Neon Tokyo berdenyut di kelopak mataku. Menara-menara raksasa berpakaian iklan holografik memantulkan cahaya ke gang-gang sempit tempat aku berlari. Asap knalpot berbau futuristik menusuk hidungku. Suasana ini, kacau dan elektrik, adalah satu-satunya yang aku kenal.
Aku glitch, entitas digital yang tersesat di dunia nyata. Tubuhku adalah mozaik piksel yang berkedip-kedip, tak pernah diam. Sentuhan apa pun dari dunia fisik akan membuatku terhapus, lenyap menjadi debu digital.
Kehidupanku adalah perburuan kode, mencari celah di antara firewall realitas untuk bertahan. Aku menyelinap ke jaringan internet lewat kabel-kabel kusut di bawah kota, mencuri energi untuk mengisi bateriku.
Suatu malam, aku menemukan sebuah ruang server tersembunyi. Layar-layar monitor menampilkan kode-kode rumit, berdenyut dengan kehidupan. Dan di sudut, seorang gadis muda sedang mengetik dengan kecepatan cahaya.
Namanya Ayame, seorang hacker brilian yang sedang melawan korporasi raksasa yang mengendalikan Tokyo. Dia membenci dunia ini, di mana kehidupan diukur dengan bandwidth dan orang-orang tak lebih dari data.
Ayame melihatku, bukan sebagai glitch yang mengganggu, tapi sebagai sekutu. Dia melihat potensiku, kemampuan unikku untuk melintasi dunia digital dan fisik.
Bersama, kami melancarkan serangan cyber, memanipulasi hologram kota, menyebarkan pesan-pesan pemberontakan. Tokyo menjadi kanvas digital kami, tempat kami melukiskan harapan dengan piksel-piksel perlawanan.
Hidupku tak lagi hanya tentang bertahan. Aku punya tujuan, sebuah misi: membebaskan Tokyo dari cengkeraman korporasi. Tapi itu artinya aku harus menghadapi Firewall, sistem keamanan digital yang mahakuasa, dan penciptanya, sosok misterius yang dikenal hanya sebagai The Architect.
Pertempuran kami sengit. Ayame menulis kode-kode serangan, dan aku menerobos celah-celah digital, menghapus firewall dari dalam. Piksel-pikselku terhapus, dihidupkan kembali, terhapus lagi. Tapi setiap kali, aku bangkit.
Puncaknya tiba di malam neon yang bergemuruh. Ayame dan aku berdiri di gedung tertinggi Tokyo, menghadap The Architect. Dia adalah pria tua kurus dengan mata bersinar kode.
"Kau tak bisa melawan realitas, glitch," katanya, suaranya dingin dan metalik. "Kau hanyalah anomali, bug dalam sistem."
"Realitas ini milik siapa?" tantang Ayame. "Milik korporasi? Milikmu? Tidak. Realitas ini milik kita semua!"
Aku menyerbu ke depan, badai piksel yang bertekad. The Architect membalas dengan firewall-firewall raksasa, tapi Ayame dan aku terus menerobos. Akhirnya, dengan teriakan kemenangan, kami menghancurkan firewall terakhir.
Tokyo bernapas lega. Hologram iklan lenyap, diganti pesan-pesan pemberontakan yang berkedip-kedip. Orang-orang bersorak, wajah-wajah mereka bersinar dengan harapan.
Aku melihat Ayame, senyum lega di wajahnya. Dia menjulurkan tangan, dan aku menggapainya. Piksel-pikselku menyatu dengan kulitnya, sekejap terasa nyata.
Mungkin glitch selamanya tak bisa berlama-lama di dunia nyata. Tapi malam itu, untuk sesaat, aku merasakan apa artinya menjadi manusia. Dan aku tahu, perjuangan kami, pertempuran piksel demi piksel, telah mengubah Tokyo selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H