ia tidak takut / ia siap menghadapi penganiyaan dan pemenjaraan lagi. Paulus tentu seorang manusia yang  sama seperti kita, di aniaya sangat sakit, di belenggu dan pasung juga terasa  sakitnya, karena tubuhnya juga dari daging bukan besi.  Lalu dari mana keberanian itu datang ?
Dalam ay yang ke-2, ia mengatakan : "Namun dengan pertolongan Allah kita, kami beroleh keberanian untuk memberitakan Injil Allah kepada kamu dalam perjuangan yang berat". Berarti secara manusia atau hanya mengandalkan manusia maka Paulus juga sangat takut. Tetapi ia berani karena di mampukan oleh Tuhan. Jadi kalau tidak di mampukan oleh Tuhan ia juga  takut, maka ia katakan dengan pertolongan Allah kami beroleh keberanian.
Dengan  kata lain walaupun penganiyaan itu berat tetapi Tuhan selalu menolong Paulus, menguatkan, menyemengati dia  untuk terus memberitakan Injil. Jadi andalan Paulus itu adalah Tuhan saja. Yang membuat ia tidak gentar terhadap penganiyaan dan pemenjaraan adalah Tuhan. Karena siapa yang berani melawan penguasa, siapa yang berani di aniaya, siapa yang mau di hina.
Saya mengajar agama di kampus. Pernah suatu kali mahasiswa bermasalah dengan saya. Saya datang ke kelas tidak satu orangpun di kelas, mereka masih mengikuti mata kuliah yang lain, saya tunggu sampai 15 menit tidak ada satu orangpun yang datang akhirnya saya pulang. Setelah pulang saya sms kepada seorang mahasiswa, hari ini kalian semua alpa, tiga kali alpa berarti tidak ikut ujian. Tidak sampai 10 menit begitu banyak mahasiswa datang ke rumah saya dan minta maaf. Jadi mereka takut kepada saya karena saya punya kuasa.
Banyak orang takut penguasa, terhadap resiko, mahasiswa tersebut tidak lagi berani mengulangi perbuatan mereka. Tetapi Paulus tetap berani melakukan perbuatannya, bukan hanya kerena perbuatan tersebut tidak salah tetapi karena Tuhanlah yang menguatkan dia. Maka ia katakan dalam ayat 2 kami beroleh keberanian untuk memberitakan Injil Allah kepada kamu dalam perjuangan yang berat. Jadi untuk memberitakan injil saja perjuangannya itu sangat berat, dan perjuangan itu bisa di lewatinya, tetap punya keberanian karena Tuhan yang menolong dia.
Sampai sekarang siapapun juga pelayan Tuhan tantangan itu tetap ada, tidak mungkin tidak ada, tantangan baik datang dari diri sendiri, dari keluarga, dari pihak luar, tantangan materi/ tidak punya uang, melawan rasa malu, dll. Mungkin kita masih jauh dari apa yang di alami Paulus, tetapi konsepnya sama. Berani, tidak, kita menghadapi tantangan tersebut ?
 Mau, tidak ? kita melawan keinginan daging kita (melawan kemalasan, melawan keinginan untuk iri hati, melawan keinginan untuk sombong, melawan keinginan untuk makan puji, melawan keinginan untuk berpikir diri sendiri, dan mau berkorban bagi sesama, mau rendah hati karena Tuhan). Salah satu tantangan terbesar untuk kita bisa melayani dengan baik adalah datang dari sendiri.
Saya juga sering tergoda bahkan jatuh dalam kemalasan, kesombongan, iri hati. Saya terus berjuang untuk hal tersebut karena Tuhan dan hanya dengan kekuatan dari Tuhan saya mampu keluar dari semua itu, kalau hanya berdasarkan diri saya, tentu saya akan memilih kemalasan (memanjakan diri), kesombongan, saya tidak mau berkorban untuk pelayanan, saya tidak mau memberi uang saya pada pelayanan lebih baik uang itu saya pakai untuk membeli sesuatu, dstnya.
Mau, tidak ? karena Tuhan, walaupun kita tidak punya uang tetapi terus melayani, tidak punya uang berani jalan kaki, menahan rasa malu karena Tuhan. Saya salut dengan beberapa teman-teman mahasiswa. Dulu di Kupang belum ada ojek online karena uang terbatas mereka rela jalan kaki 2-3 KM untuk datang bersekutu. Mereka  mau melakukan karena Tuhan, karena kekuatan dari Tuhan, tidak ada rasa malu.
Mau, tidak karena Tuhan berani melawan perintah atau arahan yang tidak benar walaupun resikonya berat. Saya sangat bersyukur pernah bertemu dengan siswa dan mahasiswa  yang tetap tidak mau nyontek dan berikan contekan, bahkan  pada saat ujian nasional walaupun di marahi oleh guru-gurunya, dan akhirnya ada yang tidak lulus. Bukan hanya guru, orang tuanya pun sampai katakan kamu tidak lulus karena tidak nyontek tetapi sampai mahasiswapun mereka tetap tidak nyontek.
Saya juga sangat bersyukur bertemu dengan beberapa teman alumni yang tidak mau tanda-tangan berkas-berkas yang tidak benar walaupun di paksa atasannya, bahkan ada yang di kejar satpam, tetapi mereka tidak mau melakukannya. Walaupun mereka tidak menerima uang yang tidak benar tetapi mereka tetap bekerja semaksimal mungkin, bisa lembur.
Karena Tuhanlah Paulus berani berkorban, berani di aniaya , berani menanggung hinaan maka seharusnya untuk Tuhan sajalah maka kita bisa seperti itu, kita bisa menentang banyak hal yang tidak benar karena kekuatan dari Tuhan dan untuk Tuhan. Mungkin yang kita lakukan tidak sempurna, mungkin juga tidak sehebat Paulus tetapi dalam banyak hal kita berani menyatakan kebenaran, berani menangung resiko.
Kenapa tidak berani akan hal itu, padahal yang kita lakukan ini untuk Tuhan, kenapa kita tidak berani menahan rasa malu karena Tuhan, kenapa kita tidak mau mengampuni orang lain karena Tuhan, kenapa kita tidak berani berbeda dengan orang yang sudah jelas salah karena Tuhan. Kalau kita belum melakukan hal-hal tersebut mungkin selama ini kita melayani tetapi kita belum berjuang untuk Tuhan. Pelayanan yang belum ada perjuangannya karena tidak berani menghadapi tantangan.
Selanjutnya rasul Paulus juga menyatakan dalam ay 4, sebaliknya, karena Allah telah menganggap kami layak untuk mempercayakan Injil kepada kami, karena itulah kami berbicara, bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kita.
Jadi dalam pelayanannya ia tidak mau menyukakan hati manusia, hanya menyukakan hati Allah. Padahal menyukakan hati manusia adalah salah satu resiko dan godaan yang terbesar. Sebagai seorang pelayan/pemberita injil kita ingin jemaat menerima kita, kita ingin di sanjung/di puji oleh jemaat, maka terkadang kita tidak berani berkata keras kepada jemaat karena takut jemaat meninggalkan pelayan Tuhan. Yang namanya di tinggalkan oleh orang-orang, tidak menyenangkan.
Di sabu, di suatu daerah yang terpencil pernah seorang pengkhotbah berkhotbah menentang judi ayam yang merupakan suatu tradisi turun-temurun maka minggu depannya gereja hanya di hadiri oleh beberapa orang, sekitar 50% persen  tidak datang gereja.
Di salah satu gereja  karena karena begitu menyukakan hati jemaat maka pendetanya begitu gampangnya menikahkahkan pasangan yang beda agama tanpa ada katekisasi, tidak ada pastoral yang ketat bahkan minggu depan akan sidi, hari ini orang-orang tua bisa mendaftarkan anak-anaknya untuk sidi tanpa ikut katekisasi, sangat menyukakan hati jemaat/manusia, karena tidak mau di tinggalkan jemaat.
Dalam ay 5, Paulus mengatakan : Karena kami tidak pernah bermulut manis hal itu kamu ketahui dan tidak pernah mempunyai maksud loba yang tersembunyi. Pernyataan ini juga di tujukan kepada jemaat Tesalonika karena dalam ay 6, ia katakan juga tidak pernah kami mencari pujian dari manusia, baik dari kamu, maupun dari orang-orang lain.
Dia tidak pernah bermulut manis untuk menyukakan jemaat, jemaat salah dia tegur. Tetapi kalau jemaat punya pertumbuhan yang baik dia sangat memuji. Kalau kita baca surat-suratnya baik untuk jemaat Tesalonika, Galatia, Korintus ia tegur mereka dengan begitu keras, bahkan rasul Petrus yang lebih senior dari padanya ia pun pernah menegurnya. Tetapi jemaat tesalonika yang punya iman dan kasih yang terus bertumbuh maka di puji luar biasa.
Jadi ia sama sekali tidak mau bermulut manis, hanya menyukakan manusia karena ia melayani Tuhan bukan melayani manusia. Bahkan Paulus berani mengatakan dalam ay 5 akhir  bahwa Allah adalah saksi bahwa ia tidak pernah bermulut manis, berarti yang di lakukan itu sungguh-sungguh. Sangat hebat. Siapa disini yang berani mengatakan ; Saya sungguh mengasihi kamu, Allah adalah saksi. Itu kasih yang sangat luar biasa.
Berani kah kita mencontohi hal seperti ini, berani kah kita mengur sahabat kita karena ia salah, walaupun mungkin teguran itu tidak menyukakan dia, akan merengangkan hubungan kita dengan dia tetapi ingat kita hidup untuk menyukakan Tuhan bukan menyukakan hati manusia.
Maukah kita menegur orang yang mungkin lebih senior dari pada kita karena ia berbuat salah. Memang untuk menegur orang yang lebih senior tidaklah mudah, butuh cara-cara tertentu, bahkan untuk menegur semua orang butuh cara-cara tertentu tetapi apakah kita punya niat ? Kalau kita punya niat maka kita berusaha mencari cara yang tepat untuk bisa menegurnya.
Terkadang isi teguran kita baik tetapi karena caranya tidak tepat maka orang itu tidak bisa menerimanya, padahal Alkitab sendiri membukakan berbagai-bagai cara msialnya tegurlah dia di bawah empat mata, kalau dia tidak mau di tambah dua tiga orang dstnya. Tetapi yang paling penting punya niat maka caranya bisa kita cari.
Karena kalau kita tidak menegurnya maka kalau dia sahabat/teman dekat kita maka pada waktu dia hancur kita akan sangat sakit, kita akan turut hancur padahal bisa saja kita cegah dengan teguran kita tetapi kita tidak melakukannya karena sungkan. Amsal 27 : 5 mengatakan : Lebih baik, teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Jadi kalau kita sungguh mengasihi dia maka salah satu wujudnya kita harusnya menegurnya kalau ia salah.
Tidak ada anak-anak Tuhan yang salah yang tidak di tegur oleh Tuhan, karena Tuhan sangat mengasihi kita maka dia menegur bahkan menghajar kita karena Ia ingin agar kita kembali dari pada kehidupan kita yang penuh dosa.
Kalau memuji orang kita bisa melakukannya tetapi menegur dosanya kita tidak melakukannya. Itu namanya kita hanya ingin menyukakan hati manusia bukan Tuhan. Karena cari dimanapun yang namanya untuk membangun pelayanan pasti ada dosa-dosa tertentu yang harus kita tegur.
Ada pemuda-pemuda gereja waktu di pelayanan sangat bersinar tetapi di rumah malasnya minta ampun, orang demikian harus kita tegur jangan sampai akhirnya orang tuanya berkata : lebih baik lu di PERKANTAS/di geraja saja.
Memang teguran itu tidak menyenangkan tetapi teguran yang benar bisa menolong seseorang untuk tidak melakukan kejahatan, teguran yang benar adalah wujud kasih kita kepada dia. Maka jikalau kita sungguh mengasihi dia, ingin agar ia tidak jatuh dalam dosa maka selama masih ada kesempatan tegurlah dia, jangan sampai dia sudah jatuh dalam dosan baru kitapun turut menyesal.
Selanjutnya dalam ay 7 Paulus membalikan suatu konsep bahwa ia tidak mencari pujian manusia, tidak mencari keuntungan pribadi  tetapi dalam pelayanannya ia membagi hidup dengan jemaat. Ia katakan dalam ay 7 Tetapi kami berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya.  Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu.
Jadi Paulus dalam pelayanannya bukan hanya sebagai seorang pengajar, yang tugas hanya mengajar firman Allah seperti  guru atau dosen yang  hanya mengajar tetapi ia juga sebagai seorang gembala, dimana ia membagi hidup dengan jemaat, ia menolong jemaat dalam banyak hal makanya ia katakan kami seperti seorang ibu yang mengasuh dan merawati anak-anaknya. (berarti menolong jemaat dalam banyak hal bukan hanya khotbah saja)
Sebagai gembala, dia pasti mengenal jemaatnya secara dalam, mengenal permasalahannya, kondisi rohaninya, di perhatikan dengan begitu serius bukan hanya kenal nama karena bertemu saat satu minggu satu kali. Tetapi terus mengunjungi jemaat, terus mendoakan  sehingga mengetahui dengan jelas akan kondisi mereka, dan mereka selalu ada dalam pemikirannya sehingga tepat kalau ia mengatakan ia seperti seorang ibu dan bapa bagi mereka. (Karena ini tugas dari pada seorang ibu dan bapa).
Inilah sebenarnya pelayan yang sejati. Pelayan yang sejati bukan hanya bisa mengajar tetapi pelayan yang sejati adalah melayani seperi gembala yang baik, yang sama seperti seorang ibu yang mengasuh dan merawati anaknya.
Maka wajar kalau Paulus begitu rindu beretemu dengan mereka, selalu mendoakan mereka dan mau berkorban bagi mereka. Karena ia ingin membagi hidup dengan mereka. Maka seharusnya inilah yang harus di lakukan oleh kita sebagai seorang pelayan.
Dengan kata lain pelayan bukan hanya seorang yang menfasilitasi sehingga terjadinya persekutuan sekolah/kampus, pelayan bukan hanya seorang pengajar Firman Allah tetapi pelayan adalah seorang yang mengasuh dan merawati jemaatnya/binaannya, membagi hidupnya bukan hanya membagi injil. Membagi injil itu gampang tetapi membagi hidup sangat sulit.
Gereja-gereja sekarang jemaatnya kurang berkualitas karena bisa jadi pelayannya hanya bertindak sebagai pengajar yang hanya mengajar pada saat kebaktian minggu dan kebaktian rumah tangga, bukan sebagai seorang gembala yang mengasuh dan merawati jemaatnya. Mereka hanya membagi injil bukan membagi hidup.
Oleh karena itu filosi pemuridan adalah sarana mambagi hidup bukan hanya membagi injil seperti PA-PA yang di lakukan di gereja-gereja. Membagi hidup berarti hidupnya menjadi contoh, hidupnya mau berkorban bagi orang lain seperti yang di lakukan Paulus dalam ay 9 "Sementara kami bekerja siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun juga di antara kamu, kami memberitakan Injil Allah kepada kamu".
Jadi tidak mau membebani  jemaat tetapi menolong jemaat. Jadi dalam konsep dari pada Paulus yang namanya pelayan itu membagi hidup, bukan hanya membagi injil makanya ia tidak mau membebani jemaat inilah sebagai salah satu wujud pertolongan  Paulus kepada jemaat. Jadi dia sangat memahami konsep membagi injil dan membagi hidup.
Nah, pertanyaannya sudah berapa banyak pertolongan yang bisa kita bagikan kepada jemaat/binaan kita ? kalau hanya sebatas khotbah dan persekutuan, itu dalam konteks Paulus masih sebatas membagi Injil, belum sampai pada seorang ibu yang mengasuh dan merawati anak-anaknya.
 Kalau kita bisa melakukan lebih dari pada itu mau mendoakan mereka secara terus-menerus, mengujungi mereka, bahkan berkorban hidup bagi mereka mungkin itulah yang dinamakan sebagai membagi hidup, seperti seorang ibu yang mengasuh anak-anaknya.
Saya masih jauh dari pada hal-hal seperti ini, tetapi saya juga punya kerinduan yang sama seperti Paulus untuk bisa membagi hidup dengan orang-orang yang saya layani. Karena menurut saya pelayan yang baik adalah pelayan yang mau membagi hidupnya bukan hanya membagi injil. Kalau bpk,ibu setuju dengan konsep ini, maka marilah kita sama-sama belajar
Akhirnya yang namanya melayani harus penuh perjuangan dan perjuangan itu antara lain : Punya keberanian menghadapi tantangan karena Tuhan, tidak menyukakan manusia hanya mau menyukakan hati Tuhan dan mau membagi hidup dengan orang lain. Mungkin masih di tambah lagi dengan perjuangan-perjuangan yang lain yang bisa di lakuakan oleh bapa/ibu, tetapi semuanya itu kita lakukan karena Tuhan dan karena kekuatan dari Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H