"Kau tak bisa melawan realitas, glitch," katanya, suaranya dingin dan metalik. "Kau hanyalah anomali, bug dalam sistem."
"Realitas ini milik siapa?" tantang Ayame. "Milik korporasi? Milikmu? Tidak. Realitas ini milik kita semua!"
Aku menyerbu ke depan, badai piksel yang bertekad. The Architect membalas dengan firewall-firewall raksasa, tapi Ayame dan aku terus menerobos. Akhirnya, dengan teriakan kemenangan, kami menghancurkan firewall terakhir.
Tokyo bernapas lega. Hologram iklan lenyap, diganti pesan-pesan pemberontakan yang berkedip-kedip. Orang-orang bersorak, wajah-wajah mereka bersinar dengan harapan.
Aku melihat Ayame, senyum lega di wajahnya. Dia menjulurkan tangan, dan aku menggapainya. Piksel-pikselku menyatu dengan kulitnya, sekejap terasa nyata.
Mungkin glitch selamanya tak bisa berlama-lama di dunia nyata. Tapi malam itu, untuk sesaat, aku merasakan apa artinya menjadi manusia. Dan aku tahu, perjuangan kami, pertempuran piksel demi piksel, telah mengubah Tokyo selamanya.