“Lekas, Bangun dari tidur berkepanjangan. Menyatakan mimpimu, cuci muka biar terlihat segar. Merapikan wajahmu, masih ada acara menjadi besar. Menjelma dan Menjadi Indonesia....”
#Menjadi Indonesia_Efek Rumah Kaca
Indonesia merupakan negara yang memiliki dasar bagi warganya dalam berkehidupan. Tujuannya, agar kedamaian menaungi. Tidak ada perselisihan di negara ini. Maka “Menjadi Indonesia” seharusnya menjadi warga negara yang menaati dasar negara, Pancasila. Segalanya di atur di dalamnya. Termasuk aturan berkehidupan bersama masyarakat. Ini membuktikan bahwa sebelum adanya pendidikan karakter, sebenarnya negara ini telah memiliki dasar yang mengatur warganya berkehidupan dengan baik. Namun karena Pancasila lambat laun ini hanya menjadi simbol belaka. Degradasi tersebut menjadikan anak-anak Indonesia yang merupakan warga negara ini tidak mengerti Pancasila. Kenal tapi tak mengerti.
Fakta di atas merupakan salah satu dari beberapa alasan mengapa lahir Pendidikan Karakter. Pendidikan karakter merupakan pendidikan di mana dalam proses pendidikan, guru dianjurkan menanamkan nilai-nilai yang berguna untuk membentuk karakter anak. Berikut adalah 18 karakter yang dianjurkan Departemen Pendidikan Nasional ditanamkan oleh guru dalam proses belajar mengajar.
1.Religius
2.Jujur
3.Toleransi
4.Disiplin
5.Kerja keras
6.Kreatif
7.Mandiri
8.Demokratis
9.Rasa ingin tahu
10.Semangat kebangsaan
11.Cinta tanah air
12.Menghargai prestasi
13.Bersahabat/ komunikatif
14.Cinta damai
15.Gemar membaca
16.Peduli lingkungan
17.Peduli sosial
18.Tanggung jawab.
Mulai dari spiritual dan sikap semuanya telah komplit berada dalam 18 poin di atas. Bahkan nilai-nilai kebangsaan pun diharapkan dimiliki oleh anak-anak Indonesia yang memiliki kesempatan bersekolah atau berpendidikan ini. Guru tetap menjadi kunci utama atau instrument utama penanaman karakter-karakter itu. Bukan hanya satu, dua, atau tiga saja namun 18. Susah? Itu justru yang dinamakan tantangan.
Bully adalah salah satu bentuk kekerasan yang diidolakan anak sekolah, bahkan menjadi tradisi di sekolah. Senior dan junior syarat akan kekerasan. Entah dengan atau tanpa sepengatahuan guru. Sekolah haruslah Anti dengan Kekerasan! Masa orientasi jangan digunakan sebagai alasan. Seharusnya masa perkenalan menjadi hal yang menyenangkan, karena akan menciptakan kesan pada siswa baru namun disalahgunakan. Untuk hal ini sekolah kini telah menyetting ulang Masa Orientasinya. Mungkin karena adanya pendidikan karakter jadi malu dong,kalau sekolah masih menerapkan bentak-bentak yang justru disalahgunakan, disalah tafsirkan, “bukannya tegas malah keras”. Revolusi. NoBullying. No kekerasan.
Beda halnya dengan tawuran, fenomena ini benar-benar menyita waktu banyak orang untuk menggelengkan kepalanya. Heran. Bahkan pengamat pendidikan maupun sosiolog juga ikut heran. Tawuran ini bahkan tak jarang melibatkan anak SMP yang notabene merupakan Anak Baru Gede (ABG). Tak jarang mereka masih menggunakan seragamnya. Mengapa pada usia itu sudah memiliki nyali. Tak tanggung-tanggung nyawa pun dipertaruhkan. Nama orang tua digadaikan, untuk menjemputnya di kantor polisi ketika tertangkap.
Degradasi moral anak bangsa kini semakin mengerikan untuk diikuti. Tawuran seolah menjadi hal biasa bagi anak sekolah jaman sekarang ini. Cek-cok sedikit diselesaikan dijalanan. Padahal mereka sebenarnya mengerti arti musyawarah. Seiring dengan lahirnya pendidikan karakter ternyata berita kekerasan anak sekolah masih saja betah menjadi hot news pendidikan Indonesia. Sudah tawuran pakai seragam pula.
Gear dan sabuk bukan buku dan bolpen rupanya. Mereka lebih senang dengan benda-benda yang menurutnya bisa membuatnya aman dan pas untuk perlawanan. Kok bisa? Entahlah. Bagaimana mau Menjadi Indonesia kalau taruwan saja hal biasa? Jelas saja itu bukan Indonesia ketika membiarkan pertumpahan darah terjadi dengan mudah pada anak-anak Indonesia. Mereka belum paham makna kedamaian. Yang mereka tahu damai adalah bila yang dianggapnya musuh telah tiada. Sungguh ironis memang, ketika pendidikan yang digadang-gadang saat ini telah berkarakter namun belum menjadi output(lulusan) saja anak-anak ini sudah bertingkah urakan.Lalu bagaimana kalau sudah lulus mau menjadi preman?
Tawuran justru kini menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat apalagi di perkotaan yang seharusnya memiliki pemikiran yang lebih maju dibanding dengan anak-anak sekolah yang berada di desa. Bahkan tawuran justru menjadi kegiatan turun menurun bagi mereka. Bukannya asik membaca buku namun justru mereka lebih tertarik bagaiman membalaskan dendam, bagaimana menunjukkan keperkasaan mereka pada musuh mereka.
Dimana nurani? Bukankah menjadi Indonesia seharusnya menjadi warga negara, menjadi anak indonesia yang menjunjung tinggi kedamaian. Itu saja baru anak yang memakai seragam, lalu bagaimana anak-anak yang tidak mampu mengenyam pendidikan. Siapa yang mampu menjamin mereka memiliki karakter yang baik. Padahal karakter merupakan kunci utama negara saat ini.
Menjadi Indonesia perkara yang mudah sebenarnya, tujuannya pun mulia. Kedamaian yang menjadi ekspektasinya. Jaman memang terus saja berkembang, emosi pun begitu pula. Tambah jaman tambah emosi.Dengan adanya pendidikan karakter sebenarnya digunakan untuk membentuk suatu kontrol di jiwa anak-anak sehingga membuat anak mampu mengendalikan dirinya. Itu harapannya. Ada sebuah alarm yang diharapkan berbunyi ketika anak melanggar.
Nurani, itulah alarm mereka. Bagian dari hati terdalam mereka. Masih adanya tawuran pelajar setelah adanya pendidikan karakter ini membuktikan bahwa sesungguhnya guru memang belum bisa menjadi yang utama menangani karakter anak-anak Indonesia masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi pembentukan arakter dan seharusnya dikaji ulang.
Menjadi Indonesia yang berkarakter memang begitu sangat diharapkan. Apalagi ketika kasus-kasus mencuat yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi. Ini membuktikan para pejabat ternyata mengalami krisis karakter. Menjadi pejabat tak hanya memiliki pedidikan yang tinggi, harta yang melimpah namun harusnya karakter menjadi syarat utamanya.
Yang berpendidikan saja belum menjamin menjadikan manusia berkarakter. Justru tak jarang yang tidak berpendidikan memiliki karakter yang perlu diacungi jempol. Sungguh pelik memang ketika pendidikan di sekolah diberi tantangan untuk membentuk karakter. Seakan hanya sekolah saja yang ditugasi hal penting itu.
Menjadi Indonesia kini memang benar-benar dibutuhkan negara ini. Menjadi warga yang mengerti penuh apa yang dibutuhkan negaranya. Bukan hanya dana untuk menutup krisis ekonomi saja namun juga karakter untuk memperbaiki krisis karakter yang hingga kini masih saja menjadi mimpi buruk.
Mimpi buruk hanya bisa berakhir ketika kita terbangun dari tidur. Maka dari itu semoga kita segera terbangun lalu memperbaiki apa yang harus diperbaiki. Menghapus segala yang seharusnya tidak diharapkan dengan mencuci apa yang kotor. Pendidikan yang diharapkan menjadi deterjen untuk menghilangkan nodanya maka semoga berjalan dengan baik. Semoga nurani berjalan sebagaiman tugasnya menjadi alarm bagi anak-anak yang masih mencari jati dirinya.
Tawuran mungkin saja caranya namun bukan menjadikannya hal yang harus sehingga pendidikan mampu mengarahkan dan menghidupkan nurani secepat mungkin. Siapa lagi kalau bukan anak-anak Indonesia yang akan menjalankan negara yang telah diperjuangkan oleh pahlawan-pahlawan ini untuk terus ada di muka bumi hingga sekarang ini.
Menjadi Indonesia yang merapikan segera apa yang sekiranya masih berserak. Merapikan anak-anak Indonesia, karakter mereka. Menata sehingga mereka tahu mana yang harus diawalkan dan diakhirkan. Mana yang harus ditaati mana yang harus ditinggalkan. Mana yang kewajiban mana yang hak. Mana yang harus diselesaikan mana yang harus dilanjutkan.
Hingga jadilah Indonesia seperti apa yang diinginkan para pahlawan.
(ErmaAlfianaSenja)
_Telah dimuat dalam Majalah FIGUR FKIP UMS_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H