Perempuan itu muncul dalam kehidupannya belum lama ini. Namanya Rima. Usianya lebih muda sekitar tiga tahun dari Denting. Wajahnya manis, berkesan ramah. Sifatnya cenderung manja (kalau tidak boleh disebut menuntut perhatian). Mereka akrab begitu saja. Rima kerap curhat tentang apa saja kepada Denting. Bahkan untuk hal-hal sepele pun, Rima mencarinya. Tak kenal waktu. Pagi, siang, atau malam. Tak puas telpon berjam-jam, kadang Rima bisa mendadak muncul di kamar kost.
Denting mengenalnya lewat Prasasti. Laki-laki bermata teduh yang sudah setahun ini mengisi hatinya.
Mulanya tidak ada yang merisaukan. Selain kepadanya, Rima memang kerap bermanja-manja kepada orang lain, termasuk kepada Prasasti. Jadi, ketika diketahuinya kalau Rima kerap menghubungi Prasasti, Denting menganggap biasa saja. Bukankah sebelum kehadiran Denting dalam hidup Prasasti, mereka sudah lebih dulu bersahabat?
Sampai sekitar seminggu terakhir. Diam-diam menyelinap rasa cemburu Denting terhadap Rima.
*****
“Mbaaaak …..”! teriakan Rima terdengar dari teras depan.
Tak sampai lima menit, si pemilik suara muncul di depan kamar. Menghambur masuk tanpa merasa perlu mengucapkan salam. Begitulah Rima.
Hari ini, Denting berniat menyelesaikan membaca semua buku yang sudah dibelinya sejak hampir sebulan lalu. Menekuni berlembar-lembar aksara, adalah salah satu hobi Denting. Sudah menjadi kebiasaannya, menyimpan bertumpuk buku atau novel, lalu membacanya ketika waktu luang. Sebuah ketenangan yang belum tergantikan dengan apapun.
Kedatangan Rima sore ini membuyarkan ketenangan itu. “Darimana Rima? Sore-sore nyampe disini”
“Aku lagi bete nih Mbak” ujar Rima terlihat kesal. Pertanyaan Denting tak dijawabnya. Perempuan berambut sebahu itu justru merebahkan tubuh ke tempat tidur.
Denting menutup novel dalam genggaman. Baru pada halaman kesepuluh. Bangun dari kursi, dia memutuskan menyimpan lagi novel itu di rak mungil yang berada di sudut kamar.
“Bete? Kenapa lagi?” Didekatinya Rima yang tengkurap sambil memeluk bantal. Bersiap dengan curhatan Rima. Seperti biasa.
“Aku kesel sama dia Mbak, di sms nggak bales. Telpon nggak di angkat. Dia benar-benar mau lupain aku kayaknya”.
Masih masalah yang sama.
Selama ini, curhatan Rima memang selalu tentang “seseorang” itu. Seseorang yang membuat Rima sering menghubungi Denting. Untuk mendengarkan keluh-kesahnya, kerinduannya, juga kenangannya. Tentang laki-laki yang disembunyikan identitasnya dari Denting. Entah untuk alasan apa.
Terkadang Denting jenuh. Mendengarkan sesuatu yang tak jelas ujung pangkalnya. Tapi Denting tak bisa mengabaikan Rima. Ada perasaan tidak tega. Nampaknya Rima butuh teman bercerita.
“Cobalah bersabar Ri, mungkin dia sedang sibuk. Kalau kamu memang mencintainya, kamu harus memahami keadaannya. Buang jauh-jauh buruk sangka” Denting memberi masukan.
“Tapi aku kangeeen sama dia Mbak. Dulu, dia nggak pernah absen telpon atau sms aku. Sesibuk apapun. Kenapa sekarang tiba-tiba dia menjauh”.
“Waktu komunikasi terakhir kemarin, dia bilang apa?”
“Dia Cuma bilang, kalo sekarang pekerjaannya lagi banyak. Jadi nggak bisa sering-sering hubungi aku. Tapi masak iya sih, sms atau telpon aja nggak sempet? Udah dua hari Mbak”
Rima selalu berputar-putar pada perasaan rindu pada seseorang, tanpa menguraikan bentuk hubungan mereka secara jelas. Apakah sedang pendekatan, ataukah seseorang itu adalah kekasihnya. Bahkan, Rima selalu mengelak setiap kali ditanya siapa laki-laki yang membuatnya uring-uringan siang-malam.
“Terus apa yang bisa kubantu Ri? Siapa dia aja aku nggak tahu”
“Nanti deh, ada saatnya Mbak kukenalin sama dia”
“Hmm….kamu benar-benar kangen dia ya?”
“Iya Mbak. Dia itu laki-laki yang sangat romantis, sabar, penyayang. Dia sering bilang aku ini separuh akunya. Dia juga pandai membuat kalimat indah. Puisi-puisinya bikin hatiku leleh”.
Puisi?
Tiba-tiba Denting gundah. Beberapa kali Rima bilang kalau seseorang itu suka menulis puisi. Walaupun tidak bisa meraba dengan pasti, terkadang Denting merasa laki-laki yang dirindukan Rima adalah Prasasti, kekasihnya.
Puisi adalah Prasasti. Yang membuat Denting jatuh cintapun, diantaranya adalah karena puisi. Kelihaian laki-laki tercintanya dalam berpuisi, tidak diragukan lagi. Entah sudah berapa bait puisi yang dia larikkan untuk Denting. Melalui puisi, mereka berkomunikasi. Sebesar apapun perbedaan, terpahami dengan puisi. Selama apapun jarak memisahkan, menjadi dekat karena puisi. Puisi menjadi sebuah ikatan yang menyatukan batin.
Dan Denting semakin gundah.
*****
Meski jarang bertemu, hubungan Denting dan Prasasti sejauh ini selalu baik-baik saja. Denting memahami seabrek aktifitas Prasasti, demikian juga Prasasti mengerti padatnya aktifitas Denting. Komunikasi mereka tetap terjaga baik melalui telpon atau media jejaring sosial. Nyaris setiap malam mereka berbincang lewat jejaring sosial facebook. Di beranda mereka bertaburan bait-bait puisi kerinduan. Bercanda, bercengkrama, saling bertukar cerita. Kalau ada sesuatu yang mengganjal, biasanya mereka akan bicara terbuka. Dari hati ke hati.
Maka ketika memiliki waktu luang, pertemuan adalah hal yang paling membahagiakan. Seperti Minggu ini. Sejak siang, mereka menyusuri pasir pantai. Bermain ombak. Menikmati laut.
“Makasih ya Pras, untuk hari ini. Aku bahagia” ucap Denting sepenuh hati. Tulus.
Prasasti tersenyum lebar “Sama-sama sayang. Aku juga berterimakasih untuk semua yang kita miliki”
“Kalo udah di laut sama kamu gini, rasanya nggak mau pulang. Pinginnya disini aja sampai besok dan besoknya lagi” ujar Denting riang.
“Boleh…kita nggak usah pulang. Tapi minimal harus seminggu. Kita nikmati laut dari senja hingga ke fajar, dari fajar sampai ke senja lagi. Nggak usah mikirin kerjaan. Nggak usah mikirin apa kata orang. Berani nggak?” Pras menggoda Denting. Dia tahu betul sifat kekasihnya yang tak bisa berlama-lama meninggalkan pekerjaan.
Denting mencubit pinggang Pras. Gemas. “Nantang nih? Oke. Nanti ya, kapan-kapan kita agendakan. Aku juga bisa nekat, tahu” Nada bicara Denting antara bimbang dan berusaha terlihat meyakinkan
Prasasti tak bisa menahan tawa mendengarnya. “Ooh…gitu ya? Oke…kalau begitu aku tunggu kenekatanmu”
Denting tergelak. Prasasti tak habis-habis memberi kebahagiaan buatnya. Dengan tawanya, kalimat-kalimatnya, sikapnya, bahkan diamnya.
Tiba-tiba ponsel Prasasti bergetar. Ada pesan masuk. Prasasti mengerutkan kening sejenak. Lalu menatap Denting.
Merasa ada sesuatu, Denting bertanya hati-hati “Kenapa? Sms dari siapa?”
“Dari Rima nih” jawab Prasasti, sambil mengamati layar ponsel.
Mendengar nama Rima, perasaan Denting sedikit risau. Namun ditutupinya dengan senyuman. “Kenapa dia?”
“Hmm….dia minta dibuatin puisi.”
“Ooh…iya, dia menggemari puisi-puisimu. Terus, mau dibuatin?”
“Menurutmu gimana? Dibuatin nggak?”
Denting terdiam. Di satu sisi, hatinya ingin melarang, tapi sisi hati yang lain memintanya membiarkan.
Itu cuma puisi, Denting. Tak ada yang perlu kamu risaukan. Biarkan.
“Dibuatin aja Pras, yang bagus ya. Harus professional melayani penggemar” ujar Denting sambil tertawa kecil. Dia berharap, tawanya mampu mengusir risau yang mendadak memekat.
*****
Denting jarang merasa cemburu. Dia paham bahwa Prasasati adalah laki-laki baik, yang tak segan mengulurkan tangan kepada teman yang membutuhkan. Termasuk kepada teman-teman perempuannya. Sikap ramah dan kebaikan Prasasti, murni sebuah ketulusan. Itu salah satu hal yang dikaguminya dari Prasasti. Tak heran jika Prasasti disukai banyak orang.
Namun kali ini, Denting seperti kehilangan pikiran jernih. Dia tidak mengerti dan bingung dengan perasaannya. Setelah membuka dinding facebook Rima sore tadi, tiba-tiba dia seperti tidak mengenal dirinya sendiri. Denting yang selalu bisa memahami, percaya dan mengerti Prasasti, sekarang limbung. Denting cemburu. Sudah diusirnya semua dugaan buruk yang menyelinap di pikirannya. Tapi seperti sia-sia, kecemburuan itu semakin mengepungnya.
Mungkinkah hubungan Prasasti dan Rima lebih dari sekedar teman? Apakah aku terlalu bodoh mengartikan sikap mereka selama ini?
Sebait puisi di dinding facebook Rima. Dari Prasasti. Melukiskan sebuah kerinduan mendalam disana. Berulang-ulang dibacanya puisi tersebut. Meyakinkan hati bahwa itu sekedar puisi. Prasasti menuliskannya karena permintaan Rima. Tapi Denting tak bisa membohongi hatinya. Denting sedih. Untuk pertamakalinya, sejak hari-hari bahagianya bersama Prasasti.
Bukankah menuliskan puisi, sedikit banyak melibatkan perasaan. Bagaimana bisa Prasasti membuatkan puisi seindah itu untuk Rima, jika sama sekali tidak ada rasa. Mungkinkah?
Denting terisak. Airmatanya luruh. Sungguh, dia benci menangis untuk hal seperti ini.
Di atas tempat tidur, ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Prasasti. Dibiarkannya sampai dering ponsel berhenti.
Aku nggak mau bicara sekarang. Dengan perasaanku yang seperti ini.
Satu menit kemudian, ponsel kembali berdering. Denting memandanginya nanar. Dia masih ingin bertahan. Tapi bayangan wajah teduh Prasasti, meluluhkannya. Sebelum panggilan berakhir, segera diraihnya ponsel. Buru-buru ditekannya tombol ‘jawab’.
“Haloo….Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam, sayang. Kok lama angkat telponnya. Lagi sibuk ya?”
Denting menarik napas. Membenahi sisa isaknya agar tak terdengar di seberang. Namun nampaknya tak berhasil.
“Lho…kamu lagi nangis ya? Kenapa? Ada apa?”
“Hhmm…nggak kok, nggak papa. Aku baik-baik aja”
Tapi Prasasti mengenal Denting. Dia tahu ada yang disembunyikan perempuan tercintanya.
“Boleh aku tebak?” Tanya Prasasti.
“Apanya yang mau ditebak?” jawab Denting terbata.
“Ini tentang puisiku buat Rima ya? Tadi aku kirim puisi pesanan Rima ke dinding facebooknya. Sebelumnya, aku ingin bilang tentang ini langsung padamu. Tapi sepertinya kamu sudah tahu lebih dulu”. Dengan sabar, Prasasti mengajak Denting bicara. Meski tidak memberi penjelasan apa-apa, Prasasti mengerti penyebab isak perempuannya.
Dalam banyak hal, dalam banyak kesempatan, Prasasti dan Denting memang bisa saling menerka perasan. Tanpa banyak penjelasan, Prasasti atau Denting sama-sama mengerti apa yang sedang dirasakan. Terutama saat ini. Prasasti bisa merasakan gejolak perasaan Denting. Sekeras apapun Denting mengelak.
“Iya. Aku udah baca. Puisinya bagus” di gigitnya bibir untuk menahan luapan perasaan. Denting tidak mau menjadi emosional di depan Prasasti.
“Aku hanya memenuhi permintaan Rima. Udah kuceritakan kemarin kan? Maaf, itu melukaimu ya? Kamu cemburu?” Prasasti memang tidak mau berlama-lama ketika ada sesuatu. Apalagi jika menyangkut hubungannya dengan Denting. Masalah apapun, sebisa mungkin diselesaikan secepatnya. Prasasti tidak pernah ingin melukai Denting.
“Nggak apa-apa kok. Cuma tiba-tiba aja aku merasa….” Dihelanya nafas, sebelum melanjutkan “Iya, aku cemburu”. Bibir Denting bergetar. Dia mulai tidak mampu menguasai emosi. Maka sebelum keadaan tidak terkendali, diputuskannya untuk mengakhiri percakapan. “Sudah ya Pras, ditutup aja telponnya. Aku lagi nggak ingin bicara sekarang”.
Tak ada suara di ujung sana. Nampaknya Prasasti sedang berusaha memahami perasaan Denting.
Beberapa detik kemudian, terdengar kalimat Prasasti. Menyimpan duka. “Ya sudah. Mungkin sekarang kamu sedang ingin sendiri. Maafkan aku sayang. Aku nggak peka terhadap perasaanmu. Maaf, aku sudah melukaimu. Aku tutup telponnya ya. Wassalamu’alaikum”
“Waalaikumsalam”
Setelahnya, Denting terdiam sambil memandangi langit-langit kamar. Dibayangkannya Prasasti. Diam-diam dia menyesal, merasa sudah melukai Prasasti dengan cemburunya. Padahal, soal puisi itu Prasasti sudah minta izin padanya. Dan dia mengizinkan.
Mungkin Rima menyukai Prasasti. Bisa jadi. Tapi bukan berarti Prasasti juga menyukai Rima.
Prasasti bukan tipe laki-laki yang suka bermain-main dengan perempuan. Denting yakin itu. Cinta Prasasti adalah untuk Denting. Prasasti yang selalu memahaminya. Yang selalu menjaga perasaannya.
Diraihnya ponsel disamping tubuhnya, bermaksud mengirim pesan kepada Prasasti. Dia ingin minta maaf. Meluruskan semuanya. Lalu ponselnya bergetar. Ada pesan masuk. Prasasti.
Hatiku tiba-tiba saja tersayat sembilu. Aku, dan semua keterbatasanku. Maaf….
Ada yang nyeri ketika membaca kalimat itu. Denting tidak tahan. Dia sudah melukai kekasihnya. Tak menunggu lama, dibalasnya pesan Prasasti.
Maafkan aku. Tidak seharusnya aku bersikap begitu. Maaf.
Tak menunggu lama, ponsel Denting kembali bergetar.
Tak apa sayang. Aku yang tidak memahami perasaanmu. Puisi adalah bahasa batin kita. Aku berjanji, tidak akan membuatkan puisi untuk perempuan manapun, selain kamu”.
Selanjutnya, mereka saling berkirim pesan. Saling memahami. Saling mengerti. Tak butuh waktu lama. Tak ada yang tahan ketika merasa saling melukai. Cinta mereka menyelesaikan semuanya. Dan malam itu, Denting terlelap dengan sebuah senyuman.
******
Sore yang cerah. Ditemani dua cangkir teh hangat dan setoples kue kering, dua sahabat itu berbincang di kamar. Seperti biasa, Denting lebih banyak menjadi pendengar.
“Kemarin dia sms, Mbak. Katanya, dia lagi fokus dengan kerjaannya. Untuk sementara nggak bisa menghubungiku dulu, sampai pekerjaannya selesai. Aku akan coba mengerti. Kayak saran Mbak tempo hari” ujar Rima bertubi-tubi.
Tidak seperti ketika terakhir bertemu, hari ini Rima lebih gembira.
“Bagus dong. Dengan begitu kamu akan lebih tenang. Sibukkan aja hari-harimu dengan aktifitas bermanfaat, sambil menunggu dia menghubungimu lagi” Meskipun kadang jenuh dengan cerita Rima, sebisa mungkin Denting menyimaknya. Memberi masukan yang sekira bisa meringankan kegalauan Rima.
“Iya Mbak. Walaupun aku kangen banget. Pingin berantem sama dia. Pingin ditelpon setiap dia berangkat atau pulang kerja. Dan pingin dikirimi puisi-puisinya”
Deg. Dada Denting berdetak.
Puisi itu.
“Nah, gitu dong. Terus kapan aku dikenalin sama seseorangmu itu?” Tanya Denting pelan. Ada sedikit getaran dalam suaranya.