DAMPAK REPELITA I-III RENCANA PEMBANGUNAN LIMA TAHUN MASA ORDE BARU
Pelita I dan pelaksanaannya (1969-1974).
Pelita I dicanangkan pada tahun 1969, tepatnya pada tanggal 1 April. Pelita I bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya, sedangkan sasaran yang hendak dicapai ialah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Berikut adalah kutipan kalimat yang terdapat dalam buku Pedomen Repelita:
“Peningkatan produksi pangan bertujuan agar Indonesia dalam waktu lima tahun jang akan datang tidak usah mengimpor beras lagi. Tudjuan lain ialah memperbaiki mutu gizi pola konsumsi manusia Indonesia melalui peningkatan produksi pangan jang mengandung chewani dan nabati, terutama ikan dan katjang-katjangan. Akibat positif dari peningkatan produsi beras ialah bahwa lambat laun tidak perlu lagi mengimpor pangan, sehingga dengan demikian, devisa jang langka itu dapat digunakan untuk mengimpor barang modal dan bahan baku jang diperlukan untuk pembangunan sektor-sektor lain, terutama sektor industri. Selanjutnja, peningkatan produksi pangan akan meningkatkan taraf penghidupan para petani jang telah sekian lamanya hidup dalam serba kesengsaraan dan kemiskinan.”
Pelita II dan pelaksanaannya (1974 - 1979).
Setelah keberhasilan dari hasil pada Repelita I, pembangunan lantas dilanjutkan kembali yakni dengan program Repelita II. Adanya Repelita II yang dilangsungkan pada 1 April 1974 ini menandai kelanjutan pembangunan dari Repelita I dengan sasaran utama yaitu:
- Tersedianya pangan dan sandang yang serba cukup dengan mutu yang lebih baik.
- Tersediannya bahan-bahan perumahan dan fasilitas-fasilitas lain yang diperlukan, terutama untuk kepentingan rakyat banyak.
- Keadaan prasarana yang semakin meluas dan sempurna.
- Kesejahteran rakyat dan meluasnya kesempatan kerja.
Pelita III dan pelaksanaannya (1979 - 1984).
Tidak jauh berbeda dengan rencana pembangunan nasional sebelumnya pada Repelita I dan Repelita II, Repelita III merupakan kelanjutan selanjutnya. Program ini dilaksanakan pada 1 April 1979 hingga berakhir pada 31 Maret 1984. Asas yang dipakai dalam pembangunan tak jauh berbeda seperti pada Trilogi pembangunan dengan fokus pada pemerataan. Pemerataan ini sendiri memiliki berbagai langkah dan kegiatan yakni seperti :
- Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak.
- Kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
- Pembagian pendapaatan.
- Kesempatan kerja.
- Kesempatan berusaha.
- Kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.
- Penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air
- Memperoleh keadilan.
Dampak Pelita I
Dalam bidang pertanian, Pelita I memberikan dampak positif. Dengan meningkatnya sebagian besar hasil pertanian. Beras naik rata-rata 4% setahun, produksi kayu khususnya kayu rimba naik rata-rata 37,4% setahun. Selain perkembangan yang semakin membaik di bidang pertanian, terdapat pula perkembangan yang kurang menggembirakan di bidang produksi umbi-umbian, kelapa, kopi, teh, dan kapas.
Pada sektor perikanan memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Ekspor ikan, terutama udang, naik rata-rata 62% setahun. Dengan membaiknya iklim ekonomi di Indonesia menjadikan para penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing tertarik untuk menanamkan modalnya. Untuk sektor produksi industri terjadi peningkatan, antara lain produksi semen mengalami kenaikan sebesar 51%. Industri tekstil mengalami kemajuan, benang tenun meningkat dari 177.000 bal menjadi 316.247 bal. Sedangkan bahan tekstil meningkat dari 449,8 juta menjadi 920 juta meter. Pembangunan kesehatan dilakukan dengan membangun sarana kesehatan, jumlah Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA) dalam tahun 1973 meningkat menjadi 6801 buah. Jumlah puskesmas meningkat dari 1227 buah dalam tahun 1969 menjadi 2343 buah dalam tahun 1973.
Dampak negarif dapat dilihat dari adanya dana atau anggaran yang di habiskan demi berlangsungnya maupun terlaksananya Pelita. Dana yang di pakai ada pula yang berasal dari kredit maupun re-investasi dengan perusahaan asing. Di lain sisi hal tersebut menjadikan Indonesia memiliki ketergantungan dengan pihak asing.
Dampak Pelita II
Pada Repelita II, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% setahun. Pada masa awal pemerintahan Orde baru (1966) laju inflasi mencapai 650%. Pada masa akhir Repelita I laju inflasi adalah 47%, sedangkan dalam tahun keempat Repelita II turun menjadi 9,5%. Pada sektor pertanian terdapat kenaikan yang mencolok, antara lain pada kelapa sawit dan teh.
Pada Pelita II, pemerintah berhasil menekan laju inflasi yang tinggi yang mana adanya inflasi tersebut menyebabkan adanya tingkat ketergantungan dengan asing yang tinggi. Untuk mensiasati kondisi seperti itu, pemerintah ingin mengurangi adanya ketergantungan tersebut dengan peningkatan kegiatan ekspor dan penstabilan kegiatan ekonomi. Hasil dari kegiatan ekspor ke luar negeri membuahkan hasil untuk membayar segala macam dana pinjaman berupa kredit berjangka waktu panjang, sedang maupun pendek.
Di bidang industri, produksi tekstil meningkat dari 900 juta menjadi 1,3 miliar meter. Indonesia yang dulunya mengimpor pupuk urea, pada periode ini sudah mengekspor pupuk terutama ke negara-negara ASEAN. Produksi semen menunjukkan kenaikan yang signifikan dari 900 ribu ton menjadi 5 juta ton. Sehingga Indonesia bisa mengekspor semen ke luar negeri, seperti Australia, beberapa negara Eropa, dan juga negara-negara ASEAN.
Dampak Pelita III
Perekonomian pada periode ini masih sangat dipengaruhi oleh kebijaksanaan devaluasi November 1978, juga oleh resesi dunia yang sulit diramalkan kapan akan berakhir. Kebijaksanaan yang sifatnya mendukung kebijaksanaan November 1978 banyak dilakukan, khususnya yang bertujuan untuk memperlancar arus barang. Dalam periode ini kebijaksanaan tersebut dilakukan pada Januari 1982. Inti dari kebijaksanaan ini adalah memberi keringanan persyaratan kredit ekspor, penurunan biaya gudang serta biaya pelabuhan. Disamping itu eksportir dibebaskan dari kewajuban menjual devisa yang diperolehnya dari hasil ekspor barang atau jasa kepada Bank Indonesia. Dengan perkataan lain eksportiers ekarang bebas memiliki devisa yang diperolehnya.
Di bidang impor juga diberikan keringannan bea masuk dan PPN impor untuk barang-barang tertentu. Kemudian dalam rangka meningkatkan ekspor, Januari 1983 pemerintah memberlakukan kebijaksanaan imbal-beli (counter purches). Di bidang penerimaan pemerintah menaikan biaya fiskal keluar negeri dari Rp.25.000,- menjadi Rp. 150.000,-. Sementara itu dalam bidang perpajakan mulai diberlakukan pungutan atas dasar undang-undang pajak yang baru.
Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh resesi dunia yang belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada kecendrungan harga minyak yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun terakhir Repelita III. Keadaan ini membuat posisis neraca pembayaran Indonesia semakin buruk. Untuk mengatasi ancaman ini, juga dalam rangka meningkatkan daya saing produk Indonesia, pemerintah memberlakukan devaluasi rupiah terhadap US$ sebesar 27,6% pada 30 maret 1983. Menghadapi ekonomi dunia yang tidak menentu, usaha pemerintah diarahkan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, baik dari penggalakan ekspor mapun pajak-pajak dalam negeri. Untuk itu tanggal 31 Maret 1983 pemerintah memberlakukan kebijaksanaan bebas visa dari 26 negara yang berkunjung ke Indonesia kurang dari 2 bulan. Maksudnya agar turis semakin tertarik mengunjungi Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI