"Aku takut pesawat," jawabnya menunduk. Tangannya semakin erat mencengkeram dengan tenaga yang mungkin penuh. Kukunya yang panjang menghujam kulit tanganku terasa sakit. Ingin menepiskan aku tak tega melihat Rana seperti itu.
"Percaya padaku tidak akan terjadi apa-apa selama kamu di samping aku," menyemangatinya walau dalam diriku ada juga perasaan takut yang amat sangat akan pesawat. semenjak kejadian lima belas tahun yang lalu, baru kali ini aku naik pesawat. Tujuan yang sama seperti lima belas tahun yang lalu. Melihat Rana yang begitu ketakutan aku tidak mungkin menunjukkan ketakutanku di depannya. Dia menatapku dengan sejuta pertanyaan tersirat dari matanya. Aku langsung menggenggam tangannya untuk menguatkan.
Tujuh jam perjalanan yang kami tempuh menuju Jepang. Selama dua jam perjalanan itu pula Rana tidak melepas genggaman tanganku. Â Sesekali wajahnya disusupkan ke dadaku tak sekejappun matanya memejam. Rana benar-benar di puncak rasa takutnya. Matanya tajam ek depan tak sedikitpun menoleh ke arah jendela. Seorang pramugari mendatangi kami dan menawarkan minuman, beruntung aku dapat berbahasa Jepang karena aku murni berdarah Indonesia -- Jepang. Kupesankan susu vanilla untuk Rana dan aku coklat panas.
"Saya mau susu coklat panas," pintaku pelan. beberapa menit kemudian sang pramugari datang dengan segelas susu  vanilla dan coklat panas yang langsung diminum Rana dan saat itu juga. Wangi vanilla panas memenuhi tempat kami duduk. Rana  perlahan mulai melepas tanganku dan bersandar ke kursi dan mulai tertidur. Rana jelas mengingatkanku dengan Nara yang kalau sedang sedih atau marah,  ibu akan langsung memberikannya  segelas susu vanilla panas.
Akupun mencoba mengistirahatkan mataku. Suasana pesawat yang sunyi membantuku memejamkan mataku. Saat aku hampir terlelap dalam tidurku pesawat bergetar dengan hebatnya. Aku kaget dan langsung memegang tangan Rana dan mengencangkan sabuk pengamannya. Aku melihat ke sekeliling semua penumpang masih tertidur pulas.
"Para penumpang sekalian, ini kapten Ray, maaf atas benturan yang cukup kencang tadi, itu terjadi karena kami melewati awan yang cukup besar dan tebal ditambah angin yang cukup kencang, sekarang sudah normal kembali." Â Suara sang kapten dari pengeras suara terdengar tenang namun membuatku seperti mati dalam sekejap. Pesawat sudah mulai normal aku pun mencoba tenang dan memperhatikan Rana yang masih terlelap dalam tidurnya. Untungnya Rana tertidur sehingga tak merasakan kejadian tadi. Aku terus terjaga setelah kejadian itu karena aku trauma mengingat kecelakaan keluarga kami dahulu.
Pukul enam sore kami mendarat di bandara Narita Jepang, perbedaan waktu dua jam dengan Indonesia. Aku membiarkan semua penumpang turun lebih dahulu agar Rana memiliki waktu lebih dengan tidurnya. Akhirnya aku sampai juga di tanah kelahiran ayahku.
"Rana, kita sudah sampai," ucapku lembut di telinga  Rana.  Rana mulai membuka matanya sayup-sayup dan menatap ke jendela dengan terkejut.
"Kita sampai? Kita benar sudah sampai?" tanyanya dengan kaget dan mata seolah tidak percaya.
"Sudah kubilang kan, kalau tetap di samping aku tidak akan ada yang terjadi", jawabku tenang seolah tidak ada yang terjadi di pesawat tadi.
"Makasih ya Lyan" jawabnya senang dan langsung memelukku erat. Aku kaget dan beberapa detik kemudian aku membalas pelukannya dengan hangat. Udara yang dingin mulai menembus kulitku. Aku rapatkan jaket dan mengingatkan Rana untuk mengenakan mantelnya.