Mohon tunggu...
Sendi Suwantoro
Sendi Suwantoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua SEMA FTIK IAIN Ponorogo 2023/2024

Jangan pernah meremehkan orang walaupun bersalah jangan memandang diri sendiri ketika punya kelebihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Api Membara di Senja Jingga

13 Januari 2024   13:10 Diperbarui: 13 Januari 2024   13:11 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aula kampus dibalut senja jingga. Debat final antarjurusan sedang digelar, dan panasnya tak kalah membara dari mentari yang hampir tenggelam. Di podium kiri, berdiri Rara, gadis mungil bermata tajam, mewakili jurusan Sastra. Di sebelahnya, ada Bima, mahasiswa Hukum bersuara lantang, sang jawara dari debat-debat sebelumnya.

Topik malam itu adalah etika bioteknologi. Rara, si pecinta puisi dan filsafat, berargumen tentang pentingnya menjaga martabat manusia di tengah kemajuan teknologi. Bima, sang ahli logika dan argumen, menggempur dengan dalih kemajuan tak terbendung dan pentingnya memecahkan masalah kelaparan dunia.

Senjata Rara bukan data dan statistik, tapi narasi dan metafora. Dia melompat dari kisah Frankenstein ke dilema Arjuna, menyoal harga yang harus dibayar demi kemajuan. Bima, sebaliknya, melempar bom logika dari studi kasus dan dampak ekonomi, menunjukkan sisi pragmatis kemajuan teknologi.

Aula bergemuruh. Pendukung Rara bersorak saat dia mengutip Nietzsche tentang kegilaan mengejar kekuasaan atas alam. Penggemar Bima bertepuk tangan saat dia memaparkan efisiensi pertanian dengan bioteknologi. Kedua finalis seperti pedang dan perisai, beradu argumen dengan sengit tapi elegan.

Moderator, Profesor Wiriadinata, sesepuh yang disegani di fakultas, hanya tersenyum penuh minat. Beliau bukan mencari siapa yang benar atau salah, melainkan siapa yang bisa meyakinkan, siapa yang bisa menyalakan api pemikiran di mata para mahasiswa.

Waktu tak terasa bergulir. Argumen terakhir diledakkan, hening menyelimuti aula. Profesor Wiriadinata pun angkat bicara. "Kalian berdua," katanya, suaranya mantap, "telah menunjukkan kekuatan pemikiran yang luar biasa. Tapi ingat, debat sejati bukanlah perang untuk menang, melainkan jembatan untuk memahami."

Senyum merekah di wajah Rara dan Bima. Tepuk tangan membahana menggetarkan aula. Malam itu, api yang berkobar bukanlah api kemenangan, tapi api diskusi, api pemikiran, api yang dinyalakan oleh dua lawan tanding yang kini tak lagi berjarak, melainkan dua manusia yang saling menghormati.

Di bawah langit senja yang kian gelap, Rara dan Bima keluar aula bersama. "Kau hebat," kata Rara dengan senyum lebar. "Begitu pun kamu," balas Bima, dan mata mereka berbinar karena keduanya tahu, api yang dinyalakan malam itu takkan padam begitu saja. Ia akan terus membara, menerangi jalan mereka dan siapapun yang mau ikut berdiskusi, berdebat, dan bersama-sama mencari cahaya kebenaran di tengah senja kehidupan yang terus bergulir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun