Matahari condong ke barat, melemparkan bayang-bayang panjang di halaman sekolah. Di bawah pohon beringin tua yang rindang, dua sosok berhadapan dalam arena yang tak biasa: arena debat. Rara, gadis mungil dengan rambut dikepang rapi, dan Bayu, lelaki jangkung bersuara lantang, mewakili kelas masing-masing dalam pertempuran kata.
Topik debat kali ini adalah kontroversial: "Apakah teknologi menghambat kreativitas?" Rara, si kutu buku pecinta puisi, memegang teguh argumen bahwa teknologi justru memicu kreativitas. Bayu, si jago coding dan gamers, bersikukuh sebaliknya.
Rara mengawali dengan suara lantang, "Teknologi menyediakan platform dan alat yang tak pernah dibayangkan nenek moyang kita. Lewat internet, kita bisa mengakses informasi dan inspirasi dari seluruh dunia. Kita bisa menulis puisi di ponsel, membuat musik dengan aplikasi, dan membagikan karya kita ke jutaan orang."
Bayu membalas dengan senyum miring, "Tapi Rara, bukankah internet juga penuh dengan distraksi dan dangkal? Kreativitas butuh ruang hening, imajinasi liar, bukan diganggu oleh notifikasi dan algoritma."
Rara tak gentar. "Distraksi memang ada, tapi kita yang memegang kendali. Teknologi juga bisa menjadi alat meditasi, untuk melatih fokus dan mengasah imajinasi. Virtual reality bisa membawamu ke hutan ajaib, game bisa menantangmu membangun dunia baru."
Bayu mengetuk-ngetuk kakinya, "Tapi bukankah ketrampilan manual, seperti melukis atau bermain musik, tergerus oleh teknologi? Anak-anak sekarang lebih suka main game daripada belajar main gitar."
Rara mengangkat bahu, "Kreativitas tak terkotak pada medium. Ada yang lebih suka menulis, ada yang lebih suka coding, ada yang suka menggambar. Teknologi bisa jadi pintu gerbang, bukan penghalang, untuk mengekspresikan kreativitas."
Debat semakin seru. Argumen beradu argumen, suara-suara bernada tinggi berpadu dengan kicau burung di dahan beringin. Para penonton, siswa-siswi lainnya, terpesona oleh adu logika dan semangat kedua pembicara.
Hingga matahari hampir tenggelam, moderator meniup peluit tanda debat berakhir. Juri berunding, lalu mengumumkan hasil: imbang. Tepuk tangan riuh memenuhi halaman sekolah.
Rara dan Bayu tersenyum lega. Mereka tak saling bersalaman, tak ada tepuk punggung ala olahragawan. Tapi di mata mereka, terpancar rasa hormat, dan mungkin sedikit kekaguman, kepada lawan yang telah bertarung dengan gagah berani.
Di bawah pohon beringin yang telah menyaksikan pertempuran kata itu, mereka tahu, debat bukanlah tentang menang atau kalah. Debat adalah tentang belajar, tentang membuka pikiran, tentang menyadari bahwa kreativitas tak bisa dikekang, bahkan oleh teknologi.
Dan di bawah langit senja, mereka berjanji, pertempuran kata ini hanyalah awal. Masih banyak arena yang menunggu, masih banyak topik yang perlu dibahas, dan masih banyak kreativitas yang harus dibiarkan mekar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H