Mohon tunggu...
Sendy Ahmad Ghazali
Sendy Ahmad Ghazali Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya punya obsesi untuk menguasai tiga disiplin ilmu sekaligus, yaitu Fisika, Linguistik, dan Sosiologi. Mengenai kapan saya akan menguasai semuanya, mungkin baru akan terjadi ketika saya tua nanti. Tak masalah, hidup memang sebuah pembelajaran tiada henti.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Stratifikasi Berdasarkan Ras dan Etnisitas

7 November 2022   00:43 Diperbarui: 7 November 2022   00:44 1468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Dalam kehidupan sosial, kita pasti mengenal yang namanya startifikasi, baik secara sadar maupun tidak sadar. Orang yang secara sadar melihat stratifikasi, akan melihat posisi orang-orang di masyarakat seperti sebuah piramid; berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat secara vertikal. Adapun orang-orang yang melihat stratifikasi secara tidak sadar adalah orang-orang awam, mereka mungkin tidak bisa melihat piramid imajiner itu, tetapi mereka tetap bisa merasakan bahwa orang dengan kekayaan berlebih bisa dengan mudah mendapatkan penghormatan dari orang lain, meski mungkin secara jabatan, posisinya tidaklah begitu prestisius.

            Stratifikasi, apabila didalami lebih jauh, ternyata bisa dilatarbelakangi oleh berbagai macam faktor. Mungkin bagi orang awam, faktor yang paling mudah disadari dan dilihat dari startifikasi adalah perihal kekayaan, jabatan, dan kekuasaan. Namun, sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji masyarakat secara mendalam dapat melihat fenomena ini lebih jauh; sosiologi melihat bahwa perbedaan ras dan etnis juga bisa menjadi faktor penting dari munculnya stratifikasi sosial.

            Dalam esai ini, saya sebagai penulis akan membatasi ruang lingkup pembahasan di wilayah Amerika Serikat saja. Alasannya sederhana, karena AS adalah negara yang stratifikasi sosialnya paling menonjol, paling banyak dibahas, dan paling banyak meninggalkan informasi berupa literatur. Kebetulan, stratifikasi sosial di AS terkenal karena kategorisasinya yang berdasarkan ras dan juga etnisitas; sesuai dengan tema yang saya bawakan.

            Jadi, sebenarnya seperti apa stratifikasi sosial di Amerika Serikat apabila dilihat dari kategorisasi ras dan etnis? Amerika Serikat terkenal sejak lama karena menempatkan ras kulit putih, utamanya bangsa Germanik di posisi paling atas. Orang-orang berkulit putih dari bangsa Germanik memiliki kekuatan berlebih secara politis, dan diperlakukan secara istimewa dibanding masyarakat dari kategori ras dan etnis lainnya. Di Amerika Serikat, telah sejak lama hidup bangsa-bangsa lain, seperti bangsa Hispanik, Asia, orang-orang Pasifik, dan yang paling menonjol yaitu orang-orang Afrika-Amerika. Tak lupa pula di sana ada orang-orang asli Amerika, yaitu bangsa Indian. Namun, kontrasnya stratifikasi di sana dapat dilihat apabila kita membandingkan cukup dua kategori ras dan etnis saja, yaitu kulit hitam dan kulit putih.

Sumber Foto: Ira Rosenberg
Sumber Foto: Ira Rosenberg

MUHAMMAD ALI DAN MEDALI EMAS

            Di tahun 1960, hanya beberapa hari setelah mendapatkan medali emas di Olimpiade Roma, Muhammad Ali berjalan ke tengah kota. Dengan bangga ia masuk ke sebuah restoran, meminta dilayani bak seorang pahlawan; sebab ia memang seorang pahlawan. Namun, apa yang terjadi? Petugas di restoran tersebut menolak untuk melayani Ali, dengan alasan yang sangat sederhana; karena ia berkulit hitam.[1]

            Diskriminasi terhadap warga kulit hitam di AS, dan bahkan di hampir semua negara di planet Bumi, membuktikan adanya stratifikasi sosial yang menempatkan masyarakat kulit putih di bagian puncak; memiliki hak untuk menikmati segala macam keistimewaan dalam kehidupan sosial. Di lain pihak, warga kulit hitam menempati bagian paling bawah, sulit bagi mereka untuk meraih kehidupan yang mewah, bahkan untuk mendapatkan pendidikan saja bagi mereka begitu susah.

            Sosiologi melihat fenomena ini terjadi tidak semata-mata karena masalah jumlah, tapi ada faktor lain yang juga ikut mendorongnya; yaitu kekuasaan. Bukti yang bisa kita lihat ada di negara-negara di Afrika. Saat masa imperialisme masih berlangsung, orang-orang Eropa tidaklah datang dalam jumlah yang masif. Dibanding dengan penduduk asli Afrika, tentu jumlah para pendatang dari Eropa sangatlah sedikit. Namun, mereka memiliki kekuasaan berupa status sebagai penguasa baru, yang mereka raih melalui peperangan (mereka memiliki kekuatan militer yang jauh lebih besar ketimbang penduduk asli Afrika). Dengan berbagai macam dinamika yang terjadi selama ratusan tahun, negara Amerika Serikat kemudian terbentuk dengan penduduknya yang multietnis. Bangsa kulit putih yang datang sebagai penguasa kemudian mendapatkan warisan berupa kekuasaan di pemerintahan. Sementara itu, bangsa kulit hitam yang hadir karena perbudakan selama berabad-abad harus mewarisi status "budak"-nya bahkan setelah negara Amerika yang "menyetarakan" penduduknya lahir.

            Bukti sahih dari adanya stratifikasi tersebut, yang menempatkan masyarakat kulit putih di bagian atas dan masyarakat kulit hitam di bagian paling bawah, dapat kita lihat dari kisah hidup Muhammad Ali. Status 'pahlawan' yang disandangnya sejak menyumbangkan medali emas di Olimiade Roma tidak berarti apa-apa; ia bahkan tidak dilayani ketika memesan makanan di restoran tengah kota.

 

ASPEK SOSIOLOGIS

YANG MEMICU STRATIFIKASI

BERDASARKAN RAS DAN ETNISITAS 

Stratifikasi sosial berdasarkan ras dan etnisitas menurut perspektif sosiologi hadir karena beberapa faktor, di antaranya:

  • Faktor Homofili

Homofili adalah sebuah teori sosial yang menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menerima hal-hal atau orang-orang yang memiliki kesamaan dengannya. Semakin sama suatu konsep atau seseorang dengan orang tersebut, maka semakin mudah baginya untuk menerimanya. Dalam hal ras dan etnisitas, sifat homofili manusia berkontribusi besar dalam memicu munculnya diskriminasi, terutama bila sifat homofili ini didukung oleh adanya kekuasaan.

  • Faktor Kekuasaan

Kekuasaan sejatinya adalah faktor sentral yang menciptakan hadirnya stratifikasi berdasarkan ras dan etnisitas. Hal ini tentu berlaku untuk segala macam ras dan etnis di muka Bumi. Namun, dalam konteks AS, kekuasaan dimiliki oleh bangsa kulit putih dari Eropa. Didukung dengan teori homofili, kekuasaan yang dimiliki bangsa kulit putih kemudian digunakan untuk memberikan keistimewaan terhadap sesama kulit putih.

  • Faktor Mayoritas

Selain faktor kekuasaan, faktor lain yang terkait erat dengan sifat homofili manusia adalah faktor mayoritas. Terutama dalam negara demokrasi, suara mayoritas selalu memiliki peranan penting dalam menciptakan kebijakan, baik itu yang bersifat formal maupun nonformal. Kita mengetahui dengan baik bahwa AS adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, mereka bahkan bisa disebut sebagi jenderalnya negara-negara 'demokrasi'. Dengan segala macam atribut yang telah saya sajikan, maka semakin jelas gambaran proses terbentuknya stratifikasi berdasarkan ras dan etnisitas di AS. Pada tahun 1960 ketika Muhammad Ali memenangkan medali emas Olimpiade, 88,6% penduduk AS berkulit putih.[2]

  • Faktor Historis

Faktor keempat yang menjadi dalang dari munculnya stratifikasi berdasarkan ras dan etnisitas di AS adalah faktor historis. Secara historis, mudah bagi kita melihat akar sejarah stratifikasi ini. Status penguasa bagi warga kulit putih sudah ada sejak lama karena merekalah yang menjadi tuan bagi para budak yang mereka beli, dan budak-budak ini adalah orang-orang kulit hitam yang 'diimpor' dari Afrika.

            Keempat faktor yang saya jelaskan berkolaborasi dengan indahnya dalam hal menindas masyarakat kulit hitam di AS, menempatkan mereka di bagian dasar kehidupan sosial. Coba bayangkan dengan imajinasi liar kita mengenai kehidupan di tahun 1960; 90% warga AS adalah orang-orang kulit putih, orang-orang kulit putih memiliki peran sebagai penduduk mayoritas Amerika Serikat.  Selain memiliki kekuatan sebagai penduduk mayoritas, orang-orang kulit putih juga menikmati kekuasaan sebagai pemimpin absolut di pemerintahan; kekuatan mereka bertambah secara eksponensial. Jangan lupa pula faktor homofili, manusia punya kecenderungan untuk menyukai manusia lain dengan berbagai macam kesamaan. 90% orang Amerika adalah kulit putih, dengan fakta ini, tentu 10% sisanya hanya akan menjadi orang luar; mereka hanyalah 10% anomali dari sebuah dunia yang dimiliki orang-orang berkulit putih. Sebagai bumbu terakhir, jangan lupakan faktor historis; orang kulit putih bisa menggunakan sejarah perbudakan sebagai justifikasi dari diskriminasi. Malah sebenarnya, penindasan yang mereka lakukan terhadap orang-orang kulit hitam secara psikologis memang terasa seperti hal yang biasa saja. Adalah normal di masa-masa itu untuk menganggap orang-orang kulit hitam sebagai bangsa kelas bawah.

 

STRATIFIKASI DI KEMUDIAN HARI

            Meski tampak mencekam, gila, dan menakutkan, tapi stratifikasi di kemudian hari berangsur-angsur mengalami perubahan. Kulit hitam tidak lagi dianggap sebagai bangsa kelas dua, mereka setara dengan penduduk kulit putih; setidaknya berlaku dalam konstitusi. Dalam praktiknya, jarak strata antara kulit hitam dan kulit putih terus dikurangi, baik itu melalui gerakan-gerakan kesetaraan maupun lewat kegiatan sehari-hari yang dilakukan secara tidak sadar. Untuk poin kedua, saya menemukan data pendukung dengan tema pernikahan. Di AS, ternyata ada peningkatan dalam hal pernikahan antarras dan etnis; termasuk pernikahan antara orang kulit hitam dengan orang kulit putih.

            Menurut data sensus, tingkat pernikahan antarras di AS pada awal tahun 1990 adalah sebesar 4,5%, kemudian meningkat menjadi 5,4% di akhir tahun. Ini merupakan sebuah peningkatan yang signifikan, yang kalau dilihat melalui data real, pernikahan antarras di AS pada saat itu meningkat dari awalnya 2,4 juta pasangan menjadi 3 juta pasangan di akhir tahun.[3] Data ini mungkin sudah berusia sangat lama, tapi sudah cukup untuk menunjukkan tren yang saya singgung di atas. Tren pernikahan antarras ini menurut saya adalah salah satu faktor penting yang akan membantu mengikis jarak strata antara ras dan etnis yang berkuasa dengan ras dan etnis yang berada di strata bawah. Pernikahan antarras dan etnisitas berimplikasi pada eliminasi pendekatan homofili dalam beberapa aspek kehidupan, semakin berimbangnya porsi penduduk tiap kelompok di dalam data sensus (karena pernikahan antarras dan etnisitas akan melahirkan manusia-manusia multiras dan multietnis), serta menyeimbangkan kekuasaan menjadi lebih merata lagi. Dalam hal kekuasaan, kita bisa melihatnya dari sosok Barrack Obama, Presiden AS pertama yang berkulit hitam.

Referensi:

[1] Adhikari, Somak. "Did You Know Muhammad Ali Was Once Not Served At A Restaurant For Being Black Despite Having Just Won An Olympic Gold?". India Times. 26 Februari 2018. https://www.indiatimes.com/sports/did-you-know-muhammad-ali-was-once-not-served-at-a-restaurant-for-being-black-despite-having-just-won-an-olympic-gold-340309.html.

[2] United States Census Bureau. "1960 Census of the Population: Supplementary Reports: Race of the Population of the United States, by States: 1960". United States Census Bureau. 7 September 1961. https://www.census.gov/library/publications/1961/dec/pc-s1-10.html.

[3] Grusky, David B. Social Stratification: Class, Race, and Gender in Sociological Perspective. Westview Press, 2008. Hlm. 624.

Catatan Tambahan:

Esai ini sebenarnya adalah tugas saya pada UTS mata kuliah stratifikasi sosial, saya kebagian materi stratifikasi berdasarkan ras dan etnis. Oh iya, akhir-akhir ini saya sering dibuat stres karena kuliahan; bukan karena tugasnya, sebab menurut saya tugas-tugas di jurusan sosiologi cukup mudah dilakukan; bukan karena jumlahnya, sebab tugas yang saya dapatkan di jurusan sosiologi tidaklah sebanyak itu. Alasan saya bisa merasakan stres adalah karena saya merasa teralienasi, saya mempertanyakan untuk apa saya melakukan tugas-tugas ini. Saya tidak datang ke kampus sekadar mendengarkan ceramah dan lalu mengerjakan tugas demi nilai yang tinggi, saya mencari esensi dari segala macam kegiatan yang saya lalui.

Nah, setelah berbagai macam perdebatan dalam diri saya, yang tentunya terlalu panjang bila harus dijelaskan di sini, akhirnya saya memutuskan untuk membuat tugas dalam bentuk esai, plus, esai yang saya buat akan saya anggap sebagai esai biasa, bukan tugas dari kampus. Saya melakukan itu, karena saya berharap bisa menciptakan esai yang katakanlah "bagus".

Keputusan kedua yang saya ambil adalah bahwa saya akan mulai membagikan tugas-tugas saya di kampus ke ruang publik, siapa tahu tugas-tugas ini tidak hanya memberikan saya tambahan nilai di kampus, tapi bermanfaat juga bagi bara pembacanya (aamiin).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun