Mohon tunggu...
Seneng Utami
Seneng Utami Mohon Tunggu... lainnya -

an ordinary woman

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Suka Duka Menjadi Pekerja di Perantauan

24 November 2018   14:46 Diperbarui: 24 November 2018   22:40 1568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.inovasee.com

Dalam usia yang terbilang muda saya telah memutuskan untuk menjadi perantau. Dan hingga saat ini saya sedang bermukim di Hong Kong sebagai pekerja migran. 

Dulu saya ingat sekali apa yang ada di benak kepala ini ketika membayangkan jika saya bisa bekerja jauh dari rumah ke luar pulau atau sampai ke luar negeri, terbayangkan cepat atau lambat akan menjadi orang kaya sebab mendengar desas-desus warga sekitar mengatakan gaji di luar pulau atau di luar negeri itu lumayan besar.

Rasanya ingin tertawa sendiri menyadari perjalanan merantau yang saya lakukan kurang lebih 8 tahun, tidak mengubah keadaan materi (menjadi kaya). Hidup saya masih biasa-biasa saja. Benar sekiranya kalau soal rezeki ternyata sudah diatur sama yang di atas.

Menurut saya menjadi perantau itu dibilang enak ya enak, dibilang tidak enak ya bakalan tidak enak beneran. Jadi tergantung dari kitanya sendiri yang menjalani. Sebelum membeberkan suka- citanya sebagai perantau, saya akan menyebut dukanya dulu.

Ngomong- ngomong soal duka ya? Uhm...kalau saya pribadi sebenarnya ada beberapa hal yang terasa menyerupai duka dan dari situ saya pantas menjadi murung atau tidak senang. Bagaimana pun juga semurung-murungnya saya, tetap selalu saya usahakan untuk terkondisikan. Seperti misalnya setiap kali selesai bekerja dan berada di kamar yang sempit, terasa sekali kalau saya ini sedang di perantauan. Keberadaan telepon genggam pun adakalanya membuat saya jenuh untuk hanya berkomunikasi jarak jauh. Ujung-ujungnya menulis di kertas sebagai cara mengekspresikan apa yang sedang dipikirkan dan yang dirasakan.

Di sini, saya bekerja di rumah, mengurusi keadaan rumah. Setiap hari secara sadar atau tidak, ada kalanya ingin lepas dari pekerjaan ini. Saya bayangkan teman-teman di Indonesia yang seumuran saja terlihat bisa bermain ke berbagai tempat, kalau saya? Apa daya. Ini semua sudah resiko. Biasanya hati saya menjadi kalem setelah meyakini dalam hati, jika jalan saat ini yang Tuhan berikan adalah rencana-Nya yang baik (untuk saya tentunya). Duka dalam bentuk apapun selama di perantauan saya ubah menjadi sebuah harmoni yang tetap enak dinikmati.

Berikut ini suka-cita menjadi perantau berdasarkan pengalaman yang saya alami:

Bermental single fighter
Segala bentuk keputusan yang tadinya membuatku takut, pada akhirnya harus ku hadapi. Dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan baru tentunya ada banyak rintangan. Single fighter harus tetap fokus terhadap pemecahan masalah dibandingkan meributkan masalah. Merantau dan jauh dari keluarga akan mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang mandiri, selalu yakin terhadap kemampuan diri dan tidak bergantung dengan orang lain.

Menjadi lebih mengerti tentang siapa diri ini
Di perantauan itu meskipun kita kenal baik dengan beberapa orang, pasti pada akhirnya dekat dengan keluarga itu rasanya lebih menentramkan sebab tidak ada sekat yang membedakan. Beda dengan keberadaan saya di sini yang sebagai pekerja dan bukan dari keluarga murni. Walaupun tidak terlalu diperlakukan diskriminatif, namun kenyamanan ada pada diri sendiri.

Ketika kita berhasil mengenali siapa diri kita, maka kita akan menjadi orang yang tidak mudah merasa iri hati terhadap keberhasilan orang lain yang terlihat lebih dari yang mampu kita usahakan. Karena kita tahu benar sampai mana kapasitas keterampilan yang kita punya itu telah dimaksimalkan. Orang yang mengerti dirinya akan mudah mengerti orang lain pula.

Apabila kita sudah bisa mengenali diri dengan baik dengan mudahnya kita akan tahu cara untuk menghibur diri setiap kali dihadapkan pada ketidak- senangan. Seperti saya misalnya cara saya mengatasi kejenuhan biasanya saya menulis, menggambar, dan mendengarkan musik.

Bertambahnya wawasan dan penguasaan bahasa
Apa yang kita lihat, dengar dan rasakan sangat signifikan sekali mempengaruhi seberapa besar wawasan kita ini. Lingkungan di perantauan tentunya berbeda dengan lingkungan asli kan ya? Keberadaan gedung yang tinggi sering membuat saya merasa terkagum-kagum untuk terus berimajinasi dan dalam hati saya yakin bahwa pendidikan itu segalanya.

Di lain sisi kita akan menguasai bahasa baru sesuai dengan tempat yang kita tinggali. Sewaktu di Pontianak, sekilas saya jadi tahu bahasa orang Melayu dan Cina Hokien, di Singapura saya jadi sering mendengar orang berbahasa Inggris dan begitu juga di Hong Kong saya menjadi bisa berbahasa Kantonis. Padahal kalau belajar bahasa lewat kursus saja perlu mengeluarkan biaya ya dan belum tentu bisa menguasai kosa kata sebanyak ini. Berkat merantau, justru saya langsung praktek berbahasa asing dengan orang-orang yang saya temui.

Berpikir secara global
Saya bayangkan jika sampai detik ini saya hanya tinggal di desa mungkin pola pikir saya masih sama seperti sewaktu saya belum merantau. Mengingat di desa belum ada buku perpustakaan yang lebih memadai. Berpikir global ini disebabkan karena saya sering melihat dan bertemu dengan orang-orang yang belum pernah saya temui sebelumnya, sehingga dari situ wawasan saya juga terbuka ketika bercengkrama dengan mereka. Apalagi  sewaktu saya di Hong Kong, saya banyak bertemu orang asing yang berasal dari negara manapun. Dalam keramaian, saya melihat mereka berjalan dengan penuh rasa percaya diri, seolah-olah mereka tahu apa tujuan hidupnya masing- masing.

Berpikir secara global sederhananya kita punya kesadaran untuk berkembang maju dengan memajukan diri kita sendiri melalui apa yang bisa kita lakukan sebab orang-orang di luar telah banyak yang sudah berlari lebih jauh dari kita. Jadi dengan berpikir global ini kita tidak lagi menghabiskan energi dan waktu untuk sesuatu yang sepele atau bermalas-malasan.

Merantau akan mengajarkan betapa pentingnya keluarga
Ibarat kalau di rumah sendiri saya bisa berbuat apa saja, tetapi kalau di perantauan (apalagi bekerja ikut orang seperti saya) menjadi tidak sebebas di rumah.

Keberadaan keluarga itu sangat penting. Dulu saya pernah kurang patuh terhadap orangtua dan pernah juga membuat marah adik kakak saya, namun setelah jauh begini rasanya jadi menyesal atas apa yang pernah dilakukannya. Lebih lagi kalau di perantauan tak jarang dihadapkan pada keadaan yang berliku sehingga membuat saya semakin rindu rumah.

Di sini saya yang masih menjadi perantau selalu mensugesti diri jika apa yang sedang terjadi pada saya adalah bagian dari takdir-Nya. Walau kebebasan hidup saya terasa seperti dibatasi (bekerja ikut orang), saya tetap menikmatinya.

Suka duka merantau itu pasti ada dan akan selalu ada hikmahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun