Aku terlahir bukan sebagai anak indigo yang bisa melihat mereka yang tak kasat mata. Akan tetapi anehnya, dalam beberapa kali kesempatan mereka selalu menampakkan diri. Membuat aku terkadang suka merasa kesal.
Aku selalu berkata dalam hati, berharap mereka mendengar apa yang aku ucapkan.
"Hai semua makhluk astral yang tak kasat mata. Kalian boleh kok kalau mau nunjukin diri di hadapanku. Tapi dengan satu syarat. Jangan menunjukkan wajah atau bentuk yang menakutkan."
Sayangnya entah mereka tidak mengerti apa yang aku ucapkan ataukah mereka memang tidak mau mendengar. Sehingga kejadian menyeramkan itu pun terjadi.
Masih teringat jelas di dalam memori ingatanku. Saat itu aku masih sekolah kelas 4 SD. Rumahku yang hanya memiliki toilet berukuran kecil dengan air yang sedikit kuning, membuat kami selalu pergi ke sumur umum jika hendak mencuci baju atau mengambil air untuk dimasak dan diminum.
Sumur umum itu memang memiliki air yang jernih. Sehingga hampir semua warga di daerah kami selalu menjadikan sumur itu menjadi sumber air bagi kehidupan sehari-hari. Bertempat di sebuah gang kecil yang hanya bisa dilewati oleh orang berjalan saja.
Banyak masyarakat bilang jika di dalam sumur itu ada penunggunya. Oleh karena itu banyak juga warga yang melarang anggota keluarganya untuk membawa anak balita apalagi masih bayi bermain kesana. Dan pendapatku? Aku pikir dimanapun tempat selalu ada saja penunggunya. Tinggal bagaimana kita bersikap saja.
Malam itu tepat pukul setengah 8 malam, aku baru saja pulang mengaji di masjid. Seperti biasa, namanya anak-anak, mereka selalu saja bermain dan juga bercanda. Ada beberapa orang berlari dari arah gang yang menuju ke tempat sumur umum itu. Mereka teman sebayaku. Dan mereka berkata jika ada hantu perempuan masuk ke dalam sumur itu.
"Ayolah! Yang benar saja. Ini kan baru jam setengah delapan. Itu setan mainnya kepagian apa kesorean?" candaku. Aku berkata demikian karena aku pikir mereka juga sama sedang bercanda. Namanya anak laki-laki, mereka selalu saja menakut-nakuti anak-anak perempuan, pikirku.
"Ini serius, Sar. Aku gak bercanda," jawab salah satu temanku yang bernama Dani. Dani adalah tetanggaku. Rumahnya berdampingan dengan rumahku.
Jarak dari masjid ke rumah memang tidak terlalu jauh. Akan tetapi jika kami akan mengaji, kami harus melewati gang yang menuju ke arah sumur itu. Memang tak bisa aku pungkiri, gang itu tampak sangat gelap jika di malam hari. Apalagi malam itu lampu penerangan yang dipasang oleh warga sepertinya sedang sekarat. Cahayanya redup dan hampir tidak menyala sama sekali.
"Eh, lagian ngapain kalian malah main ke gang itu? Bukannya sholat isya, malah kabur," jawabku lagi.
"Biasa, main petasan disana," jawab Dani sambil tersenyum kikuk. Tangannya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Aku mendelik.
"Hmm pemalasan. Udah ah ayo pulang, Ra!" ajakku pada teman perempuanku.
"Kamu yakin mau pulang sekarang, Sar? Apa gak nanti aja bareng Pak ustad?" tanya Mira dengan raut wajah ragu.
"Kamu percaya sama omongannya Dani, Ra?" tanyaku tapi Mira tidak menjawab.
Karena kesal, aku pun akhirnya memutuskan untuk pulang sendiri saja. Sedikit rasa takut memang aku rasakan. Ya bagaimanapun juga aku seorang wanita biasa yang punya rasa takut sama yang namanya setan. Tapi, aku juga tidak bisa menunggu lagi. Pekerjaan rumahku masih banyak dan aku gak mau jika harus sampai begadang.
Pada saat langkahku mendekati gang menuju sumur umum itu, bulu kudukku mulai meremang.
"Astagfirullah. Ada apa ini?" gumamku sambil mengusap-usap leher belakangku.
Udara saat itu menjadi terasa lebih dingin dari sebelumnya. Aku mencoba untuk mengabaikan semua keanehan yang terjadi dan fokus ke arah jalan saja. Akan tetapi saat aku melewati gang gelap tersebut, aku melihat seorang wanita berpakaian putih sedang berdiri di dekat sumur. Rambutnya terurai basah dan wajahnya begitu pucat.
Bodohnya, aku malah terpaku melihat wanita itu. Aku tidak mengerti apa yang terjadi tapi ketika aku melihat sosok itu, kesadaranku seperti hilang. Aku merasa seperti berpindah ke sebuah tempat yang sangat luas dan juga gelap. Jantungku tiba-tiba saja berdetak sangat cepat. Tubuhku semakin bergetar apalagi saat aku melihat sosok wanita itu mulai melayang mendekatiku.
"Sar, kamu lagi apa?"
Tepukan tangan di pundakku, menyadarkan aku dari semua keanehan itu. Pandanganku seperti kembali dan aku bisa melihat jalanan yang biasa lagi.
"Mira?" ucapku lirih. Dia tersenyum.
"Aku khawatir sama kamu jadi aku susul kamu aja. Eh, taunya kamu malah ngelamun disini," ucapnya. Aku tersenyum. Sekilas aku melihat ke arah gang sumur itu tapi sosok wanita tadi sudah tidak ada.
***
Beberapa hari berlalu. Tepat di hari Minggu subuh, aku ikut ibuku pergi ke sumur umum untuk mencuci. Kami memang selalu mencuci dari subuh sebelum adzan karena jika agak siang, sumur umum itu selalu ramai. Terkadang kami jadi tidak kebagian tempat untuk mencuci.
Sebenarnya agak berat aku menginjakkan kaki di sumur umum itu. Bagaimana tidak? Kejadian beberapa hari yang lalu nyatanya sangat membekas di otakku. Apalagi bayangan wajah sosok wanita pucat itu. Benar-benar menyeramkan. Tapi aku juga tidak mungkin membiarkan ibuku mencuci sendirian subuh hari disana, bukan?
Awalnya semua berjalan seperti biasa. Kami berjongkok dan mencuci pakaian berdua. Beberapa ember sudah penuh terisi air yang sebelumnya ditimba oleh ibu. Selama mencuci tersebut, aku sama sekali tak berani menatap ke arah sumur tersebut. Entah mengapa tapi aku merasa ada sesuatu disana yang sedang menatapku.
"Ah mungkin hanya perasaanku saja," ucapku membatin.
"Neng, tolong isi lagi air untuk membilas!" ucap Ibuku.
Aku sedikit mematung mendapat perintah itu. Bagaimana ini? Sosok hantu wanita tempo hari benar-benar membuat aku sedikit paranoid dengan sumur itu. Tapi aku tidak mungkin mengatakan semua kejadian kemarin kepada ibu.
Aku menelan saliva dengan sedikit keras. Tubuhku seketika bergetar saat aku melihat dinding sumur itu.
"Kenapa neng?" tanya ibuku. Mungkin dia heran kenapa aku masih berdiri saja. Aku menggelengkan kepala.
Aku pun mulai melangkah perlahan mendekati sumur itu. Timbaan pertama aman, timbaan kedua juga aman, dan sewaktu aku akan menimba air untuk yang ketiga kalinya, aku melihat dari bawah sumur, bayangan hantu wanita itu kembali muncul. Seluruh wajahnya penuh dengan darah. Matanya melotot tajam dan rambut yang tetap basah.
Bayangan wanita itu naik dengan sangat cepat dan menarik tanganku. Ibu yang melihat kakiku sudah naik dan tubuhku hampir saja masuk ke dalam sumur, langsung berlari dan menggenggam baju belakangku. Dengan sekuat tenaga, Ibu menarik tubuhku agar tidak jatuh ke dalam sumur itu. Dan alhamdulillah aku masih bisa selamat.
Semenjak kejadian itu, aku tidak pernah datang ke sumur umum itu lagi. Sampai akhirnya aku pindah rumah. Dan terakhir kabar yang aku dengar katanya sumur itu sudah ditutup karena airnya yang berubah menjadi kotor.
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H