"Bu haji, ayo makan tuh ikan sama sop nya enak buangettt dah." Bu Eti tetangga sebelah kiri rumah mengajakku yang lebih banyak duduk.
'Iya, Bu nanti saja masih eknyang tadi makan bakso dan somay." Tolakku halus.
Sepanjang pesta aku emmang gelisah dan takut panggung roboh. Senja semakin beranjak dan waktu pesta akan berakhir setengah jam lagi atau tiga puluh menit dari waktu yang tertera di undangan.Â
Kulihat wajah pengantn sudah letih dan sedikit tersenyum. Sofaku masih bertengger dengan nyamannya. Akhirnya usai juga para tamu yang duduk dengan beringasnya di sofa putihku.
Semakin malam alunan musik lenyap berganti dengan satu persatu tetangga pulang ke rumah. Aku yang juga lelah lahir batin pulang ke rumah. Kusibakkan gorden yang menutupi pintu rumah.Â
Letih terasa kulepas baju kebaya among tamu yang membelengguku dari pagi. Kubaringkan mataku dan berucap syukur sampai tak teringat nasib sofa putihku. Aku yakin panitia sudah mengamankan.
"Bapakkkkkkkk......" subuh itu aku terbangun bukan karena alarm atau suara azan tetapi teriakan bu haji Wati.
"Duh, pagi-pagi udah teriak aja ga bisa siangan." Anakku menggerutu. Sehabis salat subuh kami akan berbaring lagi ketika pintu rumah diketuk.
"Bu haji Nuri udah bangun belum?" teriakan suara yang aku kenal. Dengan enggan ankku membukakan pintu. Langkah kaki haji Wati sampai di hadapanku sambil bersimbah air mata.
"Bu haji Nuri, jangan marah yah, tadi malam sofa lupa dimasukkan rumah, sekarang sofanya ga ada di panggung." Aku melongo " Yang sabar ya bu haji Nuri mungkin ini cobaan bu haji Nuri."Â
Suara bu haji wati yang berseliweren di telingaku mampu membuatku tak sadarkan diri. Masih kudengar suaranya yang meminta anakku membawaku ke kamar dan memberi mintak wangi.