Mohon tunggu...
Rolip Saptamaji
Rolip Saptamaji Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang toekang toelis jang dilepas dan toekang loekis jang terlepas ini kini mengambil djalan soenyi sebage toekang kritik jang memboeat gerah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Trend Jokowi menjelang Pilgub Jabar*

26 Juli 2012   02:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:37 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Putaran pertama Pilgub DKI membuat kejutan, bukan hanya bagi para politisi tapi juga para akademisi pengamat politik. Dengan perolehan 42,6% suara dari 2.555.207 orang pemilih, Jokowi-Ahok mampu menggusur nama-nama besar seperti Fauzi Bowo dan Hidayat Nurwahid. Direktur Cyrus Network (Kompas 13/7/12) bahkan menyatakan bahwa kemenangan pasangan ini tidak berasal dari politik pencitraan dan tidak membutuhkan politik pencitraan.

Menurut saya, justru sebalikanya, Jokowi sangat mahir dalam politik pencitraan. politik pencitraan Jokowi memang tergolong unik bahkan bisa disebut sebagai terobosan baru dalam strategi pencitraan konvensional di Indonesia. Ia tidak menggunakan strategi baligo, spanduk, dan billboard ataupun pembagian sembako seperti calon lainnya namun lebih mengandalkan pencitraan aktivitas harian yang dimuat oleh berbagai media. Para pengamat politik baik ditingkat lokal maupun nasional mengamini asumsi ini. Terbukti dari lemparan wacana partai pendukung Jokowi-Ahok (PDIP-Gerindra) di berbagai daerah mengenai figure ideal calon kepala daerah.

Di Jawa Barat, menjelang Pilgub tujuh bulan mendatang wacana yang sama telah dilemparkan oleh PDIP (radarbogor/17/7/12) dan Gerindra (antaranews/14/7/12) yang mencari figure Jokowi pada para calon gubernur Jabar. Bahkan dalam Pilkada Cimahi, salah satu calon walikotanya meniru cara berpakaian pasangan Jokowi-Ahok (antaranews/22/7/12). Ini menunjukkan bahwa politik lokal mengarah pada trend yang sama yaitu populisme. Namun populisme seperti apa? Tepatnya populisme dalam kerangka political marketing.

Dalam political marketing, politik menjadi komoditas sebagaimana produk konsumsi. Perang dalam political marketing mengambil bentuk yang sama dengan perang iklan produk. Bedanya adalah yang dijual bukan feature produk tapi janji pelayanan publik. Dalam marketing, produsen tak pernah bertanya produk apa yang dibutuhkan konsumen namun kebutuhan konsumen diciptakan oleh iklan. Untuk itu political marketing memoles para calon pejabat publi untuk menciptakan keinginan masyarakat untuk memilih.

Populisme dalam political marketing adalah populisme kemasan elit politik bukan populisme yang berakar dari keinginan rakyat. Dengan begitu politik kembali menjadi milik elit politik bukan milik masyarakat. Trend Jokowi adalah trend yang bersifat temporal tanpa substansi. Keinginan mencari calon "seperti" Jokowi juga tak lebih dari asumsi pemasar yang sedang berspekulasi. Untuk itu masyarakat Jawa Barat menjelang Pilgub ini harus lebih teliti tidak mudah terkecoh oleh politik pencitraan. Bukan Jokowi ataupun citra-citra nisbi lainnya namun kerja solutif bagi rakyat Jawa Barat.

*M. Rolip Saptamaji, Koordinator Kajian Politik Kontemporer Forus Studi Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Tulisan ini dimuat pada  surat kabar Pikiran Rakyat, rubrik Politik, Hari Kamis/26 Juli 2012, dengan judul "Political Marketing" merambah pemilihan Gubernur

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun