Dalam hidup ini sangat menyenangkan apabila kita punya kuasa untuk memerintah. Maka mungkin kita akan katakan : Kamu kesini tolong buat ini, kamu tolong bersihkan ini, Â kalau dia melawan kita akan katakan : kalau kamu tidak suka, tidak apa-apa keluar saja dari sini. Wah menyenangkan sekali.
Kita adalah bos yang harus di hormati, di turuti dan bisa mengatur sekehendak hati kita, dan banyak orang pingin seperti itu. Banyak orang  ingin jadi bos karena bos punya kuasa, dia bisa memerintah dan orang harus tunduk kepada dia. Dia bisa marah-marah, suruh ini, suruh itu  dan selalu dihormati, dan dilayani.
Tetapi ternyata dalam Alkitab, Yesus memberikan suatu pemahaman yang sangat berbeda kepada murid-muridNya tentang memerintah. Tuhan panggil mereka, lalu katakan : Kalian tahu pemerintah-pemerintah memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.
Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.
Tentu murid-murid kaget, karena selama ini mereka berpikir punya kedudukan  itu enak, menyenangkan,  bisa memerintah, bisa marah semaunya tetapi ternyata punya kedudukan  berat sekali karena harus melayani, harus jadi hamba, jadi pelayan. Wah siapa yang mau ? Tuntutan Tuhan ini sangat sulit.
Petrus mungkin berpikir waduh Tuhan ini berat sekali, kalau begini siapa yang mau punya kedudukan yang tinggi. Karena walaupun kita punya kedudukan yang tinggi (bos) tetapi fungsinya rendah yaitu melayani bukan  dilayani.
Pada waktu saya berpikir akan hal ini, saya merasa orang yang mau melayani itu, punya kualitas yang lebih hebat dari pada orang yang statusnya pembantu, sangat hebat, karena ini menyangkut sikap hati.
Kalau pembantu belum tentu dia punya sikap hati pelayan, dia bekerja karena itulah kedudukannya tetapi kalau seorang yang punya sikap hati melayani maka dia jadi bos atau tidak jadi bos tetap melayani karena itulah sikap hatinya.
Saya ingat ada seorang dosen di seminari kami namanya pak Yohanes Marsono. Suatu waktu kami mendengar bahwa beliau akan mengudurkan diri dari kampus kami.  Banyak mahasiwa yang sulit  menerima karena beliau bagus sekali. Akhirnya angkatan kami memutuskan untuk bertemu dengan beliau.
Pada saat itu saya mengatakan bahwa pak Yo (kami biasa memanggilnya) adalah motor penggerak dikampus kami. Pak Yo selalu berusaha untuk memajukan kampus kami, dan saya katakan pak bukan alumnus dari seminari ini tetapi hati bapak untuk seminari ini melebihi alumni yang ada.