Mohon tunggu...
Seni Asiati
Seni Asiati Mohon Tunggu... Guru - Untuk direnungkan

Berawal dari sebuah hobi, akhirnya menjadi kegiatan yang menghasilkan. Hasil yang paling utama adalah terus berliterasi menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah tulisan. Selain itu dengan menulis rekam sejarah pun dimulai, ada warisan yang dapat kita banggakan pada anak cucu kita nantinya. Ayo, terus torehkan tinta untuk dikenang dan beroleh nilai ibadah yang tak putus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Masih Ada Rezeki

30 Maret 2021   11:15 Diperbarui: 30 Maret 2021   11:22 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Fadil.... Fadil... Dil...!" panggil Nadiyah yang dipanggil terus saja berjalan tanpa menoleh sedikit pun pada Nadiyah. Rasanya kesal bercampur amarah di dada Nadiyah. "Hemmm... Berani sekali Fadil tidak mendengar panggilan aku." Nadiyah mengerutu dalam hati. Diambilnya sebuah batu kecil dan dilemparkannya ke arah Fadil. Buk! Tepat sekali menegnai kepala Fadil yang secepat kilat menengok ke kanan dan ke kiri mencari asal batu yang menimpa kepalanya yang sudah mulai ditumbuhi rambut hanya masih jarang-jarang. Fadil melihat Nadiyah yang di belakangnya dengan tangan menggapai meminta Fadil berhenti. Napas Nadiyah yang memburu karena sudah jauh mengejar Fadil hingga ke jalan tempat mereka biasa menunggu angkutan umum.

Fadil mempercepat jalan dengan setengah berlari. Nadiyah yang melihat Fadil semakin kencang berlari bertambah amarahnya. "Fadil, awas yah aku tidak akan lagi mengajakmu bermain dan membelikanmu minuman capcin!" Nadiyah berteriak memperingatkan Fadil. Mendengar ancaman Nadiyah, Fadil tidak berhenti ia terus mempercepat jalannya bahkan kini berlari. Tas di punggungnya yang penuh dengan buku pelajaran tidak menyurutkan langkahnya untuk segera berlari.

"Pak Somad, ada lagi yang harus saya angkat?" tanya Fadil pada pak Somad pemilik toko kelontong di pasar Jongkok. Sudah satu minggu setiap habis pulang sekolah Fadil bekerja paruh waktu di toko pak Somad. Pekerjaannya mudah dan ringan hanya memindahkan barang-barang toko yang sudah habis dari gudang ke beranda toko agar pembeli melihat bahwa stok barang toko pak somad masih ada. Kadang-kadang ada pelanggan yang memintanya membawa barang hasil belanjaan mereka ke motor atau mobil yang membawa pelanggan. Hasil upah ini kata pak Somad boleh diambil dan tidak memotong upah mingguan yang diterima Fadil.

Pekejaan yang tidak biasa untuk anak seusia Fadil yah fadil masih duduk di kelas tiga SD, namun pekerjaannya sudah sungguh luar biasa untuk anak seumurnya. Tangannya yang mungil harus mengangkat barang-barang yang kadang melebihi ukuran tubuhnya. Mulai galon air, minuman kotak, bahkan karung beras. Pekerjaan ini harus dilakukan Fadil karena sudah satu bulan ayahnya yang bekerja di negeri Jiran Malaysia tidak mengirimnya uang lagi. Ibunya sudah berusaha menelpon tapi tak ada kabar berita ayahnya. Kata ibu agen penyalur tenaga kerja sudah didatangi dan mereka kehilangan kontak dengan ayah Fadil setelah ayah Fadil keluar dari pabrik tempatnya bekerja berdasarkan data yang dimiliki agen tersebut. Hanphone ayah Fadil sudah lama tidak aktif.

Berita diterima ibu Fadil siang itu. Pandemi Covid-19 membuat ayah Fadil hilang kontak Menurut kabar dari agen tenaga kerja ayah fadil dideportasi setelah pandemi di negeri jiran semakin memuncak. Nun jauh di hutan Kalimantan sekelompok orang tiga orang laki-laki dan sepuluh perempuan hidup di gubuk yang didirikan. Mereka berharap akan kembali bekerja di Malaysia setelah pandemi dan bertahan hidup dari apa yanga da di hutan. Pakaiannya sudah robek di sana sini tak ada yang dapat mereka lakukan. Bertahan di hutan dengan kondisi seadanya membuat amarah kerap memuncak.  Hingga suatu hari seekor harimau lapar berkeliaran karena mencium darah segar. Yah, seorang laki-laki dari kelompok itu baru saja tertusuk duri ranjau yang dipasang pemburu. Darah belum juga berhenti ketika tubuhnya diterkam dan dikoyak-koyak oleh Raja Hutan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun