Di dunia ini kita melihat keberagaman seakan-akan semuanya ada dan lengkap. Disadari atau tidak tentunya kita sesekali akan berintropeksi diri juga membandingkan diri kita dengan orang lain. Mana kala tiba waktunya untuk membandingkan diri dengan orang yang lebih dari diri kita, apabila kita tidak segera membuat nyaman tentang cara berpikir pastilah di hati kita akan timbul rasa minder. Membandingkan diri di sini tentunya bukan untuk mengetahui siapa yang lebih atau kurang tetapi untuk mengukur seberapa jauh kita ini sudah melangkah.
"Membandingkan diri demi perubahan hidup kita yang lebih baik itu boleh, kalau minder jangan!"
Tidak dapat kita elakkan di depan mata kita ini akan selalu tampak beberapa orang yang punya gaya hidup yang lebih. Ada yang jabatan status sosialnya tinggi dan disegani penuh oleh masyarakat, ada yang terkesan bahagia dari luar dalam setiap harinya sebab semuanya serba ada.Â
Saat di antara kita hidup dalam realita seadanya dan dengan sadar kita membandingkan diri dengan orang-orang yang saya sebut tersebut, secara umum kita akan merasa di bawah. Padahal ini sebenarnya sekadar tes mental saja apakah kita akan terkecoh dengan apa-apa yang terlihat atau tidak.
Jika kita tahu betul akan esensi kebaikan itu tidak selalu harus dilihat orang atau disetujui- semestinya, kita tidak perlu terkecoh pada hal yang terlihat. Kebaikan yang dapat kita lakukan baik untuk diri sendiri atau pun orang lain inilah yang akan membentuk rasa nyaman di dada. Terlepas kehidupan kita ini "wow" atau sederhana.
Hampir dari semua orang pasti merasa senang ketika mendapati pujian. Rasa-rasanya semakin banyak dipuji maka semakin berharga lah ia. Berbeda dengan orang yang kurang mendapati pujian atau apresiasi di dalam hidupnya, mungkin hidupnya akan terasa biasa- biasa saja.
Walaupun demikian menurut saya nilai dari diri kita itu bukan ditentukan oleh seberapa besar pujian yang mampu kita dapatkan melainkan nilai kita ditentukan oleh sesuatu positif apa yang mampu kita lakukan.
Seandainya kita melihat orang yang penuh dengan talenta melalui belajar dan kesungguhan bukan tidak mungkin kita juga akan bisa melakukan hal yang sama tanpa perlu kita merasa minder. Perasaan minder yang berlebihan justru akan merusak pikiran dan mental.Â
Dan akhirnya kita tidak bisa berpikir semaksimal mungkin. Minder sama dengan memiliki perasaan tidak berdaya terhadap kemampuan diri kita sendiri. Tanpa sadar kita malah meragukan apa yang sebenarnya kita sanggup lakukan.
Selalu ingat setiap orang dari kita ini punya dasar hidup yang sama, punya kebutuhan hidup yang sama dan sama- sama berkesempatan untuk berkembang maju. Apapun latar belakang hidup yang kita punya serta mau menjadi apa dengan profesi kita membuang rasa minder itu sangat penting.
Sedikit pengalaman pribadi dari kecil saya merupakan anak yang suka minder sebab dalam melihat dunia selalu saya kaitkan dengan ada tidaknya materi. Dari minder itu saya menjadi anak pemurung, tidak bisa bergaul, suka menyendiri, tidak bisa menerima mata pelajaran di kelas dan merasa tidak nyaman dengan diri sendiri.
Dulu saya pikir orang yang lebih unggul itu ada sebab mereka istimewa, tetapi setelah saya berhasil membangkitkan rasa percaya diri terhadap diri sendiri lambat laun saya berkeyakinan bahwa setiap orang dari kita ini "berpeluang untuk menjadi unggul berkat kemauan belajar".
Butuh waktu untuk menghilangkan rasa minder dan yang jelas sumber kekuatan terbesar yang bisa menghilangkan ya mau- tidak mau harus dari kesadaran diri kita sendiri. Orang-orang minder perlu belajar bagaimana untuk menghormati, mencintai, mengenali, menerima diri dan belajar bersyukur lebih banyak lagi. Mempergunakan seluruh tenaga dan pikiran dalam bentuk hal yang positif sudah termasuk wujud rasa syukur.
Bagaimana untuk peduli dengan diri dan tidak menilai dirinya dengan penilaian rendah. Tentunya semua bermula dari bagaimana cara kita berpikir, harus sesuai dulu terhadap bagaimana kita bervisualisasi.
Positive self- talk sangat diperlukan terutama untuk mensugesti diri kita bahwa kita pun punya nilai. Kita tidak perlu merasa minder. Gambaran sederhananya kalau pun kita merasa terlahir sebagai rumput dan orang yang kita anggap lebih itu sebagai pohon, bukankah keduanya sama- sama punya nilai dan bermanfaat? Rumput menopang pohon agar lebih kuat atau tidak longsor.Â
Sedangkan pohon sendiri pun juga memberi manfaat kepada rumput dari daunnya yang runtuh akan menjadi humus dan menyuburkan rumput. Dalam kehidupan walau kita berbeda dari satu sama lainnya mari kita berpikir keberagaman tersebut demi sebuah keunikan untuk kita masing- masing.
Berpikir jangka panjang juga akan menjadi cara yang efektif untuk mengikis rasa minder, jika kita memendam lama rasa minder sama artinya dengan berkutat pada ketidaknyamanan yang dipelihara. Ini sama saja kita membesarkan sesuatu yang sebenarnya sangat sepele.Â
Logikanya kalau kita masih mudah membesar-besarkan hal yang sepele lalu bagaimana kita akan mampu untuk memikirkan hal yang betul- betul besar? Orang besar ada sebab pikirannya yang besar dan bukan ada karena hal sepele yang dibesar-besarkan. Yang barangkali hingga hari ini mungkin masih mendapati rasa minder, cukupkan sekian saja dan buang perasaan itu jauh- jauh kalau kita memang mau maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H